ANALISIS
BERITA PSIKOLOGI MEDIA
TAWURAN
SMA 6 JAKARTA
(RCTI
DAN METRO TV)
DISUSUN
OLEH
HAMZAH
SAIFULHAQ/ 0706276293
KAMAL
HASAN/ 0706276356
M.
FAJRI/ 1006689076
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
INDONESIA
©
2011
Bab
I
Pendahuluan
Banyak
studi menunjukkan bahwa televisi dan media mempunyai kemampuan untuk menyampaikan
informasi dan mengubah atau membentuk sikap seseorang. Pengaruh media dapat
mempengaruhi persepsi penontonnya. Baik itu berupa perilaku sosial dan realitas
sosial (Bandura, 1977; Hawkins & Pingree, 1982), berkontribusi terhadap
norma sosial ( Gerbner, 1985; Greenberg, 1982), menyampaikan informasi yang
memfokuskan kepada tingkah laku sebagaimana aslinya (Bandura, 1977; Roberts,
1982). Televisi dan media bahkan menawarkan remaja(teenagers) ekspos perilaku kekerasan (Gagnon & Simon, 1987;
Silverman-Watkins, 1983).
Pada masa ini media mempunyai
pengaruh yang sangat siginifikan bagi kehidupan manusia. Media yang berkembang
di zaman global ini juga berlomba dalam melakukan pemberitaan serta ekspos
hal-hal yang berkaitan dengan kejadian kekinian (recent) kepada masyarakat. Media berfungsi sebagai penghubung
masyarakat di suatu daerah dengan masyarakat dunia. Terdapat sisi positif dan
sisi negatif dari media. Banyak penelitian yang mendukung bahwa media bisa
diibaratkan 2 sisi mata uang. Satu berbeda dengan satu lainnya. Masing-masing
berdampak berbeda baik itu positif maupun negatif.
Peran media yang ingin kami bahas
dalam makalah ini adalah berdasarkan dampak yang telah diteliti dan dilihat secara
implisit serta eksplisit oleh individu lainnya, yang juga merupakan bagian dari
individu yang terekspos media. Bagaimana media dapat mempengaruhi cara berpikir
(cognitive), berperilaku (behave), dan memiliki afeksi (affective) suatu individu atau masyarakat
jika terekspos oleh media.
Bab
II
Landasan
Teori
Agressive Behavior
Agresi
tingkat serius tidak akan pernah terjadi tanpa adanya
konvergensi(kesama-rataan) dalam jumlah yang besar dari penyebabnya. Namun,
salah satu hal yang terpenting kita bisa melihat ekspos dari media yang
mengandung kekerasan sebagai salah satu penyebabnya (Huesmann, 1986). Lebih
dari 1000 studi yang dilakukan ilmuwan di Amerika, kekerasan dalam media
termasuk salah satu penyebab meningkatnya kekerasan dalam kehidupan nyata(
Strasburger, 1993).
Ada
beberapa pengaruh media terhadap meningkatnya kekerasan, yaitu : (1)
memfasilitasi atau men-trigger
agresivitas dan perilaku antisosial, (2) membuat penonton menjadi desentisisasi
terhadap kekerasan, sehingga kekerasan itu dianggap menjadi hal yang biasa. (3)
meningkatkan dan memperkuat anggapan serta argumen penonton bahwa mereka hidup
dalam dunia yang berbahaya dan kejam, padahal belum tentu. (Comstock, 1991 ;
Gerbner, 1992).
Pada
tahun 1972 Surgeon General dan National Institute of Mental Health
melaporkan bahwa ekspos dari kekerasan dalam media dapat meningkatkan perilaku
agresif pada anak-anak muda (Pearl, 1982 ; Surgeon General’s Scientific
Advisory Committe, 1972). Anak-anak muda
tersebut berada dalam rentang umur 10-20 tahun dan menunjukkan adanya korelasi
positif yang ditimbulkan oleh ekspos kekerasan dalam media.
