DESAIN ALAT
KONDISI KERJA
TOILET NON-ERGONOMIS
OLEH: M.FAJRI(PSIKOLOGI 2010)
BAB I
Pendahuluan
Ergonomis
sebuah benda dilihat dari berbagai kriteria yaitu apakah benda tersebut dapat
menjaga kenyamanan seorang konsumen ketika memakai benda tersebut. Tujuan
sebuah benda harus ergonomis agar kekurangan atau keterbatasan fisik manusia
yang bervariasi dapat teratasi. Masing-masing manusia berbeda tingkat
kenyamanannya. Dalam hal ini kami melihat ergonomisnya suatu benda dari standar
yang sudah ditetapkan berdasarkan latar
belakang budaya negara. Ergonomisnya benda di negara Asia tentu berbeda
dibandandingkan dengan ergonomis negara Amerika. Peranan budaya dalam hal ini
menjadi hal yang penting dalam pengobservasian dan analisis ergonomis ini. Saya
ingin melihat apakah standar di suatu negara bisa dipakai atau tidak di negara
yang lain. Saya ingin melihat apakah negara berlatar belakang budaya yang
berbeda, dapat diaplikasikan prinsip ergonomisnya di negara lain yang berbeda kriteria
ergonomisnya
.
Toilet
di berbagai negara berbeda sesuai budaya masing-masing negara tersebut. Negara
Barat cenderung menggunakan kloset duduk dan otomatis. Segi otomatisnya
terletak pada guyuran air untuk membersihkan kotoran. Biasanya toilet ini
memiliki tungkai atau tuas untuk mengalirkan air yang tempat berasal air
tersebut terletak tepat di belakang toilet tersebut. Biasanya tempat tersebut
berbentuk bak berbentuk persegi yang dapat mengairkan air secara otomatis
dengan prinsip katrol. Apabila bak sudah terisi penuh maka airnya akan berhenti
secara otomatis. Apabila air sudah kosong atau dipakai untuk mengguyurkan air
untuk mendorong kotoran ke septic tank,
air tersebut akan terisi kembali. Berbeda halnya dengan kloset yang ada di
negara Timur, khususnya Indonesia sebagai bahan perbandingan saya di sini.
Budaya tolilet Indonesia kental dengan budaya toilet jongkok. Masyarakat Indonesia
mayoritas menggunakan toilet jongkok. Hal ini bermula dari kebiasaan orang
Indonesia membuang kotoran dengan cara jongkok. Masyarakat tradisional
Indonesia bahkan membuang kotoran di sungai atau empang(kolam rakyat). Hal ini
memang lazim terjadi di Indonesia karena masyarakatnya berlatar belakang
agraris dan bentuk demografi daerahnya kepulauan. Hal ini mendorong masyarakat
untuk membuang air ke tempat yang memang banyak air, seperti sungai, empang,
bahkan laut. Dan masyarakat Indonesia cenderung menggunakan gayung untuk
membersihkan kotorannya.
Pendeksripsian
Kloset berwarna biru ini sangat kecil, tidak otomatis, dan tidak bisa dipakai untuk
orang dewasa. Tidak otomatis di sini berarti tidak mempunyai tungkai atau tuas
untuk mengalirkan air yang nantinya menyalurkan kotoran ke septic tank. Hal ini mengharuskan orang yang memakainya memakai gayung
dan mengalirkan air secara manual ke dalam kloset. Toilet ini mempunyai tinggi
yang kurang dengan toilet pada umumnya yaitu 28-30 cm. Toilet ini memiliki
tinggi sekitar 25 cm, panjang sekitar 25 cm, dan lebar sekitar 14 cm. Hal ini
memang menyulitkan orang dewasa untuk memakai toilet ini. Ukuran tempat
dudukannya juga sangat kecil. Ukuran tempat dudukan tersebut kurang dari lebar
toilet, yaitu sekitar 12,5 cm. Toilet ini juga memiliki saluran pembuangan yang
berbentuk double U. Hal ini dapat menghambat turunnya air pembuangan mengalir
ke septic tank apabila tankinya sudah
penuh.
