Kamis, 17 Februari 2011

Menelusuri Jalan Setapak di Lembah Harau


Pagi yang cerah waktu itu. Embun yang menitik dari ujung dedaunan dan tusukan dinginnya pagi yang menghujam ke tulang hingga ke elemen dasar dan atom-atom tubuhku. Matahari juga seakan ingin menunjukkan kegarangannya dan kedigdayaannya dalam memberikan pertikel-pertikel cahayanya. Ini membuatku mengernyitkan dahi dan mataku seolah dipaksa untuk menjadi mata seorang Chinese yang sipit. Pagi itu memang sangat inkredibel(dibaca in kredibel) dan luar biasa. Bunga, dedaunan, pepohonan berlumuran air karena hujan tadi malam yang tak henti-hentinya mengguyurkan senjatanya yang berupa atom-atom air terhadap mereka. Namun mereka terlihat mempesona bila dipandang dengan situasi dan keadaan seperti itu. Matahari pun tak mau kalah dengan si hujan, ia turut menyinari dan memberikan asupan cahaya terhadap mereka. Itu cukup membuat mereka kenyang dan mengeluarkan gas buangan versi mereka yaitu oksigen. Oksigen inilah yang kuhirup hingga ke pangkal paru-paruku dan mengalir di semua jalur-jalur brokitisku. Tuhan memang adil dalam mengatur semua komposisi yang ada di jagad raya ini. Semua mendapat proporsi yang sesuai pagi ini.
Aku mulai menapaki lantai mesjid yang tidur beberapa kayu di atasnya. Begitu setia si kayu jati dalam memberi tumpangan bagi manusia yang ingin melaksanakan sembahyang lima waktu di sana. Aku menapak keluar masjid yang mempunyai kubah seperti kubah di cerita 1001 malam tersebut. Masjidnya memang indah. Rumah peribadatan yang cukup nyaman untuk istirahat sebentar disana dari kemarin malam.
Dengan sepasang sandal yang telah menungguku sejak tadi malam di beranda mesjid, aku menapaki jalan-jalan setapak yang selalu termangu setiap waktu dan rela untuk diinjak setiap waktu oleh manusia memberikan punggungnya untuk dinjaki bahkan dikotori. Mungkin begitulah peran mereka yang diberikan oleh Tuhan. Kemudian, seteah beberapa lama aku sampai di tangga yang sudah berjejer menungguku untuk dinaiki ke puncak bukit untuk menyorot sebauh pemandangan alam yang luar biasa. Selama menaiki tangga-tangga yang mungkin saling bersaudara satu sama lain karena bentuknya yang sama, aku juga disuguhi pohon-pohon rindang yang menatapku kosong seakan menyiratkan jangan tebang mereka. Ucapan ini mungkin ditujukan untuk para pembalak liar yang telah membunuh teman-teman mereka. Keindahan dan kesejukan dari pepohonan itu cukup membuatku merasa sejuk di samping mereka. Keringat sepertinya juga tak mau kalah dengan anggota tubuhku yang lain untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Ia seolah ingin mengeluarkan jati dirinya sebgaia cairan yang menandakan aku telah bekerja keras untuk menaiki tangga yang terbuat dari batu tersebut. Tangga yang mugkin bersaudaraan itu mungkin setinggi 5 meter ke atas.
Sampaialah saya di puncak bukit. Mata seolah takjub melihat sesosok lembah yang indah nan megah bagaikan sebuah batu raksasa yang ingin membuktikan keperkasaan dirinya. Lembah harau sudah ada di hadapan mataku. Lembah arau memang bersebelahan dengan bukit yang saya naiki. Begitu indahnya beliau seakan-akan tidak cukup waktu sebentar saja untuk kulihat dia. Sekitar 1 jam aku dan dia saling berpandangan dan berduaan. Seakaan masih belum rela untuk pergi, saya dan sepasang sandal mulai menuruni bukit karena panggilan adzan dari mesjid untuk sholat Dzuhur yang sudah berkumandang.

Pengalamanku di Lembah Harau, Batusangkar, Kabupaten 50 Koto Sumatera Barat.