Eksperimen
yang dilakukan Bandura, Ross, & Ross (1963) yang mengobservasi anak-anak
pra-sekolah dapat dijadikan acuan. Anak-anak yang menjadi objek eksperimen di-setting dalam ruangan yang diperbolehkan
bagi mereka bermain. Dalam ruangan itu sudah ada boneka yang dinamakan Bobo Doll. Boneka tersebut dilengkapi
dengan hidung merah yang nantinya digunakan untuk membuktikan apakah setelah
menonton kekerasan anak-anak tersebut akan menjadikan hidung boneka merah
tersebut sebagai bahan target. Tujuan dari peneltian ini adalah untuk melihat
apakah ada efek dari hasil mengobservasi model yang ada di hadapan seorang
individu. Eksperimen yang kemuadian dikenal dengan Observational Learning ini dapat menunjukkan bahwa dari melihat
model memperagakan sebuah perilaku, dapat membuat orang yang mengobservasi
model tersebut menirukan hal yang kurang lebih sama dengan model tersebut. Dari
eksperimen yang dilakukan Bandura, anak-anak yang diberikan treatment berupa film dengan konten
kekerasan, mereka lebih menunjukkan perilaku agresif dibanding anak-anak yang
tidak diberikan treatment berupa film
dengan konten kekerasan tersebut.
Penelitian
Bandura ini diperkuat oleh riset lainnya, yang menemukan bahwa anak yang terekspos
dengan perilaku yang agresif akan cenderung menghasilkan perilaku agresif juga
6-8 bulan kemudian ( Hicks, 1965). Ini juga diperkuat oleh eksperimen yang
dilakukan oleh Steuer. Dalam eksperimennya tersebut, ia menemukan bahwa
anak-anak prasekolah yang menonton perilaku kekerasan biasa pada saat jam
istirahat, mereka akan menunjukkan perilaku yang agresif dibanding anak-anak
yang menonton film tanpa konten kekerasan.
Penelitian
serupa juga dilakukan oleh ilmuwan lainnya. Pada 1961, eksperimen terhadap anak
prasekolah yang menggunakan film kartun yang mengandung kekerasan. Dalam kartu
tersebut terdapat 4 ekor beruang, 1 Ibu beruang dan yang lainnya anak beruang.
Dalam film tersebut terdapat konten kekerasan. Setelah diteliti, anak-anak
tersebut memang tidak menunjukkan perilaku yang agresif, namun, mereka
menunjukkan perilaku non-imitasi(seperti penggeneralisasian, atau disinhibition) (Lovaas, 1961).
Studi
korelasional yang dilakukan terhadap 2.300 sampel yang terdiri dari junior dan senior high school di daerah Maryland juga mendukung teori di atas.
Studi ini meneliti 5 peringkat teratas program kesukaan sampel tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan dari sampel, menyukai film aksi yang
mengandung konten seperti menendang, memukul, berkelahi, dll. (McIntyre &
Teevan, 1972).
Pada
tahun 1972 dilakukan penelitian longitudinal terhadap sampel nasional Amerika.
1500 orang remaja yang berumur 19 tahun dijadikan sampel. Hasil peneltian
menunjukkan remaja yang memiliki preferensi atau kesukaan terhadap program yang
mengandung kekerasan seperti program action
secara signifikan menunjukkan perilaku yang lebih agresif. Hasil ini
didapat dari self-report behavior (Robinson
& Bachman, 1972). Hasil penelitian ini kemudian menunjukkan bahwa ternyata
memang ada hubungan kekerasan yang dipertontonkan di televisi dapat
memfasilitasi atau men-trigger remaja
untuk berprilaku agresif.
Studi
yang dilakukan Greenberg dan Dominick juga menujukkan hal yang sama. Studi ini
melibatkan 434 pria yang berada di tingkat empat sampai tingkat enam di daerah
Michigan. Studi ini menemukan adanya korelasi positif antara ekspos yang tinggi
terhadap kekerasan di TV dengan penerimaan siswa dalam menerima tingkah laku
agresif serta menggunakan hal tersebut untuk diri mereka sendiri. (Dominick
& Greenberg, 1972). Begitu juga dengan penelitian mereka terhadap para
gadis muda. Mereka juga menemukan ekspos yang tinggi terhadap kekerasan di TV
membuat mereka menjadikan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian masalah atau
konflik yang efektif.
Studi
longtudinal juga dilakukan oleh Huesmann dan perguruan tingginya (1972, 1984,
1986). Mereka mepelajari 460 dari sampel asli yang berumur 19. Sebelumnya ada
875 sampel asli. Mereka menemukan bahwa hubungan antara melihat kekersan di TV
pada anak tahun ketiga dan perilaku agresif di 10 tahun kemudian, menujukkan
signifikansi yang sangat tinggi. Pada 10 tahun kemudian, pada saat semua
anggota sampel tersebut berumur 30 tahun mereka menunjukkan korelasi positif
antara menonton TV dengan konten kekerasan dengan perilaku agresif yang melekat
pada diri mereka.
