Kamis, 12 April 2012

PSIKOLOGI MEDIA UNIVERSITAS INDONESIA 2011

ANALISIS BERITA PSIKOLOGI MEDIA
TAWURAN SMA 6 JAKARTA
(RCTI DAN METRO TV)




DISUSUN OLEH

HAMZAH SAIFULHAQ/ 0706276293
KAMAL HASAN/ 0706276356
M. FAJRI/ 1006689076




FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
© 2011
Bab I
Pendahuluan

Banyak studi menunjukkan bahwa televisi dan media mempunyai kemampuan untuk menyampaikan informasi dan mengubah atau membentuk sikap seseorang. Pengaruh media dapat mempengaruhi persepsi penontonnya. Baik itu berupa perilaku sosial dan realitas sosial (Bandura, 1977; Hawkins & Pingree, 1982), berkontribusi terhadap norma sosial ( Gerbner, 1985; Greenberg, 1982), menyampaikan informasi yang memfokuskan kepada tingkah laku sebagaimana aslinya (Bandura, 1977; Roberts, 1982). Televisi dan media bahkan menawarkan remaja(teenagers) ekspos perilaku kekerasan (Gagnon & Simon, 1987; Silverman-Watkins, 1983).
            Pada masa ini media mempunyai pengaruh yang sangat siginifikan bagi kehidupan manusia. Media yang berkembang di zaman global ini juga berlomba dalam melakukan pemberitaan serta ekspos hal-hal yang berkaitan dengan kejadian kekinian (recent) kepada masyarakat. Media berfungsi sebagai penghubung masyarakat di suatu daerah dengan masyarakat dunia. Terdapat sisi positif dan sisi negatif dari media. Banyak penelitian yang mendukung bahwa media bisa diibaratkan 2 sisi mata uang. Satu berbeda dengan satu lainnya. Masing-masing berdampak berbeda baik itu positif maupun negatif.
            Peran media yang ingin kami bahas dalam makalah ini adalah berdasarkan dampak yang telah diteliti dan dilihat secara implisit serta eksplisit oleh individu lainnya, yang juga merupakan bagian dari individu yang terekspos media. Bagaimana media dapat mempengaruhi cara berpikir (cognitive), berperilaku (behave), dan memiliki afeksi (affective) suatu individu atau masyarakat jika terekspos oleh media.