Masing-masing bagian toilet ini terbuat dari
bermacam bahan. Bagian penutup toiletnya berbahan plastik sama seperti toilet
pada umumnya karena lebih memudahkan pemakai untuk membuka apabila akan
dipakai. Badan toilet ini terbuat dari keramik biasa. Di samping itu, toilet
dilengkapi dengan selang untuk membasuh setelah kita selesai. Selang ini sama
seperti standar toilet pada umumnya. Selang ini juga dapat membantu kita
langsung membasuh bagian tubuh di tempat secara langsung tanpa perlu menimba
air lagi.
Pada gambar di atas juga terdapat sebuah alat bantu
tambahan yang dibuat oleh orang tersebut. Alat bantu tersebut terbuat dari
kayu. Alat bantu tersebut hanya sebagai tambahan karena tidak pasnya ukuran
pinggul orang tersebut dengan ukuran pinggul tempat dudukan di toilet. Alat
bantu tersebut sedikit lebih lebar dibandingkan toilet tersebut agar terasa
lebih nyaman. Alat ukur tersebut memiliki pijakan kaki yang berguna tempat pijakan
orang tersebut ketika duduk. Namun, tempat pijakan itu, hanya disesuaikan
dengan kondisi dan ukuran orang itu sendiri. Kemudian, alat bantu ini memiliki
4 buah kaki yang menyangga tempat pijakan kaki tersebut. 4 penyangga tersebut
cukup kuat untuk menahan orang dewasa seberat sampai 60-70 kg. namun, apabila
lebih dari itu, kemungkinan alat bantu tersebut akan patah karena kecil atau
tipisnya elemen kayu tersebut. Toilet ini sangat tidak nyaman sehingga lebih
seperti toilet dudukan seperti kebanyakan di Indonesia, padahal toilet ini
sebenarnya toilet otomatis dan bisa duduk di atasnya. Toilet ini juga mempunyai
tempat dudukan yang sangat kecil yang menurut saya tidak dapat dipakai untuk
orang lain selain anak kecil.
BAB II
Sudut Pandang Anthropometric
dan Ergonomic
Fokus dari sebuah kajian
ergonomis mengarah pada upaya pencapaian sebuah rancangan produk yang memenuhi
persyaratan fitting the task to the man (Granjean dalam Wignjosoebroto,
1982). Hal ini diartikan, setiap model atau rancangan sistem manusia-mesin (produk)
yang akan dibuat harus selalu dipikirkan untuk kepentingan (dalam arti
keselamatan, keamanan, maupun kenyamanan) manusia. Ergonomis (faktor manusia)
merupakan disiplin saintis yang terpusat kepada bagaimana kita dapat mengerti
interaksi antara manusia dan elemen dari sebuah sistem, dan profesi yang
mengaplikasikan teori, prinsip, data, dan metode untuk mendesain sebuah hal
yang dapat mengoptimalkan pekerjaan manusia itu sendiri(International Ergonomics Association, 2000).
Pertimbangan antropometrik
juga menjadi hal yang penting untuk dikaji sebagai bahan basis data untuk
mengolah apakah standar satu negara sama dengan negara yang lain. Antropometris
merupakan data ukuran tubuh yang dapat cocok atau fit dijadikan sebagai standar
dalam membuat suatu alat atau produk. Standar antropometri ini kemudian dapat
menjadi determinasi sebuah alat nyaman atau tidak dan memenuhi serta
mengakomodasi kekurangan manusia.
Dalam proses perancangan dan
pengembangan, pengertian tentang produk tidak hanya dipandang berdasarkan karakteristik
fisik saja, attributes ataupun ingredients semata (yang menghasilkan
fungsi kerja produk), melainkan harus lihat, dipikirkan dan
dirancang-kembangkan komponen lain berupa packagings dan support
services component yang akan membentuk sebuah rancangan produk yang lengkap
dan terintegrasi (Hisrich, 1991: hal. 5-6 dan Wignjosoebroto, 1997: hal. 2-11
dalam Wignjosoebroto). Sebuah produk yang dirancang untuk memberikan aspek
teknis-fungsional yang memiliki nilai tambah tinggi, bisa jadi akan kedodoran
pada saat sampai ke tahap komersialisasi karena tidak dikemas (packaging) secara baik dan dipikirkan
langkah-langkah purna jual-nya. Sanders dan McCormick (Sanders, 1992: hal. 4
dalam Wignjosoebroto)
mengatakan dengan konsep it is easier to
bend metal than twist arms yang kemudian dapat diartikan, merancang produk
ataupun alat untuk mencegah terjadinya kesalahan (human error) akan jauh lebih mudah bila dibandingkan mengharapkan
orang (operator) jangan sampai melakukan kesalahan pada saat mengoperasikan
produk (mesin) atau alat kerja.
Dalam
hal memahami konsep ergonomis perlu dilakukan analisa tugas (task analysis) yang kemudian diintegrasikan
dalam rancangan produk yang akan dibuat (Huncingson, 1981: hal. 23 dalam Wignjosoebroto).
Dengan demikian manusia (operator) selanjutnya tidak lagi harus menyesuaikan
dengan rancangan produk (man fits to the design) malah sebaliknya produk
tersebut akan dirancang dengan terlebih dahulu memperhatikan segala faktor yang
terkait dengan manusia yang akan mengoperasikannya (design fits to the man)
Studi ergonomis (human factors) mencoba mengkaitkan
rancangan produk untuk bisa diselaras-serasikan dengan manusia, didasarkan
kapasitas dan keterbatasan dari sudut tinjauan kemampuan fisiologik maupun
psikologik-nya (Stanton, 1998; Hubel, 1984 dalam Wignjosoebroto) dengan tujuan untuk
meningkatkan performa kerja dari sistem manusia-produk (mesin). Terdapat
(empat) aturan dasar perancangan yang pertimbangan ergonomis yang perlu diikuti
(Khalil, 1972: hal. 32-35 dalam Wignjosoebroto) yaitu:
1.
Pahami terlebih dahulu bahwa manusia merupakan
fokus utama dari perancangan produk. Hal yang berhubungan dengan struktur
anatomi (fisiologis) tubuh manusia perlu diperhatikan, pun halnya dengan
dimensi ukuran tubuh (antropometris) harus dikumpulkan dan digunakan sebagai
dasar atau standar menentukan bentuk dan ukuran geometris dari produk ataupun
fasilitas kerja yang dirancang.
2.
Menggunakan prinsip-prinsip kinesiology (studi
mengenai gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek ilmu fisika atau kadang
dikenali dengan istilah lain biomechanics) dalam rancangan produk yang
dibuat untuk menghindarkan manusia melakukan gerakan-gerakan kerja yang tidak
sesuai, tidak beraturan, kaku (patah-patah), dan tidak memenuhi persyaratan
efektivitas-efisiensi gerakan (Wells, 1976: hal. 3 dalam Wignjosoebroto).
3.
Masukan kedalam pertimbangan mengenai segala
kelebihan maupun kekurangan (keterbatasan) yang berkaitan dengan kemampuan
fisik yang dimiliki oleh manusia didalam memberikan respons sebagai kriteria-kriteria
yang perlu diperhatikan pengaruhnya dalam proses perancangan produk.
4.
Aplikasikan semua pemahaman yang terkait dengan
aspek psikologik manusia sebagai prinsip-prinsip yang mampu memperbaiki
motivasi, attitude, moral, kepuasan
dan etos kerja.
Standar suatu produk juga menjadi acuan penting dalam
mendesain produk yang memilki prinsip ergonomis yang kuat. Produk yang dibuat
harus berdasarkan standar yang ada disesuaikan dengan data antropometris di
suatu negara karena antropometris satu negara akan berbeda dengan negara
lainnya karena faktor karakteristik individu yang berbeda pula masing-masing
negara. Apabila standar tersebut tidak terpenuhi maka tingkat ergonomisnya
menjadi berkurang sehingga value-nya
di masyarakat juga dapat berkurang.
Peranan budaya dalam
desain produk agar sesuai dengan konsep design fits to the man
juga harus menjadi perhatian. Desain yang mencocokkan dengan kebutuhan manusia
juga menjadi penentu ergonomisnya suatu produk. Sebaliknya bukan orang atau
pemakainya lah yang mem-fit-kan kondisi yang ada di toilet tersebut dengan
kondisi yang memang ia punyai.