Setelah
itu, Huesmann dan Eron (1986) juga meneliti lebih dari 1000 anak di Amerika
Serikat, Australia, Finlandia, Israel, Belanda, dan Polandia lebih dari 3 tahun.
Untuk semua anak di semua negara diatas dan gadis di Amerika Serikar, kekerasan
di TV diasosiasikan dengan perilaku agresif dan menghasilkan efek yang
kumulatif di tahun-tahun selanjutnya.
Berdasarkan
67 eksperimen yang melibatkan 30.000 subjek (Andison, 1977); judul dari 230
studi yang melibatkan hampir 100.000 subjek (Hearold, 1986); dan inkoporasi dari
188 studi (Paik, 1991), kesemuanya menunjukkan bahwa ekspos kekerasan di TV
meningkatkan perilaku agresif atau antisocial
behavior. Paik (1991) juga menambahkan 12 studi menunjukkan bahwa pencurian
di malam hari, pencurian, dan kekerasan kriminal terkait dengan ekspos dari
kekerasan di media.
Desentisisasi
Aspek
yang mencengangkan lainnya adalah kemungkinan dari sejumlah hiburan yang
mengandung kekerasan dalam program TV, film, lagu rock, membuat orang menjadi ter-desensitisasi terhadap kekerasan
itu sendiri. Dalam eksperimen laboratorium terhadap binatang menunjukkan bahwa
ekspos yang berulang akan membuat keterbangunan(arousal) psikologis menjadi lebih berkurang (Cline, Croft, &
Courrier, 1973). Jika manusia hanya sedikit memiliki keterbangunan (arousal) terhadap ekspos kekerasan di
media, itu berarti mereka menjadi desentisisasi.
Namun,
hal tersebut tidaklah mengurangi dampak kekerasan yang disekspos oleh media.
Para remaja justru semakin memiliki keterbangunan (arousal) terhadap kekerasan yang diekspos oleh media. Ini berarti,
mereka juga akan memiliki kecendrungan yang lebih tinggi terhadap kekerasan dan
perilaku agresif (Thomson, Horton, Lippencott, & Brabman, 1977).
Desentisisasi terhadap kekerasan di media yang ditandai dengan ekspos yang
berulang-ulang akan semakin jelas (Savitsky, et al. 1971) dan memungkinkan
penerimaan masyarakat atau publik yang bekelanjutan terhadap tingginya level
dari kekerasan di program TV. Mereka akan cenderung menerima kekerasan tersebut
menjadi suatu hal yang biasa dan tidak terlalu berdampak bagi diri mereka.
Bab
III
Metode dan Analisa
- Tradisi Efek
Media
Efek
media berhubungan dengan efek negatif psikologis yang dtimbulkan oleh
media. Hal ini bermula dari konsep
behavioris yang berpandangan bahwa manusia belajar melalui imitasi(proses
meniru) sesuatu yang ada di dekatnya. Studi ini, kemudian, dilakukan oleh
Albert Bandura, dengan Social Learning
Theory atau Observational Learning. Teori ini menjelaskan pembelajaran terjadi
ketika seseorang mengobservasi dan mengimitasi(meniru) sebuah perilaku. Seperti
yang sudah dijelaskan bahwa Bandura melakukan eksperimen dengan memakai boneka
yang diberi nama Bobo Doll. Hasil akhir
eksperimen ini, menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara ekspos dari
tingkah laku kekerasan dengan perlikau agresif yang timbul.
Dalam
hal ini, kita memakai anak SMA 6 sebagai contoh. Teori di atas dapat
menunjukkan kenapa aksi anarkisme dapat terjadi. Menurut Kompas, tayangan
televisi Indonesia mengandung konten kekerasan sebanyak 127 kali dalam
sehari(Kompas, 1995, dalam Widyastuti 1996). Hal ini dapat menjadi stimulus
pemicu yang membuat remaja tersebut beraksi anarkis. Ekspos media yang berlebihan terhadap
kekerasan dapat membuat remaja belajar untuk menjadi agresif. Hal ini didukung
oleh pemberitaan stasiun TV Indonesia yang apabila terjadi tawuran antar
pelajar maka aksi tawuran tersebut diekspos secara gamblang. Mereka tidak
mengurangi porsi perkelahian yang diperlihatkan. Mereka juga tidak mensensor
bagian perkelahian antar pelajar.