Bab II
Landasan Teori

Agressive Behavior
Agresi tingkat serius tidak akan pernah terjadi tanpa adanya konvergensi(kesama-rataan) dalam jumlah yang besar dari penyebabnya. Namun, salah satu hal yang terpenting kita bisa melihat ekspos dari media yang mengandung kekerasan sebagai salah satu penyebabnya (Huesmann, 1986). Lebih dari 1000 studi yang dilakukan ilmuwan di Amerika, kekerasan dalam media termasuk salah satu penyebab meningkatnya kekerasan dalam kehidupan nyata( Strasburger, 1993).
Ada beberapa pengaruh media terhadap meningkatnya kekerasan, yaitu : (1) memfasilitasi atau men-trigger agresivitas dan perilaku antisosial, (2) membuat penonton menjadi desentisisasi terhadap kekerasan, sehingga kekerasan itu dianggap menjadi hal yang biasa. (3) meningkatkan dan memperkuat anggapan serta argumen penonton bahwa mereka hidup dalam dunia yang berbahaya dan kejam, padahal belum tentu. (Comstock, 1991 ; Gerbner, 1992).
Pada tahun 1972 Surgeon General dan National Institute of Mental Health melaporkan bahwa ekspos dari kekerasan dalam media dapat meningkatkan perilaku agresif pada anak-anak muda (Pearl, 1982 ; Surgeon General’s Scientific Advisory Committe, 1972).  Anak-anak muda tersebut berada dalam rentang umur 10-20 tahun dan menunjukkan adanya korelasi positif yang ditimbulkan oleh ekspos kekerasan dalam media.
Eksperimen yang dilakukan Bandura, Ross, & Ross (1963) yang mengobservasi anak-anak pra-sekolah dapat dijadikan acuan. Anak-anak yang menjadi objek eksperimen di-setting dalam ruangan yang diperbolehkan bagi mereka bermain. Dalam ruangan itu sudah ada boneka yang dinamakan Bobo Doll. Boneka tersebut dilengkapi dengan hidung merah yang nantinya digunakan untuk membuktikan apakah setelah menonton kekerasan anak-anak tersebut akan menjadikan hidung boneka merah tersebut sebagai bahan target. Tujuan dari peneltian ini adalah untuk melihat apakah ada efek dari hasil mengobservasi model yang ada di hadapan seorang individu. Eksperimen yang kemuadian dikenal dengan Observational Learning ini dapat menunjukkan bahwa dari melihat model memperagakan sebuah perilaku, dapat membuat orang yang mengobservasi model tersebut menirukan hal yang kurang lebih sama dengan model tersebut. Dari eksperimen yang dilakukan Bandura, anak-anak yang diberikan treatment berupa film dengan konten kekerasan, mereka lebih menunjukkan perilaku agresif dibanding anak-anak yang tidak diberikan treatment berupa film dengan konten kekerasan tersebut.
Penelitian Bandura ini diperkuat oleh riset lainnya, yang menemukan bahwa anak yang terekspos dengan perilaku yang agresif akan cenderung menghasilkan perilaku agresif juga 6-8 bulan kemudian ( Hicks, 1965). Ini juga diperkuat oleh eksperimen yang dilakukan oleh Steuer. Dalam eksperimennya tersebut, ia menemukan bahwa anak-anak prasekolah yang menonton perilaku kekerasan biasa pada saat jam istirahat, mereka akan menunjukkan perilaku yang agresif dibanding anak-anak yang menonton film tanpa konten kekerasan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh ilmuwan lainnya. Pada 1961, eksperimen terhadap anak prasekolah yang menggunakan film kartun yang mengandung kekerasan. Dalam kartu tersebut terdapat 4 ekor beruang, 1 Ibu beruang dan yang lainnya anak beruang. Dalam film tersebut terdapat konten kekerasan. Setelah diteliti, anak-anak tersebut memang tidak menunjukkan perilaku yang agresif, namun, mereka menunjukkan perilaku non-imitasi(seperti penggeneralisasian, atau disinhibition) (Lovaas, 1961).
Studi korelasional yang dilakukan terhadap 2.300 sampel yang terdiri dari junior dan senior high school di daerah Maryland juga mendukung teori di atas. Studi ini meneliti 5 peringkat teratas program kesukaan sampel tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan dari sampel, menyukai film aksi yang mengandung konten seperti menendang, memukul, berkelahi, dll. (McIntyre & Teevan, 1972).
Pada tahun 1972 dilakukan penelitian longitudinal terhadap sampel nasional Amerika. 1500 orang remaja yang berumur 19 tahun dijadikan sampel. Hasil peneltian menunjukkan remaja yang memiliki preferensi atau kesukaan terhadap program yang mengandung kekerasan seperti program action secara signifikan menunjukkan perilaku yang lebih agresif. Hasil ini didapat dari self-report behavior (Robinson & Bachman, 1972). Hasil penelitian ini kemudian menunjukkan bahwa ternyata memang ada hubungan kekerasan yang dipertontonkan di televisi dapat memfasilitasi atau men-trigger remaja untuk berprilaku agresif.
Studi yang dilakukan Greenberg dan Dominick juga menujukkan hal yang sama. Studi ini melibatkan 434 pria yang berada di tingkat empat sampai tingkat enam di daerah Michigan. Studi ini menemukan adanya korelasi positif antara ekspos yang tinggi terhadap kekerasan di TV dengan penerimaan siswa dalam menerima tingkah laku agresif serta menggunakan hal tersebut untuk diri mereka sendiri. (Dominick & Greenberg, 1972). Begitu juga dengan penelitian mereka terhadap para gadis muda. Mereka juga menemukan ekspos yang tinggi terhadap kekerasan di TV membuat mereka menjadikan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian masalah atau konflik yang efektif.
Studi longtudinal juga dilakukan oleh Huesmann dan perguruan tingginya (1972, 1984, 1986). Mereka mepelajari 460 dari sampel asli yang berumur 19. Sebelumnya ada 875 sampel asli. Mereka menemukan bahwa hubungan antara melihat kekersan di TV pada anak tahun ketiga dan perilaku agresif di 10 tahun kemudian, menujukkan signifikansi yang sangat tinggi. Pada 10 tahun kemudian, pada saat semua anggota sampel tersebut berumur 30 tahun mereka menunjukkan korelasi positif antara menonton TV dengan konten kekerasan dengan perilaku agresif yang melekat pada diri mereka.
Setelah itu, Huesmann dan Eron (1986) juga meneliti lebih dari 1000 anak di Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Israel, Belanda, dan Polandia lebih dari 3 tahun. Untuk semua anak di semua negara diatas dan gadis di Amerika Serikar, kekerasan di TV diasosiasikan dengan perilaku agresif dan menghasilkan efek yang kumulatif di tahun-tahun selanjutnya.
Berdasarkan 67 eksperimen yang melibatkan 30.000 subjek (Andison, 1977); judul dari 230 studi yang melibatkan hampir 100.000 subjek (Hearold, 1986); dan inkoporasi dari 188 studi (Paik, 1991), kesemuanya menunjukkan bahwa ekspos kekerasan di TV meningkatkan perilaku agresif atau antisocial behavior. Paik (1991) juga menambahkan 12 studi menunjukkan bahwa pencurian di malam hari, pencurian, dan kekerasan kriminal terkait dengan ekspos dari kekerasan di media.
Desentisisasi
Aspek yang mencengangkan lainnya adalah kemungkinan dari sejumlah hiburan yang mengandung kekerasan dalam program TV, film, lagu rock, membuat orang menjadi ter-desensitisasi terhadap kekerasan itu sendiri. Dalam eksperimen laboratorium terhadap binatang menunjukkan bahwa ekspos yang berulang akan membuat keterbangunan(arousal) psikologis menjadi lebih berkurang (Cline, Croft, & Courrier, 1973). Jika manusia hanya sedikit memiliki keterbangunan (arousal) terhadap ekspos kekerasan di media, itu berarti mereka menjadi desentisisasi.
Namun, hal tersebut tidaklah mengurangi dampak kekerasan yang disekspos oleh media. Para remaja justru semakin memiliki keterbangunan (arousal) terhadap kekerasan yang diekspos oleh media. Ini berarti, mereka juga akan memiliki kecendrungan yang lebih tinggi terhadap kekerasan dan perilaku agresif (Thomson, Horton, Lippencott, & Brabman, 1977). Desentisisasi terhadap kekerasan di media yang ditandai dengan ekspos yang berulang-ulang akan semakin jelas (Savitsky, et al. 1971) dan memungkinkan penerimaan masyarakat atau publik yang bekelanjutan terhadap tingginya level dari kekerasan di program TV. Mereka akan cenderung menerima kekerasan tersebut menjadi suatu hal yang biasa dan tidak terlalu berdampak bagi diri mereka.



