Kamis, 17 Februari 2011

Agoraphobia dan Animal Phobia yang Terjadi Akibat Pengkondisian Stimulus Sejak Masa Kanak Membuat Anak Bersikap Avoidance Behavior terhadap Stimulus yang Diberikan tersebut



Apa itu phobia? Apakah phobia begitu familiar dan perlu dihindari di dalam diri seorang manusia? Apakah phobia itu seperti yang anda pikirkan selama ini atau malah sebaliknya.
Dalam esai ini saya akan mengupas dua jenis phobia yang termasuk dalam phobia of external stimuli dan hubungannya dengan teori behaviorisme yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov dan John B. Watson
. Apa pengertian phobia itu sendiri? Phobia berasal dari kata Yunani phobos yang berarti melarikan diri, panik-takut, teror. Menurut orang Yunani sendiri phobos itu berasal dari dewa yang mempunyai nama sama yaitu phobos yang bisa mengusik atau memanggil kecemasan dan ketakutan serta panik di dalam diri seorang. Lalu, menurut buku Fears and Phobias tahun 1969 dikatakan bahwa phobia itu adalah jenis atau bentuk khusus dari ketakutan(subdivisi ketakutan) yang keluar dari bagian dalam diri seorang manusia untuk memerintahkan atau mengendalikan sesuatu(di luar proporsi manusia), tidak bisa dijelaskan dan dialasankan( berbading terbalik dengan aliran behaviorisme), di luar kesadaran diri sendiri dan mengacu kepada penghindaran terhadap situasi ketakutan (Isaac Meyer, 1969). Saya mengambil pengertian yang terakhir karena pengertian phobia di atas merupakan gabungan dari hipotesis beberapa ilmuwan yang meneliti tentang fenomena phobia. Phobia secara lebih jelas yaitu sesuatu perbuatan atau sikap takut terhadap sesuatu hal atau bisa dibilang penyakit yang ditimbulkan dari rasa takut tersebut dan seorang yang mengalami phobia akan melakukan penghindaran terhadap hal yang ditakuti tersebut. Itulah yang dinamakan avoidance-behavior. Secara lebih lengkap, avoidance-behavior adalah suatu sikap atau perbuatan yang cenderung melakukan proses penghindaran atau bahkan penolakan karena ketakutan terhadap hal tersebut.
Bermula dari teori Pavlov yang dikenal dengan action at distance atau phychical reflex yang mengemukakan bahwa ada dua jenis refleks tubuh atau fisik terhadap sesuatu (eksternal). Pertama, stimulus eksternal (makanan) dapat menstimulasi syaraf-syaraf organisme (unconditioned stimulus-UCR). Kedua, sesuatu yang berasal juga dari eksternal dengan mengaktifkan indera seperti hidung, mata, telinga ketimbang memaksimalkan peran reseptor di rongga mulut (conditioned stimulus-CR). Reseptor di rongga mulut dalam hal ini yaitu lidah yang menghasilkan air liur. Lalu, apa hubungannya dengan phobia yang dikondisikan sejak masa kanak dapat menganggu sikap mental seorang individu di usia remaja. Penelitian yang dilakukan John B. Watson-lah tentang fear-conditioning yang meneruskan penelitian Pavlov yaitu teori dan eksperimen conditioning. Teori dan eksperimen yang dilanjutkan oleh Watson menunjukkan sebuah kebenaran dari penelitian tersebut dan saya berpersepsi sama dengan dia. Dari teori tersebut, saya menganggap bahwa phobia itu yang memang dikondisikan sejak masa kanak dapat menganggu sikap mental mereka dan mereka cenderung melakukan avoidance-behavior terhadap stimulus negatif ataupun pengalaman traumatik yang diberikan terhadap mereka atau stimulus yang berhubungan dengan hal tersebut.