BAB III
Analisis
Berdasarkan
pandangan teori Khalil yang berisi empat komponen standar penentuan bahwa suatu
produk akan dibuat, maka poin 1 (satu ) berdasarkan struktur anatomi manusia. Toilet ini tidak bisa dijadikan sebuah
benda yang membuat nyaman pemakainya karena memiliki ukuran yang tidak sesuai
standar. Toilet ini tidak mendukung
konsep poin 1(satu) karena pemakai toilet ini bisa merasakan sakit karena ukuran
tempat dudukannya kecil dan tidak pas dengan ukuran semua umur. Menurut saya,
ini lebih cocok diperuntukkan kepada anak kecil. Apabila kita melakukan buang air dalam durasi yang lama maka lama
kelamaan ini tidak mendukung struktur anatomi kita dan dapat membuat kaki kita
pegal, kesemutan dan tidak lancarnya peredaran darah. Darah hanya terkumpul di
kaku terutama betis karena dijadikan medan tumpuan untuk buang air. Toilet ini juga hanya bisa diperuntukkan bagi
orang normal sehingga orang yang cacat tidak bisa menggunakan toilet ini.
Berdasarkan poin 2 (dua), toilet ini
tidak atau mungkin kurang menggunakan konsep
kinesiology,
yaitu gerakan tubuh manusia ketika memakai suatu produk. Hal ini dapat dilihat
di gambar bahwa toilet ini tidak mendukung pemakainya untuk dapat bergerak
cukup nyaman. Toilet ini membuat pemakainya hanya statis dan kaku ketika
melakukan aktivitas buang air. Bahkan pemakainya harus menambahkan alat
tambahan yang menjadikannya beralih fungsi menjadi toilet jongkok. Dan juga,
tidak tersedianya alat pengguyur otomatis yang biasanya tersedia satu set
dengan toilet tipe duduk. Hal ini kemudian menjadikan toilet ini tidak memenuhi
kepraktisan suatu produk terhadap pengakomodiran gerakan yaitu dengan
meminimalisasi pergerakan manusia. Kita menjadi lebih banyak melakukan
pekerjaan dan usaha yang ekstra apabila mau membersihkan kotoran kita. Ini
sangat bertentangan dengan nilai ergonomis. Benda ini menjadi malfungsi tempat
dudukannya karena tidak dapat disesuaikan dengan ukuran pinggul orang biasanya.
Sebagai tambahan lagi, konsep ini berlaku juga ketika kita mau membersihkan
atau mengguyurkan air ke dalam kloset yang membuat pemakainya harus berpindah
tempat dulu untuk menimba air karena toilet ini juga tidak didukung dengan
konsep air otomatis. Hal ini kemudian membuat pemakainya harus bolak balik,
menggopoh atau menggapai dengan susah payah.
Berdasarkan poin 3 (tiga), kriteria produk haruslah mengatasi atau mengakomodasi keterbatasan fisik manusia dan melihat segi
kelebihan dari manusia tersebut apa yang memang perlu ditambah atau apa yang
perlu dipertahankan dari produk tersebut sehingga cocok dengan kebutuhan fisik
manusia. Toilet ini tidak memenuhi kriteria ini juga karena tidak hanya
mengabaikan sisi kekurangan manusia tapi juga kelebihan manusia. Begitu
susahnya untuk duduk di atas tilet ini membuat pemakainya menambahkan alat
bantu. Hal ini efek dari produsen tidak menimbangkan kekurangan dan kelebihan
fisik manusia. Dalam hal ini, toilet ini seharusnya membuat tempat dudukan yang
fleksibel dan sesuai standar yang dapat dipakai oleh banyak orang. Sesuai
gambar di atas, remaja pun mengalami kesusahan atau kesulitan untuk memakai
toilet di atas karena kecilnya tempat dudukannya. Keterbatasan fisik manusia
yang tidak dapat berdiri jongkok terlalu lama tidak terakomodir di sini. Hal lain yang juga tidak membatasai
keterbatasan fisik manusia adalah tidak adanya alat pengguyur otomatis untuk
membersihkan kotoran tersebut. Hal ini kemudian tidak memenuhi syarat di atas
karena manusia harus memakai gayung untuk mengguyur kotoran.
Berdasarkan poin 4 (empat), pengaplikasian semua pemahaman aspek psikologis individu terkait
dengan produk tersebut apakah dapat memperbaiki motivasi, sikap, dll, tidak
terpenuhi juga oleh toilet ini. Ini merupakan efek penambahan alat oleh orang
dewasa karena desain tempat dudukannya yang terlalu kecil. Hal ini kemudian
membuat pemakainya hanya terbatas anak-anak. Hasil dari pembelian produk adalah
kepuasan konsumen dan sisi kepraktisan serta aksesibilitas yang didapatkan oleh
konsumen dari produk itu. Namun, hal ini tidak didapatkan dari toilet ini,
bahkan penggunaan toilet ini bisa merusak motivasi pemakai karena tiap kali
buang air kecil karena harus memakai kayu pembantu berupa kayu yang suatu saat
juga bisa patah. Hal ini menambah waktu dan tenaga si pemakai dalam melakukan
aktivitas buang air besar, yang seharusnya mereka dapat melakukannya dengan
santai, nyaman, dan bisa bebas bergerak ke samping kanan atau samping kiri. Hal
ini kemudian lama kelamaan dapat merusak mood,
motivasi, dan sisi kenyamanan pemakai.
