Keluarga
Keluarga merupakan kelompok yang
terkecil dalam masyarakat. Sangat sulit mendefinisikan keluarga karena setiap
individu memiliki persepsi sendiri mengenai siapa saja yang bisa disebutnya
keluarga. Sosiologi membedakan keluarga dalam sistem konsanguinal dan sistem
konjugal (Clayton dalam Sunarto, 2004). Keluarga yang bersifat konsanguinal
menekankan ikatan darah dalam hubungan kekeluargaan, sementara keluarga yang
bersifat konjugal menekankan pentingnya hubungan perkawinan antara suami istri dibandingkan
ikatan dengan orang tua (hal. 61).
Ponzetti (dalam Pohan, 2010) menambahkan
perbedaan mendasar antara keluarga dengan kelompok masyarakat yang lain adalah:
1. Keanggotaannya
tidak bersifat sukarela dan hubungannya lebih permanen.
Kita tidak bisa memilih
siapa yang menjadi orang tua kita.
2. Tindakan
anggota-anggota keluarga mungkin saja tidak terlalu kentara bagi kelmpok lain.
Keluarga merupakan lingkungan yang aman untuk keterbukaan dan kejujuran
sekaligus memungkinkan terjadinya hal buruk seperti kekerasan, kecanduan, dan
pengabaian.
3. Anggota
keluarga mungkin punya hubungan yang lebih kuat melalui ikatan emosional.
4. Seringkali
terdapat paradigma atau pandangan yang sama tentang berbagai hal antaranggota
keluarga.
5. Seringkali
hubungan keluarga bersifat biologis, namun tidak jarang ada individu yang
menganggap orang lain yang tidak memiliki ikatan darah maupun perkawinan
sebagai keluarganya sendiri.
Hymovich & Chamberlin (1980)
mengatakan perbedaan jumlah dalam keluarga dikenal sebagai struktur keluarga yang
terdiri dari nuclear family, extended family, communal families, dual –
career families, dan single parent
families. Keluarga batih (nuclear
family) merupakan satuan keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan
anak (Sunarto, 2004, hal. 61). Dari pemahaman ini, kita dapat menggolongkan
peran keluarga menjadi dua, yaitu peran orang tua dan saudara (sibling).
ORANG
TUA
Struktur
Keluarga
Struktur dalam keluarga dipengaruhi
oleh kondisi orang tua. Ada keluarga yang didalamnya masih terdapat dua orang
tua, dan ada pula keluarga yang hanya memiliki satu orang tua. Kondisi orang
tua tentu saja berpengaruh banyak terhadap konsep diri dan motivasi berprestasi
anak. Hasil penelitian yang dilakukan Uwaifo (2008) menunjukkan bahwa struktur
keluarga dengan two parents dapat
meningkatkan prestasi akademis dan sikap untuk belajar dengan baik pada anak.
Orang tua yang bekerja juga menjadi isu
dalam pengasuhan anak dalam keluarga. Dual
– career families adalah keadaan dimana ayah dan ibunya masing-masing bekerja
(Hymovich & Chamberlin, 1980). Pendapatan orang tua juga bisa berpengaruh
terhadap kondisi psikologis anggota keluarga yang lain. Menurut Hill &
Duncen (1987, dalam Kaplan, Lancaster, & Anderson, 1998; Yeung, Duncan
& Hill, 2000; Allen & Dalley, 2007 ) menjelaskan pendapatan sang ayah
berguna dalam pencapaian pada anak. Pendapat yang kontras berhasil ditemukan
oleh hasil sebuah studi terhadap keluarga Meksiko-Amerika yang memandang
pendapatan yang diperoleh ayah dari kerjanya menimbulkan asosiasi yang negatif
dengan gejala depresif pada sang ibu dan anak (Crouter, Davis, Updegraff, et
all, dalam Allen & Dalley, 2007). Penelitian lain menambahkan bahwa ibu
yang bekerja menunjukan anaknya akan meningkatkan kemampuan untuk menerima
pengalaman baru tanpa ragu - ragu (Mcintosh & Bauer, 2006). Dari data-data
yang terpapar diatas, dapat kita simpulkan bahwa kondisi pernikahan orang tua
dan pekerjaannya berpengaruh penting dalam prestasi akademis dan kondisi
psikologis anak.
Pola
Asuh Orang Tua
Setiap orang tua memainkan peran
penting dalam mendukung dan menunjang keberhasilan akademis anak (Epstein dalam
Santrock, 2011, hal. 78). Masing-masing orang tua memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam mendidik anaknya. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2011) parenting style atau gaya mengasuh dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
1. Authoritarian parenting.
Orang tua dengan tipe ini cenderung memaksa anak untuk patuh dan hormat
terhadap setiap larangan dan kendali orang tua. Gaya mengasuh ini dapat
menyebabkan anak menjadi tidak kompeten secara sosial, takut dibandingkan,
kurang inisiatif, dan kemampuan berkomunikasi yang buruk.
2. Authoritative parenting.
Orang tua mendorong anak untuk mandiri tetapi tetap mengambil kendali akan
batasan-batasan terhadap anak. Dalam interaksi, bisa terjadi hubungan verbal
yang mutual. Orang tua yang mengasuh dengan gaya ini bisa menghasilkan
kepribadian anak yang kompeten secara sosial, percaya diri, dan menyesuaikan
diri dengan baik dalam peers.
3. Neglectful parenting
adalah gaya mengasuh dimana orang tua sedikit terlibat dalam kehidupan anak.
Ini dapat menyebabkan anak merasa bahwa aspek lain dalam hidup orang tua lebih
penting dibandingkan anak itu sendiri. Hasilnya adalah anak akan sulit dalam
mengendalikan diri, tidak kompeten secara sosial, dan kekurangan motivasi
berprestasi.
4. Indulgent parenting adalah
gaya mengasuh dimana orang tua banyak terlibat dalam kehidupan anak, tetapi
hanya menetapkan sedikit batasan atau kendali dalam perilaku anak. Orang tua
cenderung membiarkan anak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Anak bisa
menjadi kreatif dan percaya diri, namun kekurangannya adalah kurangnya
pengendalian anak terhadap perilaku.
Baumrind (dalam Santrock, 2011)
menegaskan pentingnya authoritative
parenting yang dianggapnya sebagai gaya mengasuh yang paling efektif.
Namun, ada faktor-faktor lain seperti sosiokultural, strata sosial ekonomi, dan
struktur keluarga yang dapat menjadi faktor penentu bagaimana orang tua
mengasuh anak-anaknya. Kegiatan coparenting
dimana kedua orang tua saling mendukung satu sama lain dalam membesarkan anak
juga sangat diperlukan dalam perkembangan anak (Santrock, 2011).