  
Bab III
Metode dan Analisa
  1. Tradisi Efek Media
Efek media berhubungan dengan efek negatif psikologis yang dtimbulkan oleh media.  Hal ini bermula dari konsep behavioris yang berpandangan bahwa manusia belajar melalui imitasi(proses meniru) sesuatu yang ada di dekatnya. Studi ini, kemudian, dilakukan oleh Albert Bandura, dengan Social Learning Theory atau Observational Learning.  Teori ini menjelaskan pembelajaran terjadi ketika seseorang mengobservasi dan mengimitasi(meniru) sebuah perilaku. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Bandura melakukan eksperimen dengan memakai boneka yang diberi nama Bobo Doll. Hasil akhir eksperimen ini, menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara ekspos dari tingkah laku kekerasan dengan perlikau agresif yang timbul.
Dalam hal ini, kita memakai anak SMA 6 sebagai contoh. Teori di atas dapat menunjukkan kenapa aksi anarkisme dapat terjadi. Menurut Kompas, tayangan televisi Indonesia mengandung konten kekerasan sebanyak 127 kali dalam sehari(Kompas, 1995, dalam Widyastuti 1996). Hal ini dapat menjadi stimulus pemicu yang membuat remaja tersebut beraksi anarkis.  Ekspos media yang berlebihan terhadap kekerasan dapat membuat remaja belajar untuk menjadi agresif. Hal ini didukung oleh pemberitaan stasiun TV Indonesia yang apabila terjadi tawuran antar pelajar maka aksi tawuran tersebut diekspos secara gamblang. Mereka tidak mengurangi porsi perkelahian yang diperlihatkan. Mereka juga tidak mensensor bagian perkelahian antar pelajar.
Hal di atas bisa jadi pemicu bahwa media juga ikut serta menjadi faktor pemicu remaja bertindak anarkis(Lihat bagian teori dan penelitian di Bab 2). Media yang menjadi fasilitator masyarakat dalam penyampaian berita seharusnya lebih selektif lagi dalam menyeleksi tayangan visual mana yang boleh untuk dipertontonkan. Bukan tidak mungkin akan ada tawuran baru di sekolah lain, yang mungkin bisa timbul karena melihat ekspos media ketika adanya terjadi tawuran antar pelajar.

2. Cultivation Effects
Penanaman suatu nilai oleh media disebut Cultivation Effects. Efek media sebagai elemen penting dalam sosialisasi budaya secara keseluruhan, melihat segala sesuatu bagaimana seorang individu tumbuh dan berkembang di dalam sebuah masyarakat. Media berfungsi sebagai pembentuk pengetahuan dan pengalaman masyarakat tentang dunia (dalam Giles, 2003).
Garbner, Gross, Morgan, & Signorelli (1976) menyebutkan bahwa masyarakat dan budaya menjadi sebuah kesatuan integral, berinteraksi secara kontinu dalam proses yang dinamika di zaman sekarang, dan membuat simbol budaya. Media menurut Garbner dkk (dalam Giles, 2003) bukanlah pembentuk tingkah laku agresif tapi pembentuk iklim ketakutan dalam masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dari tawuran yang terjadi di SMA 6. Masyarakat mungkin sudah menganggap bahwa yang terjadi di Indonesia adalah sistem pendidikan kita sudah sangat jelek dan penuh tawuran. Padahal belum tentu semua hal tersebut terjadi di semua daerah. Inilah fungsi media sebagai pembentuk opini.
Fungsi media sendiri menurut Cultivation Effects ada 2 yaitu mainstreaming dan resonance. Mainstreaming merupakan ide bahwa kejadian yang buruk di suatu daerah akan terjadi juga di dunia nasional ataupun internasional. Media berperan membentuk sikap ini. Bila terjadi kerusuhan maka semua pendidikan Indonesia dianggap juga mengalami hal serupa. Hal ini juga bisa disebut generalization. Subjek akan cenderung menganggap objek yang berbeda menjadi hal yang sama dengan pengalamnnya di masa lalu. Inilah hal yang sangat mungkin terjadi. Resonance, sendiri berarti aktivitas sederhana media untuk memperkuat pengalaman kehidupan nyata seorang individu(Potter, 1991). Ini juga bersifat bias jika seorang individu tidak menelaah dan berpikir kritis terhadap pemberitaan di media.

Stasiun Televisi Metro TV
I.                    Metode
Dalam pemberitaan mengenai Tawuran SMA 6 yang diliput oleh Metro TV ini, kami melakukan pengumpulan data dengan menggunakan lembar observasi, dimana kami menilai dari tiga kategori dimensi yaitu Agresivitas, Emosi Dasar, dan Komunikasi.
Bagian dimensi agresivitas, kami membagi lagi menjadi dua sub-dimensi yaitu verbal dan fisik. Dalam dimensi emosi dasar, memiliki sub-dimensi senang, sedih, marah, terkejut, takut, dan jijik. Dalam dimensi komunikasi, memiliki sub-dimensi non-verbal. Pada dimensi dan sub-dimensi tersebut, kami menilai dari berbagai indicator, contohnya untuk dimensi agresivitas sub-dimensi verbal memiliki indikator yaitu memaki, memfitnah, provokasi, berkata kasar, dan berkata tidak pantas. Keseluruhan dimensi tersebut akan dinilai dari semua sudut pandang pelaku, yaitu pembawa acara, masyarakat, aparat, pemerintah, tokoh masyarakat, dan pengamat/ahli.
Dalam pengisian lembar observasi ini, kami melakukan pengambilan dan pencatatan data secara manual, dimana kami menonton tayangan mengenai Tawuran SMA 6 yang diliput oleh Metro TV, dan kemudian kami lakukan pencatatan setiap ada indikator yang telah dideskripsikan pada lembar observasi muncul pada tayangan tersebut.
Jadi, kami menyimpulkan secara deskriptif dengan berpatokan kepada indikator yang frekuensinya paling banyak dalam tiap dimensi, lalu kami hubungkan kesimpulan tersebut dengan menggunakan teori agenda setting.
II.                  Hasil dan Analisa
Pada pemberitaan mengenai Tawuran SMA 6 yang diliput oleh Metro TV, kami menyimpulkan bahwa media dalam tayangan ini telah mempengaruhi agenda media kepada agenda publik, sesuai dengan prinsip teori Agenda-setting. Dalam situasi ini media telah mampu untuk mempengaruhi benak apa yang ada di benak publik.
Pemberitaan tawuran pelajar baik itu dengan pelajar lainnya atau masyarakat sekitarnya dianggap sebuah hal penting, isu ini untuk beberapa lama telah dianggap lebih penting oleh masyarakat dibandingkan dengan isu-isu yang lainnya seperti korupsi dll.
Melihat posisi dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan redaksi menunjukkan bahwa media telah membuat isu tawuran ini menjadi sebuah agenda media, dan dalam beberapa cuplikan berita yang ditayangkan di Metro TV tersebut terlihat bahwa agenda media tersebut telah menjadi sebuah agenda publik, ditambah dengan anggapan masyarakat bahwa Metro TV adalah stasiun TV yang berfokus pada pemberitaan menjadikan masyarakat menganggap bahwa isu tentang tawuran ini adalah isu yang sangat penting dan untuk beberapa lama dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari isu lain yang lebih penting.
Bukti diatas dan dari tayangan tersebut menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Atau dalam artian lainnya adalah framing.
Stasiun Televisi RCTI
I.                    Metode
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu:
1.       Menentukan faktor-faktor yang melatarbelakangi efek berita yang ditampilkan berdasarkan teori agenda setting,
2.       Faktor-faktor tersebut akan digunakan untuk mengukur seberapa besar efeknya dengan melakukan pengamatan terhadap tayangan acara berita di stasiun TV yang dipilih,
3.       Melakukan analisa terhadap bagaimana stasiun TV tersebut menerapkan agenda setting bagi pemirsanya.
II.                  Hasil dan Analisa
Video yang akan dianalisa adalah seputar kasus tawuran SMA 6 dan keterlibatan wartawan, khususnya yang ditayangkan oleh stasiun TV RCTI. Dalam acara Seputar Indonesia, dibahas liputan tentang tawuran tersebut. Pembawa berita memulai introduksi dengan menceritakan latar belakang kejadian dan informasi secara general. Kata kunci untuk membuka pemberitaan adalah dengan menyebutkan waktu kejadian, yaitu Senin 19 November, diikuti dengan penyebutan jumlah korban sedikitnya 10 orang wartawan dan 7 siswa SMA 6 mengalami luka-luka akibat kejadian tersebut.
            Lalu tayangan dibuka dengan gambaran mobil dengan kaca depan yang pecah akibat terkena lemparan batu. Ditampilkan disini bagian yang menyiratkan kekerasan, disorot bagaimana kekisruhan siswa-siswa berseragam SMA dan masyarakat sekitar dalam sebuah kumpulan manusia, ada yang berlari-lari, berteriak, serta kumpulan polisi yang terlihat bersiaga dan memasang mimik wajah serius. Sebagai pelengkap, ditambahkan beberapa sudut pandang kesaksian baik dari pihak wartawan maupun dari pihak SMA 6, yang menceritakan kronologis kejadian dengan versi masing-masing pihak.
Secara khusus, hasil observasi kami menangkap agenda setting yang ditunjukkan oleh RCTI dan Seputar Indonesia adalah:
1. RCTI tidak secara vulgar memihak pihak tertentu, namun dalam tiap kata dan pemberitaan pasti didahulukan pihak wartawan daripada pihak SMA 6.
2. Kronologis kejadian versi wartawan beserta gambar korban dari pihak wartawan ditayangkan secara berulang, sementara versi dan gambar SMA 6 tidak.
3. Masyarakat diarahkan untuk tetap tenang dan konflik antara wartawan dengan SMA 6 ini dihimbau untuk dapat diselesaikan secepatnya.



Bab 4
Solusi dan Kesimpulan
I.                    Solusi
Dalam buku “Adolescents and the Media” disebutkan bahwa ada 7 macam solusi yang ditawarkan agar remaja dan media dapat berkorelasi dalam hal yang baik.
1.       Kualitas pemprograman acara terhadap anak-anak dan remaja harus ditingkatkan dan diubah menjadi lebih baik lagi.
2.       Perubahan dalam pemprograman harus dibarengi dengan perubahan dalam lingkungan fisik dan aturan-aturan periklanan.
3.       Riset yang lebih banyak sangat dibutuhkan di setiap area yang mempunyai pengaruh media pada anak muda dan remaja.
4.       Peningkatan pemahaman dalam literatur media sangat penting untuk melindungi anak-anak dan remaja dari pengaruh media yang berbahaya.
5.       Pengertian dan pemahaman yang lebih baik dari nature-nya media dibutuhkan oleh para orang tua dan ahli atau profesional kesehatan.
6.       Sebagai tambahan untuk pemprograman kualitas pendidikan yang lebih tinggi, penggunaan media secara agresif harus dibuat untuk kampanye kesehatan dan tujuan yang mendukung hubungan prososial bukannya perilaku agresif yang bersifat buruk dan membuat orang lain terganggu.
7.       Ahli kesehatan dan orang tua perlu bekerja sama dengan baik dalam advokasi media.
Solusi yang terbaik sebenarnya adalah gabungan dari ketujuh solusi ini. Jika masyarakat sudah bisa berpikir kritis dan tidak menangkap secara mentah apa yang diinformasikan oleh media, maka masyarakat dapat mengambil kesimpulan secara obyektif apa yang sebenarnya terjadi. Bukanlah penggeneralisasian suatu pemberitaan oleh media bahwa sesuatu hal yang buruk sedang terjad di negara kita dan kita menterjemahkan bahwa memang hal terebut terjadi secara signifikan. Padahal jika ditelaah lebih obyektif lagi kita dapat menemukan apa yang sebenarnya terjadi dengan negara kita dengan berpikir secara kritis bahkan sistematis.

II.                  Kesimpulan
Tingkah laku agresif yang dilakukan oleh pelajar dapat dipengaruhi oleh ekspos kekerasan di media secara berkelanjutan. Media yang mengekspos adegan tawuran dan mengandung konten kekerasan mempunyai hubungan positif dengan perilaku agresif yang muncul seperti bentroknya anak SMA 6 dengan wartawan. Hal ini menjadi tolak ukur bagaimana kita harus waspada terhadap eksps media terhadap sesuatu apakah itu bertujuan baik atau hanya meng-agenda-settin-kan suatu berita agar dapat penonton yang banyak dan membuat perusahaan media tersebut mendapatkan rating yang cukup bagus.
            Begitu juga dengan penanaman nilai suatu berita oleh media. Kita sebagai masyarakat yang dapat dikatakan setiap hari berdampingan dengan ekspos media, seharusnya kita bisa lebih jernih dan kritis dalam menanggapi suatu berita. Apa yang ditayangkan dalam berita belum tentu menjadi sebuah fakta yang signifikan bagi bangsa ataupun bagi dunia secara luas. Kita juga harus berpikir dengan logis bagaimana stasiun TV atau media memberitakan berita tersebut. Di setiap stasiun TV pasti ada agenda setting untuk mengatur kelancaran acara dan membuat keteraturan jadwal televisi. Oleh karena itu, kita sebagai bagian dari komponen media harus selektif dan tidak menerima secara mentah apa yang diinformasikan oleh media.









1. Diagram Lembar Observasi Stasiun TV RCTI (pemberitaan yang ditayangkan dari tanggal 21 September-24 September 2011)








DAFTAR PUSTAKA
Strasburger, V. C. (1995). Adolescents and the Media : Medical Dan Psychological Impact. United States : Sage Publications
Giles, D. (2003). Media Psychology. New Jersey : Lawrence Elbraum Associates Publishers.
Harris, R. J. (2004). A Cognitive Psychology of Mass Communication : Fourth Edition. London : Lawrence Elbraum Associates Publishers.
King, L. A. (2010). The Science of Psychology : An Appropriate View (Second Edition). United States : McGraw Hill.