TUGAS PSIKOLOGI
LINTAS BUDAYA : KONFLIK BUDAYA
Di dunia ini budaya merupakan
unsur pembentuk sejarah. Budaya juga merupakan produk dari hasil interaksi
suatu masyarakat dalam suatu tempat atau wilayah. Ketika suatu budaya dihasilkan maka kemudian
itu menjadi pembentuk tingkah laku atau faktor pemicu seorang individu
melakukansebuah motif perilaku.
Budaya suatu tempat mungkin
berbeda dan mungkin juga sama dengan budaya di daerah lain. Budaya tersebut
memiliki berbagai macam faktor pembentuk. Pembentuk kebudayaan di suatu tempat
bisa saja berbeda dengan tempat yang lain karena berbeda dalam satu hal.
Sebagai contoh budaya A dibentuk karena topografi dan kondisi fisik lingkungan
tempat tinggal, sedangkan budaya B dibentuk karena faktor sejarah dan agama.
Dalam hal ini saja kedua budaya sudah berbeda.
Perbedaan budaya dapat membuat
individu di budaya A ketika berada di budaya lain misalnya budaya B mengalami dislocation. Individu tersebut dapat
mengalami konflik budaya ketika dia berada di budaya yang sama sekali berbeda
dengan nilai di budayanya sebelumnya. Dalam hal ini terjadi konflik budaya
antara budaya A dan budaya B. Ketika ia tetap melaksanakan budaya A di tempatnya yang dominan dengan budaya B
maka ia kemudian mengalami konflik.
Konflik budaya bisa dapat
berimplikasi positif dan negatif terhadap individu tersebut. Sisi positifnya
yaitu ketika budaya A diberdayakan di budaya B oleh seorang individu itu dapat
memperkuat rasa mencintai budaya lokal. Hal ini dapat membuat kebudayaan lokal
seorang individu tersebut tetap terjaga dan menghasilkan variasi budaya di
masyarakat. Sisi negatifnya adalah ketika apakah budaya tersebut dapat diterima
atau tidak di lingkungan baru individu tersebut yang sama sekali berbeda budaya
dan tatanan nilai masyarakatnya. Budaya yang ditolak kemudain menghasilkan sisi
negatif bagi individu karena dapat menghasilkan punishment dari masyarakat. Baik itu berupa sanksi verbal atau sanksi
secara sosial.
Pengalaman saya mengalami konflik
budaya sangat banyak. Namun, saya hanya menjelaskan sebagian konflik budaya
yang saya alami. Pertama, ketika saya menerapkan konsep individualistis di
lingkungan sekitar rumah dan sekolah. Keluarga saya yang merupakan latar
belakang individualistis mendorong saya juga menerapkan nilai tersebut di
kehidupan sosial saya. Ketika saya berada di lingkungan sekitar rumah atau
lingkungan teman sebaya dan menerapkan nilai saya tersebut saya mengalami
konflik budaya. Budaya lingkungan sekitar rumah saya itu mayoritas sangat
kolektivis dan mengandalkan komunikasi yang hangat antara anggota dalam
kelompoknya. Hal ini bertentangan dengan nilai saya dan membuat saya pada
akhirnya kurang akrab dan mendapatkan sedikit teman dari proses sosialisasi
saya dengan lingkungan sekitar rumah saya. Pun halnya dengan saya di sekolah.
Ketika saya menerapkan nilai individualistis saya, saya kurang mendapatkan
identitas sosial saya sebagai anggota kelompok di sekolah. Saya sering
diacuhkan dan tidak dianggap karena mayoritas teman sekolah juga berbudaya
kolektivis dan cenderung berkelompok. Anak pendiam dan individualistis seperti
saya akhirnya “termarginalkan.” Saya mengalami konflik yang berkepanjangan di
sini karena kehangatan dari sebuah kmunikasi dengan individu lain tidak saya
dapatkan. Saya merasa aneh dan cenderung menyalahkan orang lian karena budaya
yang saya anut bertentangan dengan budaya tempat saya berkembang dan tinggal.
Hal ini kemudian menghasilkan punishment
sosial bagi saya. Punishment secara
kolektivis yang dilakukan oleh orang lain tentu sangat membuat saya sangat tertekan
dan malu. Hal ini menurut saya berakibat terhadap kemauan saya untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Konflik kedua yaitu ketika saya
pindah ke Jakarta dari Padang. Saya pindah ke rumah adik mama saya. Di Padang,
saya sangat mengandalkan Ibu saya dalam segala hal yang membuat saya menjadi
anak yang pemalas dan harus didampingi. Namun, ketika saya berada dan tinggal
di tempat tante saya ini, saya mengalami konflik budaya. Keluarga tante saya
sangat menerapkan disiplin yang tinggi kepada anggota keluarganya. Saya yang
sebelumnya sering bangun kesiangan diajarkan bangun sejak subuh. Dalam hal ini,
saya mengalami konflik budaya di level keluarga. Saya yang tidak biasa disiplin
kemudian harus disiplin. Pada awalnya saya sangat susah untuk menerapkan hal ini
karena bertentangan dengan budaya dan kebiasaan saya sebelmunya. Namun, pada
akhirnya saya kemudian secara perlahan dapat cukup disiplin. Konflik budaya
saya di sini kemudian membuat sebuah nilai negatif menjadi positif. Dalam hal
in, konflik budaya yang saya alami menjadi reward
sebenarnya bagi saya. Saya yang dulunya pemalas dapat menjadi disiplin dan
rajin. Bahkan saya yang dulunya sangat pesimis menjadi sangat optimis karena
pembentukan tingkah laku yang disiplin tersebut.