John Gray (1999) mengemukakan lima
pesan positif yang dapat membantu orang tua dalam mengasuh, yaitu: (1) It’s okay to be different, (2) it’s okay to make mistakes, (3) it’s okay to express negative emotions,
(4) it’s okay to want more, (5) it’s okay to say no, but remember mom and
dad are the bosses. Dengan memberikan kebebasan anak untuk menjadi unik,
melakukan kesalahan, mengekspresikan emosi negatif, menginginkan sesuatu yang
lebih, dan menolak namun tetap memberikan batasan-batasan, Gray percaya orang
tua dapat mengembangkan pola asuh yang lebih baik terhadap anak-anak.
Pengaruh Orang Tua
terhadap Prestasi Akademis Anak
Sikap dan pola asuh orang tua sangat
menentukan keberhasilan anak di sekolah. Berbagai macam studi telah menemukan
manfaat interaksi orang tua terhadap prestasi akademis anak. Hal inilah yang
disebut dengan keterlibatan orang tua. Keterlibatan orang tua (parental involvement) diukur dari sejauh
mana orang tua menaruh ketertarikan terhadap pendidikan dan mengambil bagian
penting dalam kehidupan anak. Keterlibatan orang tua yang positif dan intens
berpengaruh terhadap akademis anak seperti rasa self-efficacy, motivasi, dan pencapaian di sekolah (Duchesne, dkk,
dalam Duchesne & Ratelle, 2010). Grolnick (1989) menambahkan bahwa
keterlibatan orang tua memilki hubungan dengan locus of control anak (cara
anak mengartikan sebab dari suatu peristiwa), regulasi tingkah laku dan
emosionalnya.
Orang tua yang aktif terlibat dalam
kehidupan akademis anak akan membina komunikasi yang baik dengan guru,
komunikasi yang baik dengan anak mengenai isu-isu di sekolah, hadir dalam
pertemuan orang tua dengan guru di sekolah, serta terlibat dalam pengerjaan
tugas-tugas anak di rumah. Manfaat yang diperoleh anak yang merasakan
keterlibatan orang tuanya dalam pendidikan adalah ia akan merasa lebih kompeten
dalam berbagai kegiatan yang ia ikuti (Patterson, dalam Hong & Ho, 2005).
Perceraian Orang Tua
dan Dampaknya Terhadap Prestasi Akademis Anak
Struktur rumah tangga sangat
mempengaruhi perkembangan anak. Dinamika sosial yang terjadi di sekitar kita
sedikit banyak berkontribusi terhadap bentuk keluarga. Berdasarkan data dari
Departemen Agama, kasus perceraian di wilayah DKI Jakarta, telah mencapai 258
ribu kasus sampai pada tahun 2010. Penyebab perceraian antara lain kecemburuan
terhadap pasangan, masalah ekonomi, atau ketidakcocokan dalam rumah tangga. Tentu
saja, selain menyebabkan berubahnya struktur keluarga, perceraian orang tua
juga berdampak bagi kondisi psikologis pihak yang bercerai maupun anak yang
menjadi korban.
Secara perkembangan, anak yang orang
tuanya bercerai memiliki kecenderungan tinggi terhadap stres, cemas, dan
perilaku antisosial (Doskow, 2006; Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Bagaimana
dengan kondisi akademis anak dengan orang tua yang bercerai? Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Uwaifo (2008) kepada
mahasiswa dari Universitas Nigerian menunjukan bahwa struktur keluarga, yaitu two parent (mempunyai ayah dan ibu)
menunjukan bahwa two parents dapat
meningkatkan academic achievement dan
sikap untuk belajar dengan baik pada anak. Hymovich & Chamberlin (1980)
menjelaskan single parent akan terus
meningkat disebabkan oleh adanya perceraian atau perpisahan antara pasangan
yang sudah menikah. Penelitian yang dilakukan oleh Pong, Dronkers, &
Hampden-Thomsom (2003) menghasilkan kelemahan dari single parent pada
achievement anak dalam nilai matematika dan science.
Pertanyaan yang muncul adalah: apakah orang tua yang bercerai memiliki pengaruh
negatif terhadap prestasi akademis anak?
Penelitian yang dilakukan oleh
Hetherington (1995 dalam Santrock, 2009) menunjukkan bahwa perceraian orang tua
tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap prestasi akademis anak. Hal ini
kontras dengan studi yang dilakukan oleh Collins, Harris, Susman (1995 dalam
Elliott, Kratochwill, Cook, & Travers, 2000) dan Potter (2010) yang
menjelaskan adanya penurunan prestasi akademis yang dipengaruhi oleh pernikahan
orang tua yang tidak lagi utuh.
McCombs & Forehand (1989) menyatakan
bahwa perceraian tidak akan menurunkan prestasi akademis, melainkan dapat
meningkatkan prestasi akademis selama anak menjalin kedekatan yang baik dengan
ibunya, dimana dalam kasus ini berperan sebagai single parent. Didukung dengan penemuan Barber & Eccles (1992) yang
mengatakan bahwa ibu memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan anak
di sekolah karena ibu mengajarkan tanggung jawab dan punya andil besar dalam
pembentukan harga diri anak. Kesimpulan yang bisa kita serap dari studi
literatur ini adalah perceraian orang tua bisa berdampak negatif terhadap
performa akademis anak, namun hal itu bisa diatasi dengan mengoptimalkan peran
ibu sebagai single parent dalam
keluarga agar anak tetap bisa mendapatkan dukungan-dukungan yang seharusnya
dapat diberikan oleh dua orang tua yang masih bersama. Ibu juga dapat
memberikan penilaian secara positif dan secara intens memberi pemahaman yang
jelas kepada anak mengenai perceraian yang telah terjadi, agar anak tetap bisa
menjaga harga diri dan tetap termotivasi untuk berprestasi di sekolah.
Peran Parenting terhadap Harga Diri Anak
Pola asuh orang tua menurut Baumrind
(dalam Santrock, 2011) dibagi menjadi empat. Baumrind juga berpendapat bahwa parenting style yang paling efektif
terhadap harga diri anak adalah authoritative
style, dimana anak mendapatkan batasan-batasan yang jelas terhadap
perilakunya, namun orang tua tetap memberikan kelonggaran bagi anak untuk
berkomunikasi mengenai aturan dalam keluarga, sehingga terjadi hubungan timbal
balik dalam hubungan anak dengan orang tua.