Berdasarkan standar yang ada di Indonesia ukuran panjang,
lebar, dan tinggi toilet ini tidak sesuai dengan standar yang ada karena jarak
dari lantai hingga ke tempat dudukan rendah. Hal ini dapat membuat kaki kita
tidak nyaman ketika menggunakan toilet ini karena harus menjulurkan kaki
sedikit karena kurang tingginya toilet ini sehingga tidak mengakomodir kaki
orang khususnya kaki orang dewasa yang rata-rata memang panjang. Hal ini
menjadi penting karena standar dari suatu produk wajib diperhatikan karena
mengandung aspek kenyaman dan psikologis pemakainya. Dari ketidaknyamanan akan
menimbulkan perasaan yang tidak baik sehingga dapat mengganggu performa pemakai
ketika memakai produk tersebut.
Berdasarkan prinsip “merancang produk lebih gampang
dibandingkan membuat produk fit dengan orang atau pemakainya” memang terjadi
juga di sini. Saya berasumsi toilet ini memang bukan ala kadar atau mengada-ada
dalam perancangan desainnya namun sepertinya kita dapat melihat bahwa semua
kesalahan fatal telah ditunjukkan oleh rancangan toilet ini. Mulai dari
gangguan aspek fisik, perasaan yang mengarah kepada ketidaknyaman, dll. Hal ini
memang mengarahkan saya kepada, produsen yang membuat ini mungkin memiliki
motif dalam mendesain toilet ini yaitu mereka memang memperuntukkan toilet ini
terbatas untuk anak kecil, tidak untuk orang pada umumnya(dewasa dapat
memakainya). Hal ini terlihat dari semua dimensi ukurannya sangat berbeda
dibanding standar yang ada. Toilet ini terkesan ekslusif dan tidak dapat
kompatibel dengan kebutuhan semua orang dan hanya mengakomodir orang tertentu saja.
Hal ini kemudian dapat dikatakan bahwa sisi ergonomis, kompatibilitas tidak
terpenuhi sama sekali karena alat ini memang sangat tidak cocok digunakan orang
dengan karakterisitik fisik yang lebih besar seperti orang dewasa.
Berdasarkan konsep ergonomis yang
juga mempertimbangkan design
fits to the man bukan man fits to the design. Maksud
pernyataan pertama adalah suatu produk akan dipandang ergonomis, haruslah
memenuhi kriteria desain produk itu sendirilah yang seharusnya di-fit-kan
dengan kondisi pemakainya bukan pemakainya yang harus beradaptasi dengan alat
tersebut sesuai dengan pernyataan kedua. Hal ini kemudian menjadi produk ini,
membuat pemakainya harus melakukan adapatasi terhadap desainnya bukan desainnya
yang diadaptasi dari dia. Di sini sudah terlihat segi praktis, mendukung
keterbatasan manusia sudah tidak diperhatikan karena tempat dudukan serta
ukuran semua dimensi toiletnya tidak didesain untk di-fit-kan dengan kebutuhan
pemakainya.
Berdasarkan sisi budaya di Indonesia yang terbiasa
toilet jongkok mungin juga tetap akan mengalami culture shock jika melihat ada orang yang memakai toilet seperti
ini. Tidak hanya mereka belum terbiasa dengan toilet duduk, namun mereka juga
harus memakai konsep toilet jongkok dalam sebuah produk yang sebenarnya
memiliki konsep toilet duduk. Hal ini kemudian sangat berbeda namun memiliki
sebuah kesamaan dalam hal melakukan aktivitas buang air besar engan cara jongkok.
BAB IV
A.