Konflik ketiga, yaitu ketika saya
berada di Jakarta yaitu dengan gaya hidup orang Jakarta. Lingkungan sekitar
saya dulunya tidak seperti orang Jakarta pada umumnya. Mereka cenderung
kolektivis dan sangat suka menyapa antar tetangga. Di Jakarta hal ini bagi saya
sangat jarang terjadi.Tetangga didekat rumah saja tidak mengenal tetangga lain.
Hal ini menurut saya juga dipengaruhi status sosial di masyarakat. Lingkungan
tempat saya tinggal memang didominasi oleh orang dengan status sosial yang
tinggi. Umumnya mereka bekerja di sektor perbankan. Hal ini kemudian memciu hal
tersebut terjadi. Ketika saya lewat di sekitar lingkungan tersebut mereka malah
tidak menyapa dan tidak mengacuhkan saya. Itu juga terjadi antar tetangga yang
lain. Bahkan mereka sangat jarang bersosialisasi satu dengan lainnya karena
sangat individualistis. Hal lain adalah ketika saya berada di atas bus.
Biasanya di daerah saya tinggal dulu mereka sangat menghargai orang yang tua
ketika naik bus. Budaya di sana sangat memperhatikan kelamah-lembutan, rasa
menghargai dan memaklumi orang yang tua. Namun, hal ini tidak terjadi di
Jakarta. Ketika saya naik busway,
saya melihat banyak orang yang mengacuhkan ada orang tua yang berdiri dan
terhuyung-huyung ketika bus berjalan. Anak muda yang justru masih tegap dan
sehat mereka tidak mengacuhkan orang tua dan cenderung mementingkan diri mereka
sendiri dan tidak mempersilahkan orang tua untuk duduk di tempat duduknya.
Namun yang anehnya orang tua tersebut seperti wajar-wajar saja melihat mereka
tidak mendapatkan tempat duduk. Di daerah saya dulu, mereka yang tidak
memberikan tempat duduk sangat disindir. “Masih muda kok g mau mengalah.”
Konflik budaya ini membuat saya sangat tidak nyaman dan sangat menyayangkan
perilaku orang kota yang sangat egois.
Konflik keempat juga terjadi di Jakarta.
Saya sebenarnya pindah ke Jakarta ketika saya mengikuti ujian masuk perguruan
tinggi negeri. Konflik budayanya terletak dari gaya hidup orang Jakarta yang
lainnnya yaitu sisi berpakaian para wanitanya. Memang tidak dipungkiri,
industrialisasi dan modernisasi membuat orang perkotaan menganut nilai Barat
dan melupakan nilai Ketimurannya. Saya sangat kaget melihat cara berpakaian
orang Indonesia di sini. Mereka dapat saya katakan “telanjang” dalam hal
berbusana. Di daerah saya dahulu mayoritas wanitanya memakai jilbab karena
syariat agama di sana sangat kuat. Namun, ketika saya di Jakarta, pemandangan
yang mengejutkan justru saya dapatkan. Menurut saya, wanita di sini telah
melupakan budaya timurnya dulu yaitu kesopanan. Cara berpakaian budaya Barat tersebut
dapat dilihat ketika berada di pusat perbelanjaan yang memang didominasi oleh
orang dengan strata menengah ke atas dan golongan kaya. Mereka berprilaku
seperti itu karena tuntutan status sosial mereka. Konflik budaya yang saya
alami adalah saya tidak biasa disuguhkan dengan pemandangan seperti itu,
iba-tiba saya dihadapkan dengan cara berpakaian yang sangat minim.
Konflik kelima yaitu, ketika saya
telah diterima di perguruan tinggi negeri. Budaya di kampus seperti UI memang
membuat saya mengalami culture shock
juga. Ketika proses perkuliahan misalnya, saya harus dihadapkan dengan banyak
tugas yang memakai media internet dan media elektronikyang ber-budget tinggi. Saya mengalami konflik
ketika teman kampus saya memiliki sarana yang memadai dalam hal belajar saya
justru masih menggunakan cara yang konvensional. Mereka mencatat materi kuliah
menggunakan laptop saya masih menggunakan catatan buku. Ketika mereka mengetik
tugas menggunakan laptop masing-masing saya masih menggunakan warnet dan rental
kcomputer untuk membuat tugas perkuliahan saya. Hal ini terjadi selama dua
semester. Saya mengalami konflik budaya dari segi infrastruktur pembangun
pendidikan perkuliahan.
Konflik keenam yaitu ketika
sistem tata belajar di daerah saya berbeda dengan sistem di Jakarta. Pendidikan
di sini yang sudah sangat maju sangat mengedepankan prestasi individual dan
masing-masing peserta pendidikannya sangat antusias dengan pendidikan. Hal ini
karena peran industrialisasi dan modernisasi di segala bidang di Jakarta. Hal
ini juga merupakan sebagai implikasi dari kota Jakarta sebagai kota besar dan
ibukota negara. Sistem pendidikan yang termasuk dalam unsur budaya tersebut di
daerah saya sangat kontras dengan di Jakarta. Pendidikan di sini lebih advanced dan memakai sistem informasi
berbasis komputer yang sudah menjadi bagian dari sistem pengajaran di Jakarta.
Di daerah saya sendiri sangat jarang ditemukan hal seperti ini karena budaya
pendidikan di sana masih konvensional. Saya mengalami konflik budaya dari
belajar yang konvensional menjadi belajar dengan sistem yang sangat advanced. Saya pada awalnya mengalami
konflik yaitu harus menyesuaikan budaya pendidkan orang di Jakarta. Namun, saya
pada akhirnya dapat beradaptasi dengan baik dengan gaya pendidikan di Jakarta.