Senin, 07 Maret 2011

Pujangga

Pujangga


Malam ini terlalu panjang untuk dilalui dengan nestapa yang bernaung di dalamnya. Bayangkan saja bagaimana seorang pujangga bisa bergalau seperti seekor semut yang tak tahu lubang tempat ia berdiam sendiri? Pujangga yang agak malang melintang dalam meniti kerangka kehidupan yang mau dijalani. Jalan setapak bagai ironi di sebuah padang pasir yang diberi aspal sampai menggelegak 120C. Aspal yang hitam legam dibakar sang surya. Surya begitu bernyali terhadap sang pujangga tak berdaya tak berpedang tak bertameng tak rupawan dan yang lebih jelas lagi pujangga yang sangat rapuh seperti ditelan bumi diinjak sejenis organisme plankton bahkan seatom amoeba. Amoeba saja mampu menutupi pujangga yang terlalu hina sesuai persepsi dan sensasi yang ia buat dengan sendiri bagaikan menceplok telur di panggangan yang tidak bisa memberikan rasa hangat dan kematangan kepada sang telur itik. Padahal, telur tersebut dibutuhkan untuk melengkapi bagian dan seonggok bahan kimia atau atom-atom yang berstruktur yang akan dirasuki dalam kerongkongan yang bermembran tak jelas, berotot seperti seekor elang yang sangat lapar akan mangsanya.


Seperti telinga yang bermembran vestibularnya tak berjalan seperti roda karet, terdengar jeritan hati yang keruh, bimbang, penuh keputus-asaan yang seperti kehilangan soulmate-nya yaitu keseimbangan. Lagi-lagi nestapa apa yang telah merenggut secercah cahaya dalam sorot mata sang pujangga yang ingin memancarkan sinar terpendamnya yang sudah lama bak terendam di dalam lumpur di dasar tanah sebuah jurang yang tak berpasir, hanya penuh kesombongan dari bebatuan yang siap sigap menunjukkan keegoisannya dengan massa strukturalnya yang lebih unggul dibanding kan dengan hanya sepotong daging seekor badak. Sang pujangga berjalan menapaki pasir berair yang tak tahu berapa molekul kimia yang membuat air begitu jernih di matanya. Air yang bersifat dingin, namun bersahabat, adem ayem menyilahkan kaki sang pujanggan untuk menapakinya. Entah terdiri dari berapa molekul yang berstruktur dalihnya. Namun, keikhlasan tetap ditunjukkan dengan menyerahkan punggungnya untuk kaki kotor berdebu dan berbeban dari sang pujangga.

Ia(pujangga) mengelus pundaknya yang kejatuhan buah yang ingin menghampiri si pundak. Pundak yang ia jadikan simbol penguat segala estimasi buat dirinya, yang ia jadikan tempat menopang segala muatan yang berbeban yang selalu dikawini dengan si fisika yang bagi dia seorang disturber dan yang ia tangguhkan untuk keperluan preroregatifnya. Ia tidak hidup di zaman microchips ini. Ia adalah manusia yang selalu mencari esensi kehidupan yang semakin didekati semakin membuat ia condong dan rapuh, dan kembali ke konsep awal yang penuh dengan kegalauan. Terkesan sedikit labil, ia lantas terus mengambil buah yang jatuh yang merelakan diri jatuh ke tanah karena selalu tidak bebas dengan pengatur berat jenisnya yaitu si gravitasi. Ia(buah) mungkin bisa berandai seandainya bisa seperti sang burung yang bisa melawan gravitasi sedikit ia akan melayang seperti pikiran sang pujangga.

Buah yang tak seperti kebanyakan temannya yