Senin, 07 Mei 2012

TUGAS PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA : KONFLIK BUDAYA


Di dunia ini budaya merupakan unsur pembentuk sejarah. Budaya juga merupakan produk dari hasil interaksi suatu masyarakat dalam suatu tempat atau wilayah.  Ketika suatu budaya dihasilkan maka kemudian itu menjadi pembentuk tingkah laku atau faktor pemicu seorang individu melakukansebuah motif perilaku.
Budaya suatu tempat mungkin berbeda dan mungkin juga sama dengan budaya di daerah lain. Budaya tersebut memiliki berbagai macam faktor pembentuk. Pembentuk kebudayaan di suatu tempat bisa saja berbeda dengan tempat yang lain karena berbeda dalam satu hal. Sebagai contoh budaya A dibentuk karena topografi dan kondisi fisik lingkungan tempat tinggal, sedangkan budaya B dibentuk karena faktor sejarah dan agama. Dalam hal ini saja kedua budaya sudah berbeda.
Perbedaan budaya dapat membuat individu di budaya A ketika berada di budaya lain misalnya budaya B mengalami dislocation. Individu tersebut dapat mengalami konflik budaya ketika dia berada di budaya yang sama sekali berbeda dengan nilai di budayanya sebelumnya. Dalam hal ini terjadi konflik budaya antara budaya A dan budaya B. Ketika ia tetap melaksanakan budaya  A di tempatnya yang dominan dengan budaya B maka ia kemudian mengalami konflik.
Konflik budaya bisa dapat berimplikasi positif dan negatif terhadap individu tersebut. Sisi positifnya yaitu ketika budaya A diberdayakan di budaya B oleh seorang individu itu dapat memperkuat rasa mencintai budaya lokal. Hal ini dapat membuat kebudayaan lokal seorang individu tersebut tetap terjaga dan menghasilkan variasi budaya di masyarakat. Sisi negatifnya adalah ketika apakah budaya tersebut dapat diterima atau tidak di lingkungan baru individu tersebut yang sama sekali berbeda budaya dan tatanan nilai masyarakatnya. Budaya yang ditolak kemudain menghasilkan sisi negatif bagi individu karena dapat menghasilkan punishment dari masyarakat. Baik itu berupa sanksi verbal atau sanksi secara sosial.

Pengalaman saya mengalami konflik budaya sangat banyak. Namun, saya hanya menjelaskan sebagian konflik budaya yang saya alami. Pertama, ketika saya menerapkan konsep individualistis di lingkungan sekitar rumah dan sekolah. Keluarga saya yang merupakan latar belakang individualistis mendorong saya juga menerapkan nilai tersebut di kehidupan sosial saya. Ketika saya berada di lingkungan sekitar rumah atau lingkungan teman sebaya dan menerapkan nilai saya tersebut saya mengalami konflik budaya. Budaya lingkungan sekitar rumah saya itu mayoritas sangat kolektivis dan mengandalkan komunikasi yang hangat antara anggota dalam kelompoknya. Hal ini bertentangan dengan nilai saya dan membuat saya pada akhirnya kurang akrab dan mendapatkan sedikit teman dari proses sosialisasi saya dengan lingkungan sekitar rumah saya. Pun halnya dengan saya di sekolah. Ketika saya menerapkan nilai individualistis saya, saya kurang mendapatkan identitas sosial saya sebagai anggota kelompok di sekolah. Saya sering diacuhkan dan tidak dianggap karena mayoritas teman sekolah juga berbudaya kolektivis dan cenderung berkelompok. Anak pendiam dan individualistis seperti saya akhirnya “termarginalkan.” Saya mengalami konflik yang berkepanjangan di sini karena kehangatan dari sebuah kmunikasi dengan individu lain tidak saya dapatkan. Saya merasa aneh dan cenderung menyalahkan orang lian karena budaya yang saya anut bertentangan dengan budaya tempat saya berkembang dan tinggal. Hal ini kemudian menghasilkan punishment sosial bagi saya. Punishment secara kolektivis yang dilakukan oleh orang lain tentu sangat membuat saya sangat tertekan dan malu. Hal ini menurut saya berakibat terhadap kemauan saya untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Konflik kedua yaitu ketika saya pindah ke Jakarta dari Padang. Saya pindah ke rumah adik mama saya. Di Padang, saya sangat mengandalkan Ibu saya dalam segala hal yang membuat saya menjadi anak yang pemalas dan harus didampingi. Namun, ketika saya berada dan tinggal di tempat tante saya ini, saya mengalami konflik budaya. Keluarga tante saya sangat menerapkan disiplin yang tinggi kepada anggota keluarganya. Saya yang sebelumnya sering bangun kesiangan diajarkan bangun sejak subuh. Dalam hal ini, saya mengalami konflik budaya di level keluarga. Saya yang tidak biasa disiplin kemudian harus disiplin. Pada awalnya saya sangat susah untuk menerapkan hal ini karena bertentangan dengan budaya dan kebiasaan saya sebelmunya. Namun, pada akhirnya saya kemudian secara perlahan dapat cukup disiplin. Konflik budaya saya di sini kemudian membuat sebuah nilai negatif menjadi positif. Dalam hal in, konflik budaya yang saya alami menjadi reward sebenarnya bagi saya. Saya yang dulunya pemalas dapat menjadi disiplin dan rajin. Bahkan saya yang dulunya sangat pesimis menjadi sangat optimis karena pembentukan tingkah laku yang disiplin tersebut.
            Konflik ketiga, yaitu ketika saya berada di Jakarta yaitu dengan gaya hidup orang Jakarta. Lingkungan sekitar saya dulunya tidak seperti orang Jakarta pada umumnya. Mereka cenderung kolektivis dan sangat suka menyapa antar tetangga. Di Jakarta hal ini bagi saya sangat jarang terjadi.Tetangga didekat rumah saja tidak mengenal tetangga lain. Hal ini menurut saya juga dipengaruhi status sosial di masyarakat. Lingkungan tempat saya tinggal memang didominasi oleh orang dengan status sosial yang tinggi. Umumnya mereka bekerja di sektor perbankan. Hal ini kemudian memciu hal tersebut terjadi. Ketika saya lewat di sekitar lingkungan tersebut mereka malah tidak menyapa dan tidak mengacuhkan saya. Itu juga terjadi antar tetangga yang lain. Bahkan mereka sangat jarang bersosialisasi satu dengan lainnya karena sangat individualistis. Hal lain adalah ketika saya berada di atas bus. Biasanya di daerah saya tinggal dulu mereka sangat menghargai orang yang tua ketika naik bus. Budaya di sana sangat memperhatikan kelamah-lembutan, rasa menghargai dan memaklumi orang yang tua. Namun, hal ini tidak terjadi di Jakarta. Ketika saya naik busway, saya melihat banyak orang yang mengacuhkan ada orang tua yang berdiri dan terhuyung-huyung ketika bus berjalan. Anak muda yang justru masih tegap dan sehat mereka tidak mengacuhkan orang tua dan cenderung mementingkan diri mereka sendiri dan tidak mempersilahkan orang tua untuk duduk di tempat duduknya. Namun yang anehnya orang tua tersebut seperti wajar-wajar saja melihat mereka tidak mendapatkan tempat duduk. Di daerah saya dulu, mereka yang tidak memberikan tempat duduk sangat disindir. “Masih muda kok g mau mengalah.” Konflik budaya ini membuat saya sangat tidak nyaman dan sangat menyayangkan perilaku orang kota yang sangat egois.
Konflik keempat juga terjadi di Jakarta. Saya sebenarnya pindah ke Jakarta ketika saya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Konflik budayanya terletak dari gaya hidup orang Jakarta yang lainnnya yaitu sisi berpakaian para wanitanya. Memang tidak dipungkiri, industrialisasi dan modernisasi membuat orang perkotaan menganut nilai Barat dan melupakan nilai Ketimurannya. Saya sangat kaget melihat cara berpakaian orang Indonesia di sini. Mereka dapat saya katakan “telanjang” dalam hal berbusana. Di daerah saya dahulu mayoritas wanitanya memakai jilbab karena syariat agama di sana sangat kuat. Namun, ketika saya di Jakarta, pemandangan yang mengejutkan justru saya dapatkan. Menurut saya, wanita di sini telah melupakan budaya timurnya dulu yaitu kesopanan. Cara berpakaian budaya Barat tersebut dapat dilihat ketika berada di pusat perbelanjaan yang memang didominasi oleh orang dengan strata menengah ke atas dan golongan kaya. Mereka berprilaku seperti itu karena tuntutan status sosial mereka. Konflik budaya yang saya alami adalah saya tidak biasa disuguhkan dengan pemandangan seperti itu, iba-tiba saya dihadapkan dengan cara berpakaian yang sangat minim.
Konflik kelima yaitu, ketika saya telah diterima di perguruan tinggi negeri. Budaya di kampus seperti UI memang membuat saya mengalami culture shock juga. Ketika proses perkuliahan misalnya, saya harus dihadapkan dengan banyak tugas yang memakai media internet dan media elektronikyang ber-budget tinggi. Saya mengalami konflik ketika teman kampus saya memiliki sarana yang memadai dalam hal belajar saya justru masih menggunakan cara yang konvensional. Mereka mencatat materi kuliah menggunakan laptop saya masih menggunakan catatan buku. Ketika mereka mengetik tugas menggunakan laptop masing-masing saya masih menggunakan warnet dan rental kcomputer untuk membuat tugas perkuliahan saya. Hal ini terjadi selama dua semester. Saya mengalami konflik budaya dari segi infrastruktur pembangun pendidikan perkuliahan.
Konflik keenam yaitu ketika sistem tata belajar di daerah saya berbeda dengan sistem di Jakarta. Pendidikan di sini yang sudah sangat maju sangat mengedepankan prestasi individual dan masing-masing peserta pendidikannya sangat antusias dengan pendidikan. Hal ini karena peran industrialisasi dan modernisasi di segala bidang di Jakarta. Hal ini juga merupakan sebagai implikasi dari kota Jakarta sebagai kota besar dan ibukota negara. Sistem pendidikan yang termasuk dalam unsur budaya tersebut di daerah saya sangat kontras dengan di Jakarta. Pendidikan di sini lebih advanced dan memakai sistem informasi berbasis komputer yang sudah menjadi bagian dari sistem pengajaran di Jakarta. Di daerah saya sendiri sangat jarang ditemukan hal seperti ini karena budaya pendidikan di sana masih konvensional. Saya mengalami konflik budaya dari belajar yang konvensional menjadi belajar dengan sistem yang sangat advanced. Saya pada awalnya mengalami konflik yaitu harus menyesuaikan budaya pendidkan orang di Jakarta. Namun, saya pada akhirnya dapat beradaptasi dengan baik dengan gaya pendidikan di Jakarta.