Authoritative
parenting memiliki manfaat-manfaat bagi psikologis anak,
antara lain dapat menjadikan anak menjadi pribadi yang self-reliant, self-assertive,
memiliki pengendalian diri yang baik, mampu menunda kepuasan, dapat berhubungan
baik dengan sebayanya, serta harga diri yang tinggi (Papalia, Olds, &
Feldman, 2009; Santrock, 2011). Namun, hal ini juga tidak menutup kemungkinan
bahwa pola asuh yang lain tidak memiliki manfaat bagi perkembangan psikologis
anak. Authoritarian style dapat
meningkatkan kepatuhan dan rasa hormat anak. Sebuah hasil penelitian
menyebutkan bahwa untuk memperkecil kemungkinan perilaku antisosial anak adalah
dengan mengembangkan sikap patuh terhadap otorisasi orang tua (Santrock, 2011).
Pengaruh
Budaya dalam Pola Asuh Orang Tua
Pola parenting
ini juga dipengaruhi oleh faktor sosiokultural yang menjelaskan bahwa
tiap-tiap kebudayaan memiliki ciri khas dalam mengasuh anak. Sebuah studi yang
dilakukan Huntsinger dan rekan-rekannya (dalam Singgih, 2004) menunjukkan bahwa
ada perbedaan nilai tes matematika dan penulisan numerik antara anak-anak
Amerika keturunan Cina, anak-anak Amerika keturunan Eropa, dan anak-anak
Cina-Taiwan. Dari tes matematika diperoleh hasil bahwa anak-anak Amerika
keturunan Cina mempunyai nilai yang secara signifikan lebih tinggi daripada
anak-anak keturunan Eropa, sedangkan anak-anak Cina-Taiwan mempunyai nilai di
antara kedua kelompok ini. Selain itu, anak-anak Amerika keturunan Cina dan
anak-anak Cina-Taiwan memperoleh nilai lebih tinggi dalam hal penulisan angka
daripada anak keturunan Eropa. Kemudian dari wawancara yang dilakukan kepada
orang tua masing-masing kelompok, diketahui bahwa orang tua dari anak-anak
Amerika keturunan Cina ternyata menaruh perhatian lebih secara signifikan
terhadap kemampuan matematika anak dibandingkan dengan orang tua anak-anak
Amerika keturunan Eropa dan Cina-Taiwan. Orang tua Amerika keturunan Cina juga
lebih disiplin dan tegas dalam membimbing anak-anaknya dibandingkan dengan
orang tua dari kelompok lain.
Dari penelitian diatas, dapat kita
pahami bahwa masing-masing budaya memiliki perbedaan sikap dalam mendidik anak.
Orang tua di negara-negara Asia Timur kebanyakan menerapkan pola asuh authoritarian yang menekankan kepatuhan
anak terhadap orang yang lebih tua dan kebebasan berpendapat yang terbatas. Hal
ini kontras dengan budaya di Amerika Serikat dan negara-negara liberal yang
membebaskan anak untuk berkreasi dan berpendapat dengan batasan-batasan yang
tidak terlalu ketat (Santrock, 2011). Perbedaan budaya mempengaruhi persepsi
masyarakat mengenai cara mendidik anak. Dalam menerapkan pola asuh, kita harus
menyesuaikan dengan budaya yang melatarbelakangi kehidupan sosial anak.
Pengaruh Kondisi
Ekonomi Orang Tua terhadap Prestasi Akademis Anak
Keadaan ekonomi keluarga serta latar
belakang pendidikan orangtua juga termasuk dalam situasi keluarga dan rumah.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Davis-Kean menunjukkan hasil bahwa
pendidikan orangtua secara tidak langsung dapat mempengaruhi pencapaian
akademis anak karena adanya dukungan kepercayaan orangtua dan perilaku yang
merangsang pendidikan di rumah. Pendidikan orangtua dapat berperan penting
karena selama waktu-waktu tersebut, dimana anak menempuh pendidikan di sekolah,
orangtua juga dapat berperan sebagai ‘guru’ di rumah. Orangtua dapat menjadi
guru yang efektif Karena mereka banyak mengetahui tentang apa yang
diperkirankan diajarkan oleh sekolah, serta apa yang perlu mereka lakukan
sebagai lanjutannya, di rumah. Orangtua juga dapat membantu anak mengerjakan
pekerjaan rumah dan menyediakan dukungan sstimulasi kognitif di rumah
(Alexander dkk. dalam Davis Keane, 2005).
Penelitian
lebih lanjut juga menyebutkan bahwa orangtua dengan pemasukan ekonomi menengah
ke atas dan dengan berlatar belakang pendidikan memiliki keyakinan dan harapan
yang lebih realistis dengan performa anak-anak mereka di sekolah dibandingkan
dengan keluarga yang memiliki pemasukan ekonomi rendah. Keluarga dengan
pemasukan ekonomi rendah juga memiliki keyakinan dan harapan yang tinggi,
tetapi tidak berkorelasi baik dengan performa anak-anak mereka di sekolah.
Kemampuan orangtua dalam membentuk keyakinan dan harapan yang sesuai
berdasarkan performa anak-anak mereka sangat penting untuk mendukung lingkungan
rumah dan pendidikan yang kondusif, sehingga mereka dapat berusaha lebih baik
diluar lingkungan sekolahnya. Hubungan tidak langsung ini memberikan pengaruh
melalui ekspektasi pendidikan, perilaku membaca, bermain, serta afektif
orangtua (Alexander dkk. dalam Davis-Kean, 2005). Jurnal lain menyebutkan, penelitian
menunjukkan bahwa sampel dengan pemasukan keluarga yang rendah,
keluarga-keluarga tersebut mengalami ketidkastabilan kondisi dan status seperti
stress, perpindahan, perubahan status kerja, dan sekolah anak yang
berpindah-pindah) mempengaruhi keterlibatan orangtua pada sekolah anak-anak
mereka. (Englund dkk., 2004). Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa
kondisi ekonomi orang tua sangat berpengaruh terhadap performa pendidikan anak.
SAUDARA (SIBLING)
Sama halnya dengan keluarga,
hubungan persaudaraan tidaklah terbatas dengan kenyataan bahwa seseorang lahir
dari orang tua yang sama dengan kita. Seperti yang dikemukakan Edwards,
Hadfield, Lucey, & Mauthner (2006), bahwa meningkatnya keberagaman struktur
keluarga menyebabkan meluasnya masalah mengenai siapa saja yang dapat disebut
dengan saudara. Perceraian, perpisahan, repartnering,
dan keluarga tiri memberi pemahaman bahwa seseorang bisa memiliki full siblings, yakni saudara yang lahir
dari dua orang tua biologis yang sama; half
siblings, yakni saudara yang lahir dari salah satu orang tua biologis; dan step siblings atau saudara yang lahir
dari orang tua biologis yang berbeda dan tidak memiliki ikatan darah (2006,
hal. 21)
Di dalam lingkungan keluarga, pasti
terjalin hubungan sosial antara anak dengan orang tua dan orang lain yang
tinggal dalam tempat tinggal yang sama, antara lain saudara. Seorang anak yang
melakukan aktivitas, percakapan, bahkan konflik yang intens dengan saudaranya
membentuk pola interaksi yang ikut membentuk identitas anak (Edwards, Hadfield,
Lucey, & Mauthner, 2006).