Hal
di atas bisa jadi pemicu bahwa media juga ikut serta menjadi faktor pemicu
remaja bertindak anarkis(Lihat bagian teori dan penelitian di Bab 2). Media
yang menjadi fasilitator masyarakat dalam penyampaian berita seharusnya lebih
selektif lagi dalam menyeleksi tayangan visual mana yang boleh untuk
dipertontonkan. Bukan tidak mungkin akan ada tawuran baru di sekolah lain, yang
mungkin bisa timbul karena melihat ekspos media ketika adanya terjadi tawuran
antar pelajar.
2. Cultivation Effects
Penanaman suatu nilai
oleh media disebut Cultivation Effects.
Efek media sebagai elemen penting dalam sosialisasi budaya secara keseluruhan,
melihat segala sesuatu bagaimana seorang individu tumbuh dan berkembang di
dalam sebuah masyarakat. Media berfungsi sebagai pembentuk pengetahuan dan
pengalaman masyarakat tentang dunia (dalam Giles, 2003).
Garbner, Gross,
Morgan, & Signorelli (1976) menyebutkan bahwa masyarakat dan budaya menjadi
sebuah kesatuan integral, berinteraksi secara kontinu dalam proses yang
dinamika di zaman sekarang, dan membuat simbol budaya. Media menurut Garbner
dkk (dalam Giles, 2003) bukanlah pembentuk tingkah laku agresif tapi pembentuk
iklim ketakutan dalam masyarakat.
Hal ini dapat dilihat
dari tawuran yang terjadi di SMA 6. Masyarakat mungkin sudah menganggap bahwa
yang terjadi di Indonesia adalah sistem pendidikan kita sudah sangat jelek dan
penuh tawuran. Padahal belum tentu semua hal tersebut terjadi di semua daerah.
Inilah fungsi media sebagai pembentuk opini.
Fungsi media sendiri
menurut Cultivation Effects ada 2
yaitu mainstreaming dan resonance. Mainstreaming merupakan ide bahwa kejadian yang buruk di suatu
daerah akan terjadi juga di dunia nasional ataupun internasional. Media
berperan membentuk sikap ini. Bila terjadi kerusuhan maka semua pendidikan
Indonesia dianggap juga mengalami hal serupa. Hal ini juga bisa disebut generalization. Subjek akan cenderung
menganggap objek yang berbeda menjadi hal yang sama dengan pengalamnnya di masa
lalu. Inilah hal yang sangat mungkin terjadi. Resonance, sendiri berarti aktivitas sederhana media untuk
memperkuat pengalaman kehidupan nyata seorang individu(Potter, 1991). Ini juga
bersifat bias jika seorang individu tidak menelaah dan berpikir kritis terhadap
pemberitaan di media.
Stasiun Televisi
Metro TV
I.
Metode
Dalam
pemberitaan mengenai Tawuran SMA 6 yang diliput oleh Metro TV ini, kami
melakukan pengumpulan data dengan menggunakan lembar observasi, dimana kami
menilai dari tiga kategori dimensi yaitu Agresivitas, Emosi Dasar, dan
Komunikasi.
Bagian
dimensi agresivitas, kami membagi lagi menjadi dua sub-dimensi yaitu verbal dan
fisik. Dalam dimensi emosi dasar, memiliki sub-dimensi senang, sedih, marah,
terkejut, takut, dan jijik. Dalam dimensi komunikasi, memiliki sub-dimensi
non-verbal. Pada dimensi dan sub-dimensi tersebut, kami menilai dari berbagai
indicator, contohnya untuk dimensi agresivitas sub-dimensi verbal memiliki
indikator yaitu memaki, memfitnah, provokasi, berkata kasar, dan berkata tidak
pantas. Keseluruhan dimensi tersebut akan dinilai dari semua sudut pandang
pelaku, yaitu pembawa acara, masyarakat, aparat, pemerintah, tokoh masyarakat,
dan pengamat/ahli.
Dalam
pengisian lembar observasi ini, kami melakukan pengambilan dan pencatatan data
secara manual, dimana kami menonton tayangan mengenai Tawuran SMA 6 yang
diliput oleh Metro TV, dan kemudian kami lakukan pencatatan setiap ada
indikator yang telah dideskripsikan pada lembar observasi muncul pada tayangan
tersebut.