John B. Watson yang melanjutkan penelitian dari Pavlov menguji pengkondisian ini terhadap seorang anak balita yang bernama Albert. Albert kecil ini adalah balita yatim piatu yang diambil dari sebuah panti asuhan. Albert kecil ini pun merupakan balita yang normal seperti balita yang dilahirkan pada umumnya. Penelitian Watson pun dimulai. Watson yang memang terkenal ilmuwan yang “gila” ini memang bertolak belakang dengan subjek penelitian Pavlov yang memakai seekor anjing (Dimitri). Watson berbeda. Ia memilih manusia untuk dijadikan subjek penelitiannya. Mula-mula ia memberikan stimulus berupa mainan anak-anak balita. Seperti kebanyakan balita pada umumnya, Albert menggenggam benda tersebut dan memain-mainkannya. Namun, Watson mencoba memberikan stimulus berupa bunyi-bunyian yang keras (UCS) seperti bel dan benda yang mengeluarkan bunyi yang keras. Biasanya, balita akan menangis karena bunyi tersebut karena respon dari tubuh atau psychical reflex seperti yang dikemukakan oleh Pavlov. Albert memang menangis, tetapi stimulus berupa bunyi tersebut diberikan atau dikondisikan oleh Watson secara regular atau terus menerus dan berkala. Alhasil, Albert pun takut terhadap benda-benda apapun. Apapun benda yang didekatkan dengannya ia tidak berani menyentuhnya dan hanya diam (CS). Hal ini terjadi karena efek pengkondisian tadi yang membuat Albert takut dan menyangka semua benda akan mengeluarkan bunyi yang keras. Padahal, yang didekatkan itu adalah sebuah boneka. Pengkondisian yang dilakukan oleh Watson tersebut menimbulkan sikap mental yang buruk bagi Albert. Albert kecil ini bisa dikatakan melakukan sikap avoidance-behavior terhadap pengalaman yang ia terima seperti efek pengkondisian terhadap benda yang mengeluarkan bunyi yang keras tersebut. Berkaitan dengan penelitian ini, saya mengambil contoh kasus. Contoh kasusnya dari pengalaman saya sendiri. Sewaktu masa balita, saya sering ditakut-takuti akan sebuah cicak atau kadal yang menekankan bahwa cicak yang berada di atas langit-langit tersebut akan menggigit saya apabila saya tidak lekas tidur. Cara yang memang konservatif untuk mengkondisikan seorang balita agar terlelap tidur. Namun, apa yang terjadi terhadap saya? Sampai saat ini, sikap mental saya masih kurang terlalu baik ketika dihadapkan dengan seekor cicak. Phobia seperti ini dinamakan animal phobias (UCS) yang termasuk kategori phobia yang rangsangannya berasal dari luar seperti unconditioned stimulus. Menurut buku Phobias and Fears yang mendukung penelitian Watson dan Pavlov menyatakan bahwa phobia jenis ini memang dikondisikan (CS) sejak kanak yaitu sejak sebelum ia menginjak usia 8 tahun yang berpengaruh terhadap sikap mental anak tersebut pada usia remaja. Ini juga dibuktikan dengan Cornell and Neuroticism Questionnaire.

Hal ini juga terjadi pada ketakutan saya terhadap ketinggian. Phobia jenis ini dinamakan agoraphobia. Phobia jenis ini juga termasuk kategori phobia yang rangsangannya berasal dari luar (phobia of external stimuli). Dahulunya, ketika umur 5 tahun, saya didorong oleh teman sepermainan dari lantai 2 kontrakan. Alhasil, karena efek pengkondisian yang memang tidak secara sengaja yang dilakukan oleh teman saya tersebut menimbulkan fear conditioned situation (Watson, 1920). Sampai saat ini saya masih takut apabila berada di tempat yang tinggi. Saya melakukan pencegahan atau perilaku yang bisa dibilang cenderung melakukan penghindaran terhadap tempat yang tinggi sebagai akibat pengalaman jatuh dari tempat tinggi yang menyisakan pengalaman traumatik. Perilaku ini disebut avoidance-behavior dan termasuk sikap mental yang kurang baik. Jadi, hal tersebut membuat saya mempunyai sikap mental yang kurang baik.

Hal ini juga didukung oleh eksperimen yang dilakukan oleh peneliti AS yaitu dengan meneliti tikus yang baru berumur 4 bulan. Tikus ini diletakkan di sebuah meja yang seluas kandangnya dengan ketinggian seperti tinggi meja makan biasa yaitu ukuran antara 75-80 cm. Kemudian tikus ini dilepaskan dari kandangnya. Alhasil, karena mejanya tidak menyisakan ruang untuk berjalan tikus ini berjalan dan jatuh dari kandangnya. Kemudian menurut penelitian ini yang diuji dengan banyak tikus putih itu memperlihatkan bahwa pada saat pengulangan kedua tikus ini cenderung takut untuk berjalan ke luar kandangnya walaupun kandangnya dalam keadaan terbuka. Hal ini menunjukkan tikus juga terstimulus dengan efek pengkondisian terhadap ketinggian tersebut. Hal ini juga terjadi pada manusia. Hal ini mendukung teori John B. Watson conditioned phobia tadi. Pada awalnya meja yang mempunyai ketinggian 75-80cm adalah unconditioned stimulus(UCS) tetapi karena efek dari jatuh tadi membuat meja menjadi conditioned stimulus(CS) yang membuat tikus cenderung takut untuk turun dari kandangnya. Dari penelitian di atas bisa dinyatakan bahwa agoraphobia ini menimbulkan pengaruh negatif yang kurang baik terhadap sikap mental dalam hal avoidance-behavior.