Hubungan Persaudaraan
Anak (Sibling Relationship)
Psikologi perkembangan manusia
memberikan pemahaman mengenai keuntungan-keuntungan psikologis yang didapatkan
oleh anak yang bersaudara. Anak yang memiliki saudara di dalam keluarga
memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan adanya perselisihan di dalam
hubungan sibling, dimana anak mulai
belajar untuk mempertahankan prinsipnya dan menegosiasikan ketidaksetujuan
(Ross dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Tidak hanya konflik, hubungan
persaudaraan memberikan pola interaksi sosial yang lain seperti kasih sayang,
perhatian, persahabatan, dan saling mempengaruhi (hal. 278). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa persaudaraan yang terdiri dari adik beusia satu setengah
tahun dengan kakak berusia tiga sampai setengah tahun menunjukkan adanya
kecenderungan muncul perilaku prososial dan perilaku play-oriented yang lebih tinggi daripada persaingan dan kompetisi
(Abramovitch dkk. dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Saudara yang lebih
tua lebih banyak berinisiatif, baik dalam perilaku yang ramah maupun yang tidak
ramah, sedangkan saudara yang lebih muda cenderung banyak meniru kakaknya.
Ketika usia adik sudah mencapai lima tahun, hubungan persaudaraan mulai
melibatkan kontak verbal dibandingkan fisik dalam menunjukkan agresivitas,
kepedulian, dan kasih sayang (hal. 278).
Kualitas hubungan persaudaraan dapat
mempengaruhi seseorang dalam hubungannya dengan anak-anak lain diluar keluarga.
Anak yang agresif dengan saudara juga diperkirakan agresif dengan
kawan-kawannya. Penemuan yang lain adalah saudara yang lebih tua yang memiliki
hubungan baik dengan kawan sebelum kelahiran adiknya dapat memperlakukan
adiknya dengan lebih baik dan kemungkinan yang kecil terhadap perilaku
antisosial pada usia remaja (Kramer & Kowal dalam Papalia, Olds, &
Feldman, 2009).
Bagaimana dengan anak tunggal? Banyak
orang beranggapan bahwa anak tunggal tidak memiliki benefit seperti yang
dimiliki anak-anak lain, yaitu interaksi sosial kakak atau adik yang dapat
mengajarkan mereka untuk membina kasih sayang, kemampuan bekerja sama, dan
sebagainya. Tak sedikit pula yang mengatakan bahwa anak tunggal egois,
kesepian, dan kurang mampu menyesuaikan diri. Namun, penelitian yang dilakukan
Falbo dan Polit berkata sebaliknya. Penelitian ini menghasilkan bahwa anak
tunggal memiliki prestasi akademis dan kecerdasan verbal yang sedikit diatas
anak-anak dengan saudara (Falbo & Polit dalam Papalia, Olds, & Feldman,
2009). Anak tunggal cenderung lebih termotivasi untuk mencapai tujuan didukung
dengan harga diri yang sedikit lebih tinggi; dan dalam aspek penyesuaian emosi,
sosiabilitas, atau popularitas, anak tunggal tidak berbeda dengan anak yang
memiliki saudara. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh orang tua yang hanya
fokus memberikan perhatian kepada satu anak, sehingga ekspektasi orang tua
terhadap anak lebih besar daripada orang tua yang memiliki banyak anak (hal.
278).
Studi literatur lain tentang gambaran
kepribadian anak tunggal di Cina menunjukkan bahwa anak-anak dengan saudara
memiliki tingkatan rasa takut, kecemasan, dan depresi yang lebih tinggi
daripada anak tunggal, tanpa melibatkan aspek jenis kelamin dan usia (Yang dkk
dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Penelitian Falbo berikutnya
menghasilkan bahwa anak tunggal memiliki prestasi akademis dan pertumbuhan
fisik yang kurang lebih sama, atau lebih baik daripada anak dengan saudara
(Falbo & Poston dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Berbagai
penelitian ini nampaknya tidak mendukung paradigma yang telah dibentuk
masyarakat mengenai anak tunggal. Dari data-data diatas dapat kita pahami bahwa
tidak ada perbedaan pola kepribadian yang signifikan antara anak tunggal dengan
anak yang memiliki saudara.
Peran
Orang Tua dalam Konflik Saudara
Menurut Edwards, Hadfield, Lucey,
& Mauthner (2006), hubungan interaksi anak dengan saudara, termasuk adanya
konflik dan agresivitas berperan penting dalam membangun kepribadian seseorang
dari masa kanak-kanak dan berdampak pada kehidupannya setelah dewasa. Proses
pembentukan karakter anak teradap perilaku dan argumen-argumen yang mengganggu
dengan saudara mereka memberi pemahaman mengenai status usia dan hierarki
kekuasaan, serta melibatkan perbedaan kelas sosial (hal. 81). Tentu saja,
campur tangan orang tua perlu ada agar dapat mengarahkan anak dalam menghadapi
konflik.
Faber & Mazlish (dalam Edwards,
Hadfield, Lucey, & Mauthner 2006, hal. 88-89) melakukan penelitian dan
menemukan tahapan konflik anak orang tua
perlu melakukan intervensi untuk mencegah kekerasan yang serius, serta
menghindari penurunan harga diri pada anak.
Tahap
I: Pertengkaran normal
1. Biarkan
saja. Pikirkan tentang liburan berikutnya.
2. Katakan
pada diri anda bahwa anak-anak sedang mengalami pengalaman penting untuk
menghadapi konflik lainnya kelak.
Tahap
II: Situasi mulai memanas. Intervensi orang
dewasa mungkin diperlukan
1. Nyatakan
kemarahan mereka.
“Adik, Kakak, kalian
berdua berteriak satu sama lain.”
2. Refleksikan
kedua sudut pandang anak.
“Jadi, Adik mau memeluk
Piko (nama kucing) terus karena Piko tidur di pangkuan Adik. Tapi Kakak juga
mau dapat giliran memeluk Piko.”
3. Gambarkan
permasalahan dengan rasa hormat.
“Sulit juga ya, kalau
harus membagi Piko jadi dua untuk Kakak dan Adik.”
4. Nyatakan
kepercayaan diri pada kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah ini.
“Ibu percaya Kakak dan
Adik bisa menyelesaikan masalah ini dan bisa rukun. Kasihan juga kan si Piko.”
5. Tinggalkan
mereka.