Rekomendasi Desain
Gambar di
samping adalah gambar toilet yang sesuai dengan standar Barat(American Standart). Toilet ini menurut
saya sangat ergonomis dari segi kepraktisan, ukuran tempat duduk, ramah
lingkungan, dan kehematan biaya. Toilet ini praktis karena telah dilengkapi
dengan tuas otomatis yang berguna mengalirkan air dari bak kloset. Ukuran kloset
ini mempunyai panjang 28,5 cm, lebar
15,5 cm, dan tinggi 28,5 cm. Orang yang mempunyai tinggi 160 cm dapat dengan
nyaman memakainya, Hal ini sesuai dengan standar ergonomis yang dapat membuat
seorang nyaman memakainya. Toilet ini sebenarnya juga dilengkapi dengan selang
tambahan(tidak terdapat di gambar) apabila pemakai mau membasuh bagian tubuh
yang kotor setelah buang kotoran. Selang ini berjarak tidak jauh dari toilet
ini sehingga memang mudah dijangkau dan tidak mebuat pemakainya harus menggapai
dengan susah payah. Selang ini juga dilengkapi dengan pengatur besarnya volume
air yang dilkeluarkan sehingga pemakainya dapat menyesuaikan dengan kebutuhan. Lubang
toilet ini juga cukup dalam dan melengkung yaitu berukuran diameter 5 cm dan
kedalaman 5 cms ehingga efektif membuang kotoran langsung. Sekali basuhan
langsung membuang kotoran ke septic tank.
Ukuran tempat
dudukan toilet ini juga kurang sedikit dari lebar toilet itu yaitu panjang 25
cm dan lebar 13,5 cm. Hal ini dapat mebuat nyaman pemakainya. Bahkan kita dapat
melakukan aktivitas lain selama melakukan aktivitas toilet ini, seperti membaca
koran, majalah, atau bahkan browsing karena kenyamanan tersebut membuat kita
dapat bersantai sejenak di atas toilet tersebut.
Hemat biaya
karena toilet ini memang mengefesiensi banyaknya air yang diperlukan untuk satu
kali basuhan. Menurut keterangan yang saya dapat dari situs resmi penjualan
produk ini, toilet ini dapat menghemat air 20 persen dari toilet biasanya
karena satu air basuhan dengan air yang sedikit dapat membilas dengan efektif.
Sebagai tambahan
toilet ini terbuat dari keramik yang cukup keras sehingga tidak mudah pecah dan
tahan apabila kena sesuatu yang cukup berat. Namun, jangan sampai terkena
terlalu sering karena akan dapat merusak toilet terus menerus. Hal ini efek
kontinuitas dari pengakumulasian paparan benda beras dan keras.
Toilet ini juga
memiliki prinsip katrol yaitu ketika tuas ditarik otomatis air akan keluar dan
mengalirkan ke sisi samping hingga ke tengah bagian dalam toilet tersebut. Bak
toilet ini juga cukup dalam menampung air sehingga tidak terjadi pemborosan air
karena baknya tidak terlalu besar namun ditekankan kepada penekanan air dari
dalam bak yaitu dengan memakai lubang penyaluran yang cukup besa sehingga
ketika tuas ditarik air yang keluar walaupun sedikit tapi sangat mendorong dan
mengalir dengan cepat ke sisi tengah toilet tersebut.
Bentuk samping
toilet tersebut sengaja dibuat melengkung dan tidak mendatar agar pada saat
bagian tersebut dibersihkan tidak meninggalkan sisa kotoran pada bagian
tersebut. Hal ini juga memiliki unsure kepraktisan apabila kita suatu saat
ingin membersihkan bagian samping tersebut. Kita tidak perlu susah menggapai
bagian tersebut karena bagiannya tidak rata atau terlalu simetris yang membuat
pada saat pembersihan bagian samping itu menjadi lama dan menyulitkan.
Daftar Pustaka
Wignjosoebroto, S. (2000). Evaluasi
Ergonomis dalam Proses Perancangan Produk. Tulisan dari Laboratorium Ergonomi &
Perancangan Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri FTI-ITS.
Wignjosoebroto,
Sritomo. (1997). Ergonomic Analysis
for Improving the Design of Spining Process Facility in Textile Traditional
Industry. Proceedings Asean Ergonomics 97: Human Factors Vision – Care for the Future
(Editor: Halimahtun M. Khalid), 6-8 Nopember 1997. Kuala Lumpur: International
Ergonomics Association (IEA) Press.
Helander,
M. (2006). A Guide to Human Factors and
Ergonomics : Second Edition. London:
Taylor and Francis Group.