Rabu, 11 April 2012

DISAIN ALAT DAN KONDISI KERJA (DESAIN ERGONOMIS), TEMA: TOILET NON ERGONOMIS



DESAIN ALAT KONDISI KERJA
TOILET NON-ERGONOMIS


OLEH: M.FAJRI(PSIKOLOGI 2010)
BAB I
         Pendahuluan
Ergonomis sebuah benda dilihat dari berbagai kriteria yaitu apakah benda tersebut dapat menjaga kenyamanan seorang konsumen ketika memakai benda tersebut. Tujuan sebuah benda harus ergonomis agar kekurangan atau keterbatasan fisik manusia yang bervariasi dapat teratasi. Masing-masing manusia berbeda tingkat kenyamanannya. Dalam hal ini kami melihat ergonomisnya suatu benda dari standar yang sudah ditetapkan berdasarkan  latar belakang budaya negara. Ergonomisnya benda di negara Asia tentu berbeda dibandandingkan dengan ergonomis negara Amerika. Peranan budaya dalam hal ini menjadi hal yang penting dalam pengobservasian dan analisis ergonomis ini. Saya ingin melihat apakah standar di suatu negara bisa dipakai atau tidak di negara yang lain. Saya ingin melihat apakah negara berlatar belakang budaya yang berbeda, dapat diaplikasikan prinsip ergonomisnya di negara lain yang berbeda kriteria ergonomisnya


.
Toilet di berbagai negara berbeda sesuai budaya masing-masing negara tersebut. Negara Barat cenderung menggunakan kloset duduk dan otomatis. Segi otomatisnya terletak pada guyuran air untuk membersihkan kotoran. Biasanya toilet ini memiliki tungkai atau tuas untuk mengalirkan air yang tempat berasal air tersebut terletak tepat di belakang toilet tersebut. Biasanya tempat tersebut berbentuk bak berbentuk persegi yang dapat mengairkan air secara otomatis dengan prinsip katrol. Apabila bak sudah terisi penuh maka airnya akan berhenti secara otomatis. Apabila air sudah kosong atau dipakai untuk mengguyurkan air untuk mendorong kotoran ke septic tank, air tersebut akan terisi kembali. Berbeda halnya dengan kloset yang ada di negara Timur, khususnya Indonesia sebagai bahan perbandingan saya di sini. Budaya tolilet Indonesia kental dengan budaya toilet jongkok. Masyarakat Indonesia mayoritas menggunakan toilet jongkok. Hal ini bermula dari kebiasaan orang Indonesia membuang kotoran dengan cara jongkok. Masyarakat tradisional Indonesia bahkan membuang kotoran di sungai atau empang(kolam rakyat). Hal ini memang lazim terjadi di Indonesia karena masyarakatnya berlatar belakang agraris dan bentuk demografi daerahnya kepulauan. Hal ini mendorong masyarakat untuk membuang air ke tempat yang memang banyak air, seperti sungai, empang, bahkan laut. Dan masyarakat Indonesia cenderung menggunakan gayung untuk membersihkan kotorannya.

           Pendeksripsian
Kloset berwarna biru ini sangat kecil,  tidak otomatis, dan tidak bisa dipakai untuk orang dewasa. Tidak otomatis di sini berarti tidak mempunyai tungkai atau tuas untuk mengalirkan air yang nantinya menyalurkan kotoran ke septic tank. Hal ini mengharuskan orang yang memakainya memakai gayung dan mengalirkan air secara manual ke dalam kloset. Toilet ini mempunyai tinggi yang kurang dengan toilet pada umumnya yaitu 28-30 cm. Toilet ini memiliki tinggi sekitar 25 cm, panjang sekitar 25 cm, dan lebar sekitar 14 cm. Hal ini memang menyulitkan orang dewasa untuk memakai toilet ini. Ukuran tempat dudukannya juga sangat kecil. Ukuran tempat dudukan tersebut kurang dari lebar toilet, yaitu sekitar 12,5 cm. Toilet ini juga memiliki saluran pembuangan yang berbentuk double U. Hal ini dapat menghambat turunnya air pembuangan mengalir ke septic tank apabila tankinya sudah penuh.