Tahap
III: Situasi mungkin membahayakan
1. Tanyakanlah.
“Kalian ini pura-pura
bertengkar atau bertengkar sungguhan??” (pura-pura bertengkar (play fight) diperbolehkan, sedangkan
bertengkar sungguhan tidak)
2. Beritahukan
pada anak-anak.
“Tolong pura-pura
bertengkar jika kalian berdua sama-sama senang.” (jika salah satu tidak senang
maka tidak boleh)
Tahap
IV: Situasi membahayakan! Intervensi orang
dewasa sangat dibutuhkan.
1. Gambarkan
apa yang anda saksikan.
“Ibu melihat ada dua
anak kecil ingin saling menyakiti satu sama lain.”
2. Pisahkan
mereka.
“Kalau kalian begini
terus pasti tidak aman. Adik, Kakak, sekarang masuk kamar masing-masing.”
Hubungan sosial yang terjalin
antarsaudara pasti terjadi dalam keluarga. Bagaimanapun juga, konflik tidak
akan pernah terhindarkan. Sehingga, orang tua bertanggung jawab dalam
mengarahkan anak dan melakukan intervensi agar konflik saudara tidak berlanjut
sampai tahap kekerasan baik fisik maupun verbal.
SEKOLAH
Bronfenbrenner membagi faktor lingkungan sosial tersebut menjadi
tiga faktor secara umum yaitu keluarga, sekolah dan peer-group. Di antara ketiga faktor tesebut sekolah merupakan salah
satu “agen sosialisasi” penting dalam perkembangan seorang anak selain keluarga
yang merupakan agen sosialisasi primer. Faktor sekolah menjadi penting karena
adanya fakta bahwa orang tua tidak mungkin dapat mengawasi penuh seluruh tahap
perkembangan anak, khususnya ketika anak mulai memasuki masa remaja dan dewasa
awal. Keberadaan sekolah sebagai agen sosial yang mendukung perkembangan anak
inilah yang akan dibahas lebih lanjut.
Sekolah merupakan salah satu
wadah yang penting bagi perkembangan anak oleh sebab itu layaknya sebuah wadah
perkembangan yang baik, sekolah seharusnya mampu mengerti akan motivasi dan
needs dari anak. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi dan
needs anak.
1.
Pemuasan
kebutuhan dan reinforcement dari suatu tingkah laku
Seorang anak akan cenderung mengulangi tindakan mereka yang memberikan
suatu kepuasan dari kebutuhan mereka saat kebutuhan itu muncul lagi. Sebagai
contohnya seorang anak yang memiliki kebutuhan akan pujian dari gurunya yang ia
dapat saat mencoba untuk menjawab pertanyaan dari gurunya akan cenderung untuk
terus menjawab pertanyaan dari gurunya agar ia mendapat pujian yang ia inginkan
itu sehingga memperkuat motivasinya untuk secara aktif menjawab pertanyaan dari
gurunya tersebut.
2.
Pengaruh
lingkungan sosial terhadap pemerolehan needs
Lingkungan sosial yang diciptakan di sekolah juga berpengaruh terhadap
motivasi anak terutama aturan- aturan di sekolah dan tekanan sosial yang diberikan
oleh peer di sekolah. Sebagai contohnya apabila seorang anak menjahili teman-
temannya yang kemudian mulai menjauhi dia akan membuatnya merasa dikucilkan
sehingga mengurangi motivasi dari anak tersebut untuk menjahili temannya akan
tetapi apabila ada sekelompok anak yang justru mendukung perbuatannya itu akan
membuat anak tersebut lebih termotivasi untuk menjahili temannya karena ia
merasa mendapatkan ‘tempat’ di komunitas anak- anak yang mendukungnya tersebut.
3.
Kelas
sosial mempengaruhi dalam pemerolehan needs
Seorang anak yang berasal dari kelas sosial menengah akan menerima
reward and punishment yang berbeda pula di keluarganya. Sebagai seorang tenaga
didik, seorang guru seharusnya bisa mengerti apa yang sebenarnya mendorong
seorang anak untuk berbuat sesuatu sehingga seorang guru menumbuhkan motivasi
dari anak tersebut untuk berbuat lebih baik
4.
Rumah
Kondisi rumah seorang anak bisa mempengaruhi motivasinya untuk
melanjutkan studi maupun untuk berprestasi di kelas. Sebuah studi yang
dilakukan oleh Kahl terhadap 24 orang anak menunjukan bahwa anak yang tidak
memiliki keinginan untuk berkuliah berasal dari keluarga yang tidak menekankan
pada keharusan untuk berkuliah sedangkan anak yang memiliki keinginan untuk
berkuliah berasal dari keluarga yang menekankan pada pentingnya berkuliah.
Studi dari Kahl menunjukkan hubungan dari status sosial yang diukur dengan
pekerjaan dari ayah dan keinginan untuk berpendidikan dan bekerja dari anak
pada keluarga tersebut. Pada studi itu, sebagian besar persentase dari anak
yang ingin melanjutkan ke tingkat kuliah berasal dari keluarga yang ayahnya
berada di tingkat tertinggi pada tabel dan memiliki tingkat inteligensi yang
berada pada tingkat tertinggi pula dan persentase keinginan anak ingin
melanjutkan kuliah tersebut turun seiring dengan turunnya tingkat dari
pekerjaan dari ayah dan tingkat inteligensinya pula. Hal ini disebabkan oleh
pola pikir bahwa mereka tidak mampu untuk membiayai pendidikan ke tingkat yang
lebih lanjut atau menganggap mereka tidak cukup pintar untuk melanjutkan
pendidikan tersebut.
5.
Bagaimana
cara anak itu dibesarkan
Menurut studi yang dilakukan oleh Winterbottom, seorang anak dengan ibu
yang memiliki n terhadap achievement yang tinggi akan menuntut lebih banyak
terhadap anaknya sehingga anaknya berusaha memenuhi ekspektasi dari ibunya
tersebut dan ketika mereka berhasil, mereka akan diberi reward oleh sang ibu
sehingga akan memperkuat motivasi dari anak tersebut. Sebagai contohnya, anak
yang ibunya memiliki n achievement yang tinggi akan dituntut oleh ibunya untuk
berprestasi di sekolah seperti mendapatkan rangking 1. Ketika anak tersebut
mendapatkan rangking 1, ia akan mendapatkan reward dari ibunya sehingga akan
memacu motivasi ia untuk berprestasi di sekolah dan akan terus mempertahankan motivasinya
untuk di tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi.
6.
Ketertarikan
akan lawan jenis
Faktor ini merupakan faktor yang sering dilewatkan oleh guru di sekolah.