Jadi,
kami menyimpulkan secara deskriptif dengan berpatokan kepada indikator yang
frekuensinya paling banyak dalam tiap dimensi, lalu kami hubungkan kesimpulan
tersebut dengan menggunakan teori agenda
setting.
II.
Hasil
dan Analisa
Pada
pemberitaan mengenai Tawuran SMA 6 yang diliput oleh Metro TV, kami
menyimpulkan bahwa media dalam tayangan ini telah mempengaruhi agenda media
kepada agenda publik, sesuai dengan prinsip teori Agenda-setting. Dalam situasi
ini media telah mampu untuk mempengaruhi benak apa yang ada di benak publik.
Pemberitaan
tawuran pelajar baik itu dengan pelajar lainnya atau masyarakat sekitarnya
dianggap sebuah hal penting, isu ini untuk beberapa lama telah dianggap lebih
penting oleh masyarakat dibandingkan dengan isu-isu yang lainnya seperti
korupsi dll.
Melihat
posisi dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan redaksi
menunjukkan bahwa media telah membuat isu tawuran ini menjadi sebuah agenda
media, dan dalam beberapa cuplikan berita yang ditayangkan di Metro TV tersebut
terlihat bahwa agenda media tersebut telah menjadi sebuah agenda publik,
ditambah dengan anggapan masyarakat bahwa Metro TV adalah stasiun TV yang
berfokus pada pemberitaan menjadikan masyarakat menganggap bahwa isu tentang
tawuran ini adalah isu yang sangat penting dan untuk beberapa lama dapat
mengalihkan perhatian masyarakat dari isu lain yang lebih penting.
Bukti
diatas dan dari tayangan tersebut menegaskan kekuatan media massa dalam
mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi
lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang
perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu
mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Atau dalam artian lainnya adalah framing.
Stasiun
Televisi RCTI
I.
Metode
Penelitian
ini dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu:
1.
Menentukan
faktor-faktor yang melatarbelakangi efek berita yang ditampilkan berdasarkan
teori agenda setting,
2.
Faktor-faktor
tersebut akan digunakan untuk mengukur seberapa besar efeknya dengan melakukan
pengamatan terhadap tayangan acara berita di stasiun TV yang dipilih,
3.
Melakukan analisa
terhadap bagaimana stasiun TV tersebut menerapkan agenda setting bagi
pemirsanya.
II.
Hasil
dan Analisa
Video
yang akan dianalisa adalah seputar kasus tawuran SMA 6 dan keterlibatan
wartawan, khususnya yang ditayangkan oleh stasiun TV RCTI. Dalam acara Seputar
Indonesia, dibahas liputan tentang tawuran tersebut. Pembawa berita memulai
introduksi dengan menceritakan latar belakang kejadian dan informasi secara
general. Kata kunci untuk membuka pemberitaan adalah dengan menyebutkan waktu
kejadian, yaitu Senin 19 November, diikuti dengan penyebutan jumlah korban
sedikitnya 10 orang wartawan dan 7 siswa SMA 6 mengalami luka-luka akibat
kejadian tersebut.
Lalu
tayangan dibuka dengan gambaran mobil dengan kaca depan yang pecah akibat
terkena lemparan batu. Ditampilkan disini bagian yang menyiratkan kekerasan,
disorot bagaimana kekisruhan siswa-siswa berseragam SMA dan masyarakat sekitar
dalam sebuah kumpulan manusia, ada yang berlari-lari, berteriak, serta kumpulan
polisi yang terlihat bersiaga dan memasang mimik wajah serius. Sebagai
pelengkap, ditambahkan beberapa sudut pandang kesaksian baik dari pihak
wartawan maupun dari pihak SMA 6, yang menceritakan kronologis kejadian dengan
versi masing-masing pihak.
Secara
khusus, hasil observasi kami menangkap agenda setting yang ditunjukkan oleh
RCTI dan Seputar Indonesia adalah:
1.
RCTI tidak secara vulgar memihak pihak tertentu, namun dalam tiap kata dan
pemberitaan pasti didahulukan pihak wartawan daripada pihak SMA 6.
2.
Kronologis kejadian versi wartawan beserta gambar korban dari pihak wartawan
ditayangkan secara berulang, sementara versi dan gambar SMA 6 tidak.
3.
Masyarakat diarahkan untuk tetap tenang dan konflik antara wartawan dengan SMA
6 ini dihimbau untuk dapat diselesaikan secepatnya.
