Senin, 07 Maret 2011

Bocah Pemimpi

Mimpi Bocah


Part I

Di sudut kota yang tidak terlalu ramai, tepatnya di sebuah tangga di sebuah saluran air yang besar Agni duduk merenung dengan posisi bungkuk karena terlalu hanyut dalam lamunannya. Angin semilir di siang hari pun menambah durasi lamunan. Anak perempuan berambut ikal agak pirang ini begitu terpaku melihat air yang begitu tenang di sungai buatan tersebut. Bunyi kereta pun tidak menghentikan lamunannya sedikit pun. Agni memang tinggal di dekat sebuah sungai buatan yang di atasnya sesekali dilewati kereta batu bara satu kali seminggu. Kebetulan hari ini adalah hari Minggu. Kereta batu bara melewati jembatan tersebut setiap jam 10 pagi. Agni tinggal tepat di sudut dekat jembatan. Entah sedang apa yang dipikirkan ia di kala itu, dari gang yang agak sempit beberapa meter dari tempat Agni, Desno menghentikan lamunan Agni. Bertemu dan saling bertatap muka-lah dua anak ini dengan sebuah pembicaraan di bawah garangnya matahari dan hawa panas menusuk kulit. Memang di daerah ini berbeda dengan kebanyakan tempat di negeri ini. Panasnya terlalu menusuk, namun sudah kepalang biasa dengan situasi tersebut, kedua anak manusia ini melanjutkan pembicaraan yang tampak serius dari kejauhan mungkin.


“Apa yang engkau lamunkan? Di hari seterik ini, tak terasakah panas matahari menusuk sampai ke ulu hati?”, kata Desno bernada heran. Desno anak seorang peternak ikan ini, memang sering bermain ke saluran air tersebut dibanding membantu ayahnya beternak ikan di kolam sepetak milik ayahnya yang diwariskan kakeknya kepada ayahnya. Perawakannya tidak berbeda dengan anak seumurnya, namun rambutnya memiliki suatu keistimewaan, kriting seperti brokoli. “ Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa! Kau selalu menggangguku di saat sedang melayang jauh dalam lamunanku.”, celotek Agni. Desno terkejut dengan perkataan Agni yang benada agak marah terhadap dirinya yang membuat ia terdiam sejenak. “ Apa katamu? Kau bilang tadi tidak memikirkan apa-apa, tapi engkau sudah jauh hanyut dalam lamunanmu sendiri. Bocah aneh! Aku ini tidak bego-bego banget Agni. Wong aku orang pinter lagi jenius gini.”, celetuk Desno dengan nada agak sombong sambil mengernyitkan dahi. Desno memang bercita-cita menjadi seorang insyinyur yang kebanyakan dari mereka bisa membuat hal-hal yang luar biasa. Desno memang ingin jadi insyinyur juga tak terlepas dari harapan ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk-angguk saja ketika Desno berkata hal ini pertama kali sewaktu ia duduk di kelas 3 sekolah dasar. Desno anak yang agak urakan, penampilannya tidak terurus dan malas mandi. Jadi insyinyur katamu? Sejak kapan orang kribo pernah jadi insyinyur? Aku tak pernah melihat orang kribo menjadi pembuat pesawat?, tanya Agni. Di pikirannya, seorang insyinyur hanya bertugas membuat segala macam kendaraan-kendaraan yang super canggih. “ Jangan salah sampean, aku itu orang kribo pertama yang akan menjadi insyinyur di dunia!, tegas Desno dengan logat Jawanya. Desno sangat berambisi menjadi insyinyur untuk membuat hidupnya lebih baik dan sejahtera. Ia ingin keluarganya tidak lagi mengurusi sebiji warisan kakeknya itu. Ia sangat ingin membuat bangga ayahnya yang memang lebih suka bekerja di kolam warisan yang bisa dibilang sudah berusia belasan tahun itu. Desno tidak ingat berapa lama kolam itu sudah ada. Namun, satu hal yang pasti, sebelum ia lahir kolam itu sudah ada. Kolam itu diwariskan oleh kakeknya ke ayahnya sewaktu ia berumur 8 bulan. Dan 3 bula setelah itu, kakeknya meninggal karena sakit keras. Ia pun tidak tahu menahu rupa kakeknya seperti apa.

Ayah Desno pernah berkata “Kalau mau jadi insyinyur itu butuh uang yang banyak, Desno. Ayah tidak punya uang untuk menyekolahkanmu tinggi-tinggi. Buat makan saja sudah susah.” Desno masih teringat perkataan ayahnya tersebut. Desno sudah berhenti sekolah sejak 1 tahun yang lalu. Ayahnya tidak punya uang karena gagal panen dan tidak sanggup membiayai Desno untuk bersekolah lagi. Sebuah kenyataan yang ironi bagi anak seumurnya, di saat temannya yang lain masuk sekolah dan menikmati hari-hari bermain dan belajar, Desno tidak. Terkadang rasa sedih itu ada tapi ia bukan anak yng berputus asa. Ia tetap menunjukkan kedewasaannya. Dilihat dari segi umur ia memang belum dewasa, tapi dibalik semua itu ia bisa dikatakan anak dewasa.