Para guru tidak menyadari akan betapa pentingnya faktor satu ini bahwa murid
laki- laki dapat memiliki motivasi untuk berusaha lebih baik ketika digabungkan
bersama murid perempuan. Sebagai contoh tim sepak bola laki- laki akan lebih
termotivasi untuk memenangkan pertandingan ketika disoraki oleh murid
perempuan.
7.
Keinginan
untuk melakukan sesuatu secara aktif
Seorang guru juga sering melewatkan faktor yang satu ini bahwa murid-
murid cenderung untuk lebih termotivasi menguasai bahan pelajaran saat bahan
tersebut tidak hanya diberikan secara teoritis melainkan juga dilakukan
prakteknya. Murid- murid tampak jauh lebih menikmati proses pembelajaran dengan
praktek karena mereka memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu secara aktif.
Hal ini disebabkan oleh secara instingtif manusia memiliki dorongan untuk
melakukan gerakan tubuh, eksplorasi, melakukan permainan, memecahkan masalah,
dll.
Peran sekolah dalam masa
perkembangan anak sangatlah penting, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa
keberadaan sekolah tidak dapat lepas dari keberadaan faktor lain yaitu keluarga
dan peer-group. Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2011) menekankan pentingnya ketiga
faktor ini yitu keluarga, sekolah dan peer-group
dalam menunjang perkembangan anak.
Namun di lain pihak,
keberadaan sekolah juga dapat menjadi bumerang ketika pendidikan dan
sosialisasi yang diberikan dalam sekolah itu sendiri tidak sesuai atau bahkan
salah tujuan. Dengan demikian diperlukan perhatian, perencanaan serta
pelaksanaan yang tepat agar keberadaan sekolah dapat menghasilkan dampak
positif bagi perkembangan anak. beberapa aspek penting yang mungkin harus
diberikan porsi perhatian besar seperti:
·
Ketepatan
antara konten ajar dengan kesiapan tujuan pengajaran.
Development Appropriate Practice yaitu pemberian konten pendidikan berdasarkan pada
tahap perkembangan anak, menurut Hart, dkk serta Stipek, dkk (1995, dalam
santrock, 2011) akan membawa dampak-dampak positif seperti meingkatkan
kreatifitas, rasa percaya diri, hingga kemampuan bersosialisasi yang lebih
baik.
·
Faktor
lingkungan fisik sekolah
Faktor lingkungan fisik juga
perlu diperhatikan dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan sekolah itu
sendiri. Faktor-faktor seperti bentuk ruang, jumlah peserta ajar, keberadaan
pekerja (guru dan management
sekolah), hingga kegiatan diluar jam pelajaran perlu dirancang agar sesuai
dengan tujuan pendidikan. Sebagai contoh, bangunan fisik sekolah sebaiknya
dirancang terbuka dan meminimalisir ruang yang tertutup sehingga
tindakan-tindakan negative seperti bullying atau pelanggaran secara seksual
dapat dicegah.
·
Whole-School Approach
Raihani (2011) dalam jurnalnya
menuliskan pentingnya kesatuan pelaksanaan dari semua aspek sekolah. Kesatuan
dalam pelaksanaan tujuan sekolah ini dipandang penting karena akan berdampak
pada setiap peserta ajar, dimana orang dewasa seperti guru, kepala sekolah
serta aparatr lain dapat dipandang sebagai role
model bagi peserta ajar. Selain aparatur sekolah, pembuatan visi dan misi,
pemilihan kurikulum, dll. juga perlu diperhitungkan agar tujuan sekolah dapat
didukung dan tidak menimbulkan kebingungan karena terdapat dualism tujuan dalam
pendidikan di sekolah.
·
Pengaturan
sistem yang efektif
Keberadaan sistem pendidikan
yang efektif juga perlu diperhatikan, mengingat keberhasilan pembelajaran dalam
sekolah juga ditunjang oleh keberadaan sistem ajar itu sendiri. semakin baik
sistem pendidikan, semakin tebuka pula kemungkinan sekolah untuk mencapai
tujuan pendidikan dalam sekolah, walaupun keberhasilan tersebut tidak hanya
ditentukan oleh sistem yang digunakan. Penentuan sistem yang terbaik
membutuhkan proses yang ketat seperti penentuan tujuan, pembuatan sistem
(langkah-langkah pratis sari sistem), evaluasi dan juga perbaikan terus menerus
dalam sistem pendidikan.
·
Penciptaan
lingkungan pendidikan yang setara
Sekolah harus mampu
menciptakan lingkungan sosial yang bebas dari bias cultural. Kebebasan dari
bias cultural ini penting guna meminimalisir perasaan berkuasa atau superior
dari satu pihak kepada pihak lain dalam lingkungan sekolah. Penciptaan
lingkungan yang setara juga penting mengingat penting peranan peer-group terhadap individu anak dalam
tahap perkembangannya. Pengaruh peer-group sendiri menjadi penting karena
penerimaan diri dalam sebuah kelompok sangatlah menentukan harga diri dari
seorang individu khususnya pada anak (Stryker, 1980, dalam Cast & Burke, 2002). Selain menyangkut harga diri, peran peer-group terhdap individu juga menjadi
peting karena seringkali kesepakatan atau aturan peer dijadikan landasan tingkahlaku dari individu yang bahkan juga
turut mempengaruhi prestasi akademik. Melihat pentingnya pengaruh peer,
penciptaan lingkungan sosial yang setara menjadi hal penting yang perlu
dicermati oleh sekolah.
·
Membangun
iklim akademis yang sehat
Iklim akademik sangat
penting khususnya menyangkut masalah motivasi belajar. Lingkungan sekolah
dimana iklim akademik yang dimiliki sehat, cenderung akan lebih memotivasi
peserta untuk belajar. Iklim akademik ini sendiri juga tidak lepas dari
pengaruh peer-group dan juga faktor
guru. Faktor guru dapat dikatakan sebagai pendorong eksternal yang vital
mengingat fungsi guru yang adalah fasilitator dalam proses belajar. Keberadaan
guru yang dapat memotivasi peserta ajar untuk mau belajar secara intrinsic akan
menciptakan iklim yang lebih baik dibandingkan keinginan belajar yang
dikarenakan faktor reward atau eksternal saja.
Di luar daripada
faktor-faktor tersebut, hal tidak kalah penting dalam mencapai keberhasilan
dari tujuan pendidikan dalam sekolah adalah diciptakannya konsistensi dan
stabilitas dalam sekolah itu sendiri. konsistensi dan stabilitas ini akan
mencakup seluruh aspek dari pendidikan dalam sekolah itu sendiri baik
lingkungan fisik, sosial, hingga sistem pendidikan yang digunakan. Tanpa adanya
konsistensi dan stabilitas (yang sebaiknya juga turut dijaga dalam setiap
jenjang pendidikan yaitu TK, SD, SMP, dan SMA) sistem dan tujuan sebaik apapun
tidak akan membuahkan hasil maksimal.