Masing-masing bagian toilet ini terbuat dari bermacam bahan. Bagian penutup toiletnya berbahan plastik sama seperti toilet pada umumnya karena lebih memudahkan pemakai untuk membuka apabila akan dipakai. Badan toilet ini terbuat dari keramik biasa. Di samping itu, toilet dilengkapi dengan selang untuk membasuh setelah kita selesai. Selang ini sama seperti standar toilet pada umumnya. Selang ini juga dapat membantu kita langsung membasuh bagian tubuh di tempat secara langsung tanpa perlu menimba air lagi.
Pada gambar di atas juga terdapat sebuah alat bantu tambahan yang dibuat oleh orang tersebut. Alat bantu tersebut terbuat dari kayu. Alat bantu tersebut hanya sebagai tambahan karena tidak pasnya ukuran pinggul orang tersebut dengan ukuran pinggul tempat dudukan di toilet. Alat bantu tersebut sedikit lebih lebar dibandingkan toilet tersebut agar terasa lebih nyaman. Alat ukur tersebut memiliki pijakan kaki yang berguna tempat pijakan orang tersebut ketika duduk. Namun, tempat pijakan itu, hanya disesuaikan dengan kondisi dan ukuran orang itu sendiri. Kemudian, alat bantu ini memiliki 4 buah kaki yang menyangga tempat pijakan kaki tersebut. 4 penyangga tersebut cukup kuat untuk menahan orang dewasa seberat sampai 60-70 kg. namun, apabila lebih dari itu, kemungkinan alat bantu tersebut akan patah karena kecil atau tipisnya elemen kayu tersebut. Toilet ini sangat tidak nyaman sehingga lebih seperti toilet dudukan seperti kebanyakan di Indonesia, padahal toilet ini sebenarnya toilet otomatis dan bisa duduk di atasnya. Toilet ini juga mempunyai tempat dudukan yang sangat kecil yang menurut saya tidak dapat dipakai untuk orang lain selain anak kecil.

BAB II
       Sudut Pandang Anthropometric dan Ergonomic
Fokus dari sebuah kajian ergonomis mengarah pada upaya pencapaian sebuah rancangan produk yang memenuhi persyaratan fitting the task to the man (Granjean dalam Wignjosoebroto, 1982). Hal ini diartikan, setiap model atau rancangan sistem manusia-mesin (produk) yang akan dibuat harus selalu dipikirkan untuk kepentingan (dalam arti keselamatan, keamanan, maupun kenyamanan) manusia. Ergonomis (faktor manusia) merupakan disiplin saintis yang terpusat kepada bagaimana kita dapat mengerti interaksi antara manusia dan elemen dari sebuah sistem, dan profesi yang mengaplikasikan teori, prinsip, data, dan metode untuk mendesain sebuah hal yang dapat mengoptimalkan pekerjaan manusia itu sendiri(International Ergonomics Association, 2000).
Pertimbangan antropometrik juga menjadi hal yang penting untuk dikaji sebagai bahan basis data untuk mengolah apakah standar satu negara sama dengan negara yang lain. Antropometris merupakan data ukuran tubuh yang dapat cocok atau fit dijadikan sebagai standar dalam membuat suatu alat atau produk. Standar antropometri ini kemudian dapat menjadi determinasi sebuah alat nyaman atau tidak dan memenuhi serta mengakomodasi kekurangan manusia.
Dalam proses perancangan dan pengembangan, pengertian tentang produk tidak hanya dipandang berdasarkan karakteristik fisik saja, attributes ataupun ingredients semata (yang menghasilkan fungsi kerja produk), melainkan harus lihat, dipikirkan dan dirancang-kembangkan komponen lain berupa packagings dan support services component yang akan membentuk sebuah rancangan produk yang lengkap dan terintegrasi (Hisrich, 1991: hal. 5-6 dan Wignjosoebroto, 1997: hal. 2-11 dalam Wignjosoebroto). Sebuah produk yang dirancang untuk memberikan aspek teknis-fungsional yang memiliki nilai tambah tinggi, bisa jadi akan kedodoran pada saat sampai ke tahap komersialisasi karena tidak dikemas (packaging) secara baik dan dipikirkan langkah-langkah purna jual-nya. Sanders dan McCormick (Sanders, 1992: hal. 4 dalam Wignjosoebroto) mengatakan dengan konsep it is easier to bend metal than twist arms yang kemudian dapat diartikan, merancang produk ataupun alat untuk mencegah terjadinya kesalahan (human error) akan jauh lebih mudah bila dibandingkan mengharapkan orang (operator) jangan sampai melakukan kesalahan pada saat mengoperasikan produk (mesin) atau alat kerja.