Dibalik semua itu, avoidance behavior bisa diminimalisir kemungkinannya. Perlu adanya kontrol dari orang tua dan lingkungan sekitar tempat ia tinggal pada saat kanak-kanak. Apabila lingkungan tersebut memberikan stimulus yang positif maka avoidance behavior itu bisa terhindarkan namun tidak serta merta terhilangan begitu saja. Ada kalanya seseorang butuh proses dalam kehidupannya utnuk melakukan pembelajaran dalam mempelajari untuk mengurangi perilaku-perilaku negatif yang ada daam dirinya. Perilaku negatif di sini adalah avoidance-behavior tadi.
Jadi, phobia jenis animal phobia dan agoraphobia yang dikondisikan sejak kanak dapat menimbulkan avoidance behavior yang membuat seseorang cenderung menghindari stimulus-stimulus yang ia takuti dibanding ia harus berhadapan dengan stimulus yang ditakutinya tersebut. Hal ini seperti pemaparan saya di atas dapat berakibat buruk terhadap sikap mental orang yang sebelumnya tidak terpengaruh terhadap phobia. Dan, sebaiknya segala conditioning stimulus yang bersifat buruk tidak dilakukan oleh orang sekitar kita dan perlu kontrol yang lebih dari orang tua di masa sekarang agar anak-anaknya tidak melakukan avoidance-behavior yang lebih banyak mengandung aspek negatif dibanding positifnya di kehidupan mereka sehari-hari dalam menghindari stimulus yang ditakutinya tersebut karena dengan menghindar akan mempengaruhi cara kita bersikap dan bertanggung jawab terhadap sesuatu. Avoidance behavior dapat membuat seseorang menanamkan yang tidak bertanggung jawab atas hal-hal yang semestinya menjadi tanggung jawab meskipun itu hal yang ia takuti ataupun yang tidak ia senangi.










REFERENSI

King, D. B., Viney, W., Woody, W. D. (2009). A History of Psychology an idea and context. (p. 299-320). Canada and United States : Pearson United, Inc.
Marks, I. M. (1969). Fears and Phobias. (p.1-8, 20-30,31-36, 55-58, 67-71, 102-108, 149-158, 166-177).
Rauhuut, S. A., Thomas, B. L., Ayres, J. J. B. (2001). Treatments That Weaken Pavlovian Conditioned Fear and Thwart Its Renewal in Rats: Implications for Treating Human Phobias from Journal of Experimental Psychology: Animal Behavior Processes Vol. 27, No. 2, 99-114. http://apa.org. New York: American Psychology Association.

Lipp, O. V., Edwards, M. S.,.(2002). Effect of Instructed Extinction on Verbal and Autonomic Indices of Pavlovian Learning with Fear-Relevant and Fear-Irrelevant Conditional Stimuli from Journal of Psychophysiology. (p. 176–186). http://apa.org. Australia: Federation of European Psychophysiology Societies.

Dawson, E. M., Rissling, A. J. (2007). Under What Conditions Can Human Affective Conditioning Occur Without Contingency Awareness? Test of the Evaluative Conditioning. Journal of Emotion. Vol. 7, No. 4, 755–766. http://psycnet.org. California: American Psychological Association.

Jovanovic, T., Norrholm, S. D., Keyes, M., Fiallos, A., Jovanovic, S., Myers, K. M., Davis, M., Duncan, E. J. (2006). Contingency Awareness and Fear Inhibition in a Human Fear Potentiated Startle Paradigm. Behavioral Neuroscience. Vol. 120, No. 5, 995–1004. http://psycnet.org. Atlanta, Georgia: American Psychological Association.

Buchanan, T. W. (2007). Retrieval of Emotional Memories. Psychological Bulletin. Vol. 133, No. 5, 761–779. http://psycnet.org. Iowa: American Psychological Association.