MASYARAKAT
Vygotsky
melalui Teori Perkembangan Kognitifnya menekankan pentingnya masyarakat dan
budaya untuk pertumbuhan kognitif seseorang (perspektif sosial-budaya). Menurut
Vygotsky, melalui masyarakat seseorang dapat mempelajari mengenai berbagai hal,
seperti percakapan informal, pendidikan formal, pemikiran dan bahasa, dan
proses mental yang kompleks sebagai kegiatan internalisasi sosial.
·
Budaya
Dalam jurnal karya Junko Kobayashi dan
Linda Viswat disebutkan, bahwa perbedaan sikap mengajar dan persepsi siswa
dalam belajar terlihat dari budaya setempat. Jurnal tersebut membandingkan
antara cara masyarakat Jepang dengan AS dalam diskusi dan kompetisi kelas, cara
menolak pernyataan guru, serta, efisiensi. Keduanya memiliki perbedaan yang
significant sebab dalam budaya belajar terkandung
kebiasaan belajar dan cara-cara belajar yang dianut
oleh siswa. Pada umumnya, setiap orang (siswa) bertindak berdasarkan force
of habit (menurut kebiasaannya) sekalipun ia tahu bahwa ada cara lain yang
mungkin lebih menguntungkan. Meskipun berbeda-beda, seorang psikolog, Donald
Campabell dan rekannya ((Brewer dan Campabell, 1976; Campabell dan LeVine,
1968), dalam Santrock,2008) menemukan bahwa orang-orang di semua kultur
cenderung :
·
percaya bahwa apa yang terjadi dalam
kultur mereka adalah sesuatu yang ”alami” dan ”benar” dan apa yang terjadi di
dalam kultur lain adalah ”tidak alami” dan ”tidak benar”;
·
menganggap bahwa kebiasaan kultural
mereka adalah valid secara universal;
·
berperilaku dengan cara-cara yang sesuai
dengan kelompok kulturnya; dan
·
bermusuhan terhadap kelompok kultur
lain.
·
Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi merujuk pada
sekelompok masyarakat dengan pekerjaan, pendidikan, dan karakter ekonomi yang
serupa. Anggota masyarakat umumnya memiliki pekerjaan yang beragam jenis dan
tingkatnya, tingkat pencapaian pendidikan yang ber beda (dan beberapa memiliki
akses yang lebih banyak menuju pendidikan yang lebih baik), sumber ekonomi yang
berbeda, dan tingkat kekuatan untuk mempengaruhi kelompok yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan ini punya kemampuan untuk mempengaruhi sumber daya yang ada
dan untuk bergabung di dalam masyarakat. Perbedaan sosial ekonomi adalah cara
digunakan makhluk hidup untuk ada baik di dalam dan di luar keluarga (Huston
& Ripke, 2006, dalam Santrock, 2011).
·
Media Massa
Media massa yang
terdiri dari media cetak dan media elektronik turut memberikan kontribusi dalam
pendidikan. Melalui media massa informasi-informasi mengenai pengetahuan dapat
tersampaikan. Namun, dampak negatif juga dimungkinkan terjadi memalui media
massa ini. Contoh memalui televisi, tayangan dalam televisi belum tentu dapat
dijadikan pelajaran seperti acara infotaiment dan sinetron. Albert Bandura
mengembangkan teori belajar sosial menjelaskan bahwa melalui pembelajaran
sosial seseorang dapat belajar melalui pengamatan (observation learning)
terhadap suatu model.
·
Pemerintah
Menurut Soerjono
Soekanto Masyarakat berhubungan dalam waktu yang cukup lama. Sebagai akibat
hidup bersama timbul sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan antarmanusia. Di Indonesia sendiri, pemerintah mengatur sistem
kurikulum pendidikan yang berbeda-beda setiap kali masa pemerintahan berganti.
dengan kurikulum yang berubah-ubah sehingga membuat siswa harus selalu
menyesuaikan metode belajar dengan kurikulumnya.
·
Bahasa
Menurut Santrock
(2011), definisi bahasa adalah sebagai berikut,
Language is a form of
communication, whether spoken, written, or signed, that is based on a system of
symbols.
Jadi,
definisi bahasa adalah sebuah bentuk komunikasi apakah itu lisan, tulisan,
maupun tanda-tanda yang berdasarkan sistem simbol. Penggunaan bahasa menjadi
berperan penting dalam konteks masyarakat karena masyarakat jika dilihat
sebagai suatu sistem, dia memiliki aturan mengenai penggunaan bahasa dalam
kesehariannya. Setiap individu anggota masyarakat dipengaruhi dengan bahasa
dalam fungsi pragmatisnya. Bryant (2009, dalam Santrock, 2011) mengemukakan
bahwa peran pragmatis dari bahasa dapat menjadi kompleks dan berbeda dari satu
budaya dengan budaya lainnya. Bahasa dalam hal ini mempengaruhi kognisi
seseorang (King, 2011). Ini sesuai dengan pandangan Vygotsky (dalam Santrock
2011) bahwa teorinya berfokus pada kemampuan kognitif perlu diinterpretasikan
secara perkembangannya, dimediasi dengan bahasa dan lingkungan hubungan sosial
dan budaya tempat tinggalnya. Berdasarkan fokus ini, dia mengemukakan Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Jadi, pentingnya fungsi pragmatis bahasa yang melibatkan peran masyarakat
secara aktif dalam interaksi sosial untuk memfasilitasi anak membangun
pengetahuan mengenai dunia.
·
Gender
Istilah gender merujuk pada
karakteristik individu sebagai laki-laki atau perempuan (Santrock, 2011).
Terkait dengan peran masyarakat, gender menjadi salah satu aspek yang
mempengaruhi performa individu khususnya dalam kegiatan akademik. Alasannya,
masyarakat punya peran dalam stereotype
gender typing kepada anggota masyarakat lainnya. Dasar dari stereotype gender typing ini adalah gender schema theory yang berisi tentang
skema seperti apa yang sesuai dengan masing-masing gender oleh masyarakatnya
(Santrock, 2011). Implikasinya pada kehidupan pendidikan siswa adalah adanya
prasangka perbedaan kekuatan dan kelemahan masing-masing gender dalam hal
kemampuan otak, performa fisik, intelegensi, kemampuan matematika dan ilmu
pengetahuan alam, kemampuan verbal, kemampuan membangun hubungan, pencapaian
pendidikan, perilaku prososial, agresi, serta emosi dan regulasinya (Santrock,
2011). Ketika perbedaan ini diatribusi secara positif khususnya di aspek-aspek
yang menjadi kelemahan suatu gender, maka akan memotivasi mereka dalam
mengoptimalkan pencapaian akademisnya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah
sebaliknya. Jadi, masyarakat punya peran penting dalam stereotype
gender typing yang kaitannya dengan pencapaian akademik para siswa.
