Senin, 01 November 2010

WELCOME TO JAKARTA FAJRI


Saya melangkahkan kaki dengan tangga yang lumayan tinggi untuk mencapai peron tunggu kereta yang berada di atas. Stasiun yang dominan dengan warna biru muda itu terlihat banyak orang yang juga menunggu kedatangan kereta berikutnya. Terdengar nyaring suara pemberitahu jadwal kereta dengan pengeras suara. “Kereta ekonomi akan segera masuk St. Djuanda,” seru sang informan stasiun itu. Perjalanan pertama saya dulu sewaktu pertama kali datang ke Jakarta selama kira-kira 45 menit lebih sedikit dari St. Djuanda ke St.Depok Baru memakai sarana kereta ekonomi. Berangkat dari stasiun itu pukul 1 siang. Pada awal menapaki lantai kereta saya disuguhi pemandangan yang menyedihkan. Begitu banyaknya orang yang mencari sebuah penghidupan di dalam sebuah kereta seperti ini. Pada menit awal, saya disuguhi seorang pria paruh baya buta yang mendendangkan sebuah lagu. Bapak itu menyanyikan lagu dengan syahdu dan khidmat walaupun dengan kebutaan yang dideritanya. Ia dibimbing seorang wanita yang mungkin saudara atau istrinya. Hal ini dilakukan untuk mencari uang untuk makan dan menghidupi keluarganya. Bapak itu pun berlalu ke gerbong berikutnya. Di dalam kereta yang pengap dan penuh sesak dengan suasana lampu yang tidak memadai serta panas yang bisa dibilang sangat mencekam kerongkongan seperti dipaksa untuk membeli sebuah minuman dingin sebagai bentuk usaha pertolongan pertama yang dilakukan terhadap kerongkongan saya. Saya pun terhentak dari keadaan yang saya alami tadi. Seorang penjual minuman mengingatkan saya akan kerongkongan yang memang butuh air ini. “Pak, Aquanya satu ya,” seru saya kepada sang Bapak. Sang Bapak juga terihat seperti berumur 30-40an. Bapak ini juga mencari penghidupan di gerbong-gerbong kereta dan menopang air yang beratnya lumayan atau bisa dibilang seperti mengendong seorang anak umur 7 tahun. Minuman pun saya teguk dan Aqua gelas yang saya minum pun tadi habis. Selang beberapa menit kemudian kembali saya tersentak kembali. Seseorang menyentuh kaki saya. Seorang pria yang sangat kusam dan tidak terurus menyapu sampah-sampah yang memang banyak dan dibuang begitu saja oleh para penumpang dengan tangannya. Dia melakukan itu dengan cara yang sangat ektrem yaitu dengan ngesot1. Sesaat kemudian saya memperhatikan apa yang dilakukannya itu diantara banyaknya orang dan bahaya akan terinjak. Namun, demi sesuap nasi tak menyurutkan langkahnya. Sesaat muncul rasa iba. Saya pun merogoh saku dan mendapat uang 2000an untuk diberikan kepada Bapak tersebut. Lambat laun kereta pun berhenti di St. Manggarai dan ia pun turun. Begitulah ia mencari nafkah. Kereta pun kembali berjalan dan pada perhentian dan menit-menit selama di kereta sampai di St. Depok Baru saya menyaksikan hal-hal seperti tadi lagi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya di kota asal. Pedagang asongan ,pengamen, pengemis, dan masih banyak lainnya yang menghiasi perjalanan yang menurut saya pilu tersebut. Sepertinya Jakarta telah menyiratkan “Welcome Fajri.” Ini mungkin hanya segelintir kisah pahit yang dialami penduduk Jakarta untuk mencari secercah harapan untuk bertahan hidup.

Pengalaman awal di Jakarta 3 Agustus 2009