Bab 4
Solusi dan Kesimpulan
I.
Solusi
Dalam
buku “Adolescents and the Media”
disebutkan bahwa ada 7 macam solusi yang ditawarkan agar remaja dan media dapat
berkorelasi dalam hal yang baik.
1.
Kualitas pemprograman
acara terhadap anak-anak dan remaja harus ditingkatkan dan diubah menjadi lebih
baik lagi.
2.
Perubahan dalam
pemprograman harus dibarengi dengan perubahan dalam lingkungan fisik dan
aturan-aturan periklanan.
3.
Riset yang lebih
banyak sangat dibutuhkan di setiap area yang mempunyai pengaruh media pada anak
muda dan remaja.
4.
Peningkatan pemahaman
dalam literatur media sangat penting untuk melindungi anak-anak dan remaja dari
pengaruh media yang berbahaya.
5.
Pengertian dan
pemahaman yang lebih baik dari nature-nya
media dibutuhkan oleh para orang tua dan ahli atau profesional kesehatan.
6.
Sebagai tambahan
untuk pemprograman kualitas pendidikan yang lebih tinggi, penggunaan media
secara agresif harus dibuat untuk kampanye kesehatan dan tujuan yang mendukung
hubungan prososial bukannya perilaku agresif yang bersifat buruk dan membuat
orang lain terganggu.
7.
Ahli kesehatan dan
orang tua perlu bekerja sama dengan baik dalam advokasi media.
Solusi
yang terbaik sebenarnya adalah gabungan dari ketujuh solusi ini. Jika
masyarakat sudah bisa berpikir kritis dan tidak menangkap secara mentah apa
yang diinformasikan oleh media, maka masyarakat dapat mengambil kesimpulan
secara obyektif apa yang sebenarnya terjadi. Bukanlah penggeneralisasian suatu
pemberitaan oleh media bahwa sesuatu hal yang buruk sedang terjad di negara
kita dan kita menterjemahkan bahwa memang hal terebut terjadi secara
signifikan. Padahal jika ditelaah lebih obyektif lagi kita dapat menemukan apa
yang sebenarnya terjadi dengan negara kita dengan berpikir secara kritis bahkan
sistematis.
II.
Kesimpulan
Tingkah
laku agresif yang dilakukan oleh pelajar dapat dipengaruhi oleh ekspos
kekerasan di media secara berkelanjutan. Media yang mengekspos adegan tawuran
dan mengandung konten kekerasan mempunyai hubungan positif dengan perilaku
agresif yang muncul seperti bentroknya anak SMA 6 dengan wartawan. Hal ini
menjadi tolak ukur bagaimana kita harus waspada terhadap eksps media terhadap
sesuatu apakah itu bertujuan baik atau hanya meng-agenda-settin-kan suatu berita agar dapat penonton yang banyak dan
membuat perusahaan media tersebut mendapatkan rating yang cukup bagus.
Begitu juga dengan penanaman nilai
suatu berita oleh media. Kita sebagai masyarakat yang dapat dikatakan setiap
hari berdampingan dengan ekspos media, seharusnya kita bisa lebih jernih dan
kritis dalam menanggapi suatu berita. Apa yang ditayangkan dalam berita belum
tentu menjadi sebuah fakta yang signifikan bagi bangsa ataupun bagi dunia
secara luas. Kita juga harus berpikir dengan logis bagaimana stasiun TV atau
media memberitakan berita tersebut. Di setiap stasiun TV pasti ada agenda setting untuk mengatur kelancaran
acara dan membuat keteraturan jadwal televisi. Oleh karena itu, kita sebagai
bagian dari komponen media harus selektif dan tidak menerima secara mentah apa
yang diinformasikan oleh media.
1.
Diagram
Lembar Observasi Stasiun TV RCTI (pemberitaan yang ditayangkan dari tanggal 21
September-24 September 2011)
DAFTAR
PUSTAKA
Strasburger,
V. C. (1995). Adolescents and the Media :
Medical Dan Psychological Impact. United States : Sage Publications
Giles,
D. (2003). Media Psychology. New
Jersey : Lawrence Elbraum Associates Publishers.
Harris,
R. J. (2004). A Cognitive Psychology of
Mass Communication : Fourth Edition. London : Lawrence Elbraum Associates
Publishers.
King,
L. A. (2010). The Science of Psychology :
An Appropriate View (Second Edition). United States : McGraw Hill.