Dalam hal memahami konsep ergonomis perlu dilakukan analisa tugas (task analysis) yang kemudian diintegrasikan dalam rancangan produk yang akan dibuat (Huncingson, 1981: hal. 23 dalam Wignjosoebroto). Dengan demikian manusia (operator) selanjutnya tidak lagi harus menyesuaikan dengan rancangan produk (man fits to the design) malah sebaliknya produk tersebut akan dirancang dengan terlebih dahulu memperhatikan segala faktor yang terkait dengan manusia yang akan mengoperasikannya (design fits to the man)
Studi ergonomis (human factors) mencoba mengkaitkan rancangan produk untuk bisa diselaras-serasikan dengan manusia, didasarkan kapasitas dan keterbatasan dari sudut tinjauan kemampuan fisiologik maupun psikologik-nya (Stanton, 1998; Hubel, 1984 dalam Wignjosoebroto) dengan tujuan untuk meningkatkan performa kerja dari sistem manusia-produk (mesin). Terdapat (empat) aturan dasar perancangan yang pertimbangan ergonomis yang perlu diikuti (Khalil, 1972: hal. 32-35 dalam Wignjosoebroto) yaitu:

1.      Pahami terlebih dahulu bahwa manusia merupakan fokus utama dari perancangan produk. Hal yang berhubungan dengan struktur anatomi (fisiologis) tubuh manusia perlu diperhatikan, pun halnya dengan dimensi ukuran tubuh (antropometris) harus dikumpulkan dan digunakan sebagai dasar atau standar menentukan bentuk dan ukuran geometris dari produk ataupun fasilitas kerja yang dirancang.
2.      Menggunakan prinsip-prinsip kinesiology (studi mengenai gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek ilmu fisika atau kadang dikenali dengan istilah lain biomechanics) dalam rancangan produk yang dibuat untuk menghindarkan manusia melakukan gerakan-gerakan kerja yang tidak sesuai, tidak beraturan, kaku (patah-patah), dan tidak memenuhi persyaratan efektivitas-efisiensi gerakan (Wells, 1976: hal. 3 dalam Wignjosoebroto).
3.      Masukan kedalam pertimbangan mengenai segala kelebihan maupun kekurangan (keterbatasan) yang berkaitan dengan kemampuan fisik yang dimiliki oleh manusia didalam memberikan respons sebagai kriteria-kriteria yang perlu diperhatikan pengaruhnya dalam proses perancangan produk.
4.      Aplikasikan semua pemahaman yang terkait dengan aspek psikologik manusia sebagai prinsip-prinsip yang mampu memperbaiki motivasi, attitude, moral, kepuasan dan etos kerja.
Standar suatu produk juga menjadi acuan penting dalam mendesain produk yang memilki prinsip ergonomis yang kuat. Produk yang dibuat harus berdasarkan standar yang ada disesuaikan dengan data antropometris di suatu negara karena antropometris satu negara akan berbeda dengan negara lainnya karena faktor karakteristik individu yang berbeda pula masing-masing negara. Apabila standar tersebut tidak terpenuhi maka tingkat ergonomisnya menjadi berkurang sehingga value-nya di masyarakat juga dapat berkurang.
            Peranan budaya dalam desain produk agar sesuai dengan konsep design fits to the man juga harus menjadi perhatian. Desain yang mencocokkan dengan kebutuhan manusia juga menjadi penentu ergonomisnya suatu produk. Sebaliknya bukan orang atau pemakainya lah yang mem-fit-kan kondisi yang ada di toilet tersebut dengan kondisi yang memang ia punyai. 
BAB III
     Analisis
Berdasarkan pandangan teori Khalil yang berisi empat komponen standar penentuan bahwa suatu produk akan dibuat, maka poin 1 (satu ) berdasarkan struktur anatomi manusia. Toilet ini tidak bisa dijadikan sebuah benda yang membuat nyaman pemakainya karena memiliki ukuran yang tidak sesuai standar.  Toilet ini tidak mendukung konsep poin 1(satu) karena pemakai toilet ini bisa merasakan sakit karena ukuran tempat dudukannya kecil dan tidak pas dengan ukuran semua umur. Menurut saya, ini lebih cocok diperuntukkan kepada anak kecil. Apabila kita melakukan  buang air dalam durasi yang lama maka lama kelamaan ini tidak mendukung struktur anatomi kita dan dapat membuat kaki kita pegal, kesemutan dan tidak lancarnya peredaran darah. Darah hanya terkumpul di kaku terutama betis karena dijadikan medan tumpuan untuk buang air.  Toilet ini juga hanya bisa diperuntukkan bagi orang normal sehingga orang yang cacat tidak bisa menggunakan toilet ini.
            Berdasarkan poin 2 (dua), toilet ini tidak atau mungkin kurang menggunakan konsep kinesiology, yaitu gerakan tubuh manusia ketika memakai suatu produk. Hal ini dapat dilihat di gambar bahwa toilet ini tidak mendukung pemakainya untuk dapat bergerak cukup nyaman. Toilet ini membuat pemakainya hanya statis dan kaku ketika melakukan aktivitas buang air. Bahkan pemakainya harus menambahkan alat tambahan yang menjadikannya beralih fungsi menjadi toilet jongkok. Dan juga, tidak tersedianya alat pengguyur otomatis yang biasanya tersedia satu set dengan toilet tipe duduk. Hal ini kemudian menjadikan toilet ini tidak memenuhi kepraktisan suatu produk terhadap pengakomodiran gerakan yaitu dengan meminimalisasi pergerakan manusia. Kita menjadi lebih banyak melakukan pekerjaan dan usaha yang ekstra apabila mau membersihkan kotoran kita. Ini sangat bertentangan dengan nilai ergonomis. Benda ini menjadi malfungsi tempat dudukannya karena tidak dapat disesuaikan dengan ukuran pinggul orang biasanya. Sebagai tambahan lagi, konsep ini berlaku juga ketika kita mau membersihkan atau mengguyurkan air ke dalam kloset yang membuat pemakainya harus berpindah tempat dulu untuk menimba air karena toilet ini juga tidak didukung dengan konsep air otomatis. Hal ini kemudian membuat pemakainya harus bolak balik, menggopoh atau menggapai dengan susah payah.
            Berdasarkan poin 3 (tiga), kriteria produk haruslah mengatasi atau mengakomodasi keterbatasan fisik manusia dan melihat segi kelebihan dari manusia tersebut apa yang memang perlu ditambah atau apa yang perlu dipertahankan dari produk tersebut sehingga cocok dengan kebutuhan fisik manusia. Toilet ini tidak memenuhi kriteria ini juga karena tidak hanya mengabaikan sisi kekurangan manusia tapi juga kelebihan manusia. Begitu susahnya untuk duduk di atas tilet ini membuat pemakainya menambahkan alat bantu. Hal ini efek dari produsen tidak menimbangkan kekurangan dan kelebihan fisik manusia. Dalam hal ini, toilet ini seharusnya membuat tempat dudukan yang fleksibel dan sesuai standar yang dapat dipakai oleh banyak orang. Sesuai gambar di atas, remaja pun mengalami kesusahan atau kesulitan untuk memakai toilet di atas karena kecilnya tempat dudukannya. Keterbatasan fisik manusia yang tidak dapat berdiri jongkok terlalu lama tidak terakomodir di sini.  Hal lain yang juga tidak membatasai keterbatasan fisik manusia adalah tidak adanya alat pengguyur otomatis untuk membersihkan kotoran tersebut. Hal ini kemudian tidak memenuhi syarat di atas karena manusia harus memakai gayung untuk mengguyur kotoran.