·
Etnis
Menurut
Santrock (2011),
Ethnicity refers to a
shared pattern of characteristics such as cultural heritage, nationality, race,
religion, and language.
Jadi,
etnisitas merujuk pada pola yang terbagi dari beberapa karakteristik seperti
warisan budaya, agama, bahasa, ras, dan nationalitas. Etnisitas seringkali
diasosiasikan dengan prasangka dan diskriminasi. Menurut Millon & Lerner
(2003), prasangka adalah sikap yang biasanya cenderung negatif terhadap suatu
kelompok sosial dan anggotanya. Sementara diskriminasi adalah perilaku yang ditunjukkan
terhadap suatu kelompok sosial atau anggotanya sebagai bentuk tindakan dari
adanya prasangka.
Etnisitas mempengaruhi pendidikan dalam
berbagai hal seperti pemilihan program pembelajaran siswa di sekolah,
pengelompokan kelas, atau standarisasi nilai ujian.
Daftar Pustaka
Allen,
S., & Dally, K. (2007). The Effects
of father involvement: An updated research summary of the evidence. Diakses
dari Centre for Families, Work & Well-Being University of Guelph: http://www.fira.ca/cms/documents/29/Effects_of_Father_Involvement.pdf
Barber,
B. L., & Eccles, J. S. (1992). Long-term of divorce and single parenting on
adolescent family and work-related values, behaviors, and aspirations. Psychological Bulletin, 1, 108-126.
Davis-Kean,
P.E. (2005) The Influence of parent education and family income on child
achievement: The indirect role of parental expectations and the home environment,
Journal of Family Psychology,19(2),
294-304.
Doskow,
E. (2006). Nolo’s essential guide to
divorce (1st ed.). USA: Nolo.
Duchesne, S., dan
Ratelle, C. (2010). Parental behaviors and adolescents’ achievement goals at
the beginning of middle school: Emotional problems as potential mediators. Journal of Educational Psychology, 102, 497-507.
Edwards,
R., Hadfield, L., Lucey, H., & Mauthner. M. (2006). Sibling identity and relationships: Sisters and brothers. New York:
Taylor & Francis Group.
Elliot, S. N.,
Kratochwill, T. R., Cook, J. L., & Travers, J. F. (2000). Educational psychology: effective teaching,
effective learning (3rd ed.). USA: McGraw-Hill.
Englund M. M., dkk.
(2004). Children’s achievement in early elementary school: Longitudinal effects
of parental involvement, expectations, and quality of assistance, Journal of Educational Psychology, 9(4),
723-730.
Grolnick, W. S., dan Ryan, R. M. (1989). Parent styles
associated with children's self-regulation and competence in school. Journal of Educational Psychology, 81,
143-154.
Gray,
J. (1999). Children are from heaven:
Positive parenting skills for raising cooperative, confident, and compassionate
children. New York: HarperCollins Publisher.
Singgih,
G. D. (2004). Dari anak sampai usia
lanjut: Bunga rampai psikologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Hong, S., dan Ho, H.
(2005). Direct and indirect longitudinal effects of parental involvement on
student achievement: Second-order latent growth modeling across ethnic groups. Journal of Educational Psychology, 97,
32-42.
Hymovich,
D. P., & Chamberlin, R. W. (1980). Child
and family development: Imlications for primary health care. United States
of America: McGraw-Hill. Diakses dari
http://www.abebooks.com/9780070316508/Child-Family-Development-Implications-Primary-0070316503/plp
McCombs,
A., & Forehand, R. (1989). Adolescent school performance following parental
divorce: are there family factors that can enhance success. Adolescence, 24, 872-880.
McIntosh,
K. L., & Bauer, W. (2006). Working mothers vs stay at home mothers: The
impact on children (thesis). Marietta College. Diakses dari
http://etd.ohiolink.edu/send-pdf.cgi/McIntosh%20Kelly%20L.pdf?marietta1144855683
Papalia,
D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed.). USA: McGraw-Hill.
Pohan,
L. D. Diri dan keluarga. Diambil dari
materi kuliah Pemahaman Diri pada 23 September 2010 di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Depok.
Pong,
S-L., Dronker s, J., & Hampden-Thomson, G. (2003). Family policies and
children's school achievemen in single-versus two-parent families. Journal of Marriage and Family, 65 (3),
681-699. Diakses dari
http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/search/detailmini.jsp?_nfpb=true&_&ERICExtSearch_SearchValue_0=EJ672723&ERICExtSearch_SearchType_0=no&accno=EJ672723
Potter,
D. (2010). Psychosocial well-being and the relationship between divorce and
children’s academic achievement. Journal
of Marriage and Family, 72, 933-946.
Santrock,
J. W. (2011). Educational psychology
(5th ed.). New York:
McGraw-Hill.
Sarwono,
S. W. & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi
sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Sunarto,
K. (2004). Pengantar sosiologi (3th
ed.). Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
Uwaifo,
V. O. (2008). The effects of family structure and parenthood on the academic
performance of Nigerian University Students. Department of Vocational and Technical Education, 2(2): 121-124.
Diakses dari
http://www.krepublishers.com/02-Journals/S-HCS/HCS-02-0-000-08-Web/HCS-02-2-087-08-Abst-Text/HCS-02-2-121-08-056-Uwaifo-V-O/HCS-02-2-121-08-056-Uwaifo-V-O-Tt.pdf
Sherkat,
D.E.(Feb 06, 2007). Religion and Higher Education: The Good, the Bad, and the
Ugly. http://religion.ssrc.org/reforum/Sherkat.pdf
Santrock,
J.W.(2011).Educational Psychology (5th Ed.).China: McGraw-Hill
Millon,
Theodore, & Lerner, Melvin J. (2003). Handbook of Psychology :Personality
and Social Psychology. New Jersey: John Wiley&Sons, Inc.
Cast, A.D., & Burke, P.J. (2002). A Theory of Self-Esteem. Social
Forces, 80, 3,
1041-1068.
Owens, T.J., Mortimer, J.T., & Finch, M.D. (1996). Self-Determination as a Source of
Self-Esteem in Adolescence.
Social Forces, 74, 4, 1377-1404.
Raihani. (2011). A whole-school approach: A proposal for education
for tolerance in Indonesia. Theory and
Research in Education,
9:
23. doi:
10.1177/1477878510394806
Santrock, J.W. (2011). Educational Psychology. New York: USA.