            Berdasarkan poin 4 (empat), pengaplikasian semua pemahaman aspek psikologis individu terkait dengan produk tersebut apakah dapat memperbaiki motivasi, sikap, dll, tidak terpenuhi juga oleh toilet ini. Ini merupakan efek penambahan alat oleh orang dewasa karena desain tempat dudukannya yang terlalu kecil. Hal ini kemudian membuat pemakainya hanya terbatas anak-anak. Hasil dari pembelian produk adalah kepuasan konsumen dan sisi kepraktisan serta aksesibilitas yang didapatkan oleh konsumen dari produk itu. Namun, hal ini tidak didapatkan dari toilet ini, bahkan penggunaan toilet ini bisa merusak motivasi pemakai karena tiap kali buang air kecil karena harus memakai kayu pembantu berupa kayu yang suatu saat juga bisa patah. Hal ini menambah waktu dan tenaga si pemakai dalam melakukan aktivitas buang air besar, yang seharusnya mereka dapat melakukannya dengan santai, nyaman, dan bisa bebas bergerak ke samping kanan atau samping kiri. Hal ini kemudian lama kelamaan dapat merusak mood, motivasi, dan sisi kenyamanan pemakai.
            Berdasarkan standar yang ada di Indonesia ukuran panjang, lebar, dan tinggi toilet ini tidak sesuai dengan standar yang ada karena jarak dari lantai hingga ke tempat dudukan rendah. Hal ini dapat membuat kaki kita tidak nyaman ketika menggunakan toilet ini karena harus menjulurkan kaki sedikit karena kurang tingginya toilet ini sehingga tidak mengakomodir kaki orang khususnya kaki orang dewasa yang rata-rata memang panjang. Hal ini menjadi penting karena standar dari suatu produk wajib diperhatikan karena mengandung aspek kenyaman dan psikologis pemakainya. Dari ketidaknyamanan akan menimbulkan perasaan yang tidak baik sehingga dapat mengganggu performa pemakai ketika memakai produk tersebut.    
            Berdasarkan prinsip “merancang produk lebih gampang dibandingkan membuat produk fit dengan orang atau pemakainya” memang terjadi juga di sini. Saya berasumsi toilet ini memang bukan ala kadar atau mengada-ada dalam perancangan desainnya namun sepertinya kita dapat melihat bahwa semua kesalahan fatal telah ditunjukkan oleh rancangan toilet ini. Mulai dari gangguan aspek fisik, perasaan yang mengarah kepada ketidaknyaman, dll. Hal ini memang mengarahkan saya kepada, produsen yang membuat ini mungkin memiliki motif dalam mendesain toilet ini yaitu mereka memang memperuntukkan toilet ini terbatas untuk anak kecil, tidak untuk orang pada umumnya(dewasa dapat memakainya). Hal ini terlihat dari semua dimensi ukurannya sangat berbeda dibanding standar yang ada. Toilet ini terkesan ekslusif dan tidak dapat kompatibel dengan kebutuhan semua orang dan hanya mengakomodir orang tertentu saja. Hal ini kemudian dapat dikatakan bahwa sisi ergonomis, kompatibilitas tidak terpenuhi sama sekali karena alat ini memang sangat tidak cocok digunakan orang dengan karakterisitik fisik yang lebih besar seperti orang dewasa.
            Berdasarkan konsep ergonomis yang juga mempertimbangkan design fits to the man bukan man fits to the design. Maksud pernyataan pertama adalah suatu produk akan dipandang ergonomis, haruslah memenuhi kriteria desain produk itu sendirilah yang seharusnya di-fit-kan dengan kondisi pemakainya bukan pemakainya yang harus beradaptasi dengan alat tersebut sesuai dengan pernyataan kedua. Hal ini kemudian menjadi produk ini, membuat pemakainya harus melakukan adapatasi terhadap desainnya bukan desainnya yang diadaptasi dari dia. Di sini sudah terlihat segi praktis, mendukung keterbatasan manusia sudah tidak diperhatikan karena tempat dudukan serta ukuran semua dimensi toiletnya tidak didesain untk di-fit-kan dengan kebutuhan pemakainya.
Berdasarkan sisi budaya di Indonesia yang terbiasa toilet jongkok mungin juga tetap akan mengalami culture shock jika melihat ada orang yang memakai toilet seperti ini. Tidak hanya mereka belum terbiasa dengan toilet duduk, namun mereka juga harus memakai konsep toilet jongkok dalam sebuah produk yang sebenarnya memiliki konsep toilet duduk. Hal ini kemudian sangat berbeda namun memiliki sebuah kesamaan dalam hal melakukan aktivitas buang air besar engan cara jongkok.
BAB IV
A.    Rekomendasi Desain
Gambar di samping adalah gambar toilet yang sesuai dengan standar Barat(American Standart). Toilet ini menurut saya sangat ergonomis dari segi kepraktisan, ukuran tempat duduk, ramah lingkungan, dan kehematan biaya. Toilet ini praktis karena telah dilengkapi dengan tuas otomatis yang berguna mengalirkan air dari bak kloset. Ukuran kloset ini  mempunyai panjang 28,5 cm, lebar 15,5 cm, dan tinggi 28,5 cm. Orang yang mempunyai tinggi 160 cm dapat dengan nyaman memakainya, Hal ini sesuai dengan standar ergonomis yang dapat membuat seorang nyaman memakainya. Toilet ini sebenarnya juga dilengkapi dengan selang tambahan(tidak terdapat di gambar) apabila pemakai mau membasuh bagian tubuh yang kotor setelah buang kotoran. Selang ini berjarak tidak jauh dari toilet ini sehingga memang mudah dijangkau dan tidak mebuat pemakainya harus menggapai dengan susah payah. Selang ini juga dilengkapi dengan pengatur besarnya volume air yang dilkeluarkan sehingga pemakainya dapat menyesuaikan dengan kebutuhan. Lubang toilet ini juga cukup dalam dan melengkung yaitu berukuran diameter 5 cm dan kedalaman 5 cms ehingga efektif membuang kotoran langsung. Sekali basuhan langsung membuang kotoran ke septic tank.
Ukuran tempat dudukan toilet ini juga kurang sedikit dari lebar toilet itu yaitu panjang 25 cm dan lebar 13,5 cm. Hal ini dapat mebuat nyaman pemakainya. Bahkan kita dapat melakukan aktivitas lain selama melakukan aktivitas toilet ini, seperti membaca koran, majalah, atau bahkan browsing karena kenyamanan tersebut membuat kita dapat bersantai sejenak di atas toilet tersebut.
Hemat biaya karena toilet ini memang mengefesiensi banyaknya air yang diperlukan untuk satu kali basuhan. Menurut keterangan yang saya dapat dari situs resmi penjualan produk ini, toilet ini dapat menghemat air 20 persen dari toilet biasanya karena satu air basuhan dengan air yang sedikit dapat membilas dengan efektif.
Sebagai tambahan toilet ini terbuat dari keramik yang cukup keras sehingga tidak mudah pecah dan tahan apabila kena sesuatu yang cukup berat. Namun, jangan sampai terkena terlalu sering karena akan dapat merusak toilet terus menerus. Hal ini efek kontinuitas dari pengakumulasian paparan benda beras dan keras.
Toilet ini juga memiliki prinsip katrol yaitu ketika tuas ditarik otomatis air akan keluar dan mengalirkan ke sisi samping hingga ke tengah bagian dalam toilet tersebut. Bak toilet ini juga cukup dalam menampung air sehingga tidak terjadi pemborosan air karena baknya tidak terlalu besar namun ditekankan kepada penekanan air dari dalam bak yaitu dengan memakai lubang penyaluran yang cukup besa sehingga ketika tuas ditarik air yang keluar walaupun sedikit tapi sangat mendorong dan mengalir dengan cepat ke sisi tengah toilet tersebut.
Bentuk samping toilet tersebut sengaja dibuat melengkung dan tidak mendatar agar pada saat bagian tersebut dibersihkan tidak meninggalkan sisa kotoran pada bagian tersebut. Hal ini juga memiliki unsure kepraktisan apabila kita suatu saat ingin membersihkan bagian samping tersebut. Kita tidak perlu susah menggapai bagian tersebut karena bagiannya tidak rata atau terlalu simetris yang membuat pada saat pembersihan bagian samping itu menjadi lama dan menyulitkan.







Daftar Pustaka
Wignjosoebroto, S. (2000).  Evaluasi Ergonomis dalam Proses Perancangan Produk.  Tulisan dari Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri FTI-ITS.
Wignjosoebroto, Sritomo. (1997). Ergonomic Analysis for Improving the Design of Spining Process Facility in Textile Traditional Industry. Proceedings Asean Ergonomics 97: Human Factors Vision – Care for the Future (Editor: Halimahtun M. Khalid), 6-8 Nopember 1997. Kuala Lumpur: International Ergonomics Association (IEA) Press.
Helander, M. (2006). A Guide to Human Factors and Ergonomics : Second Edition. London: Taylor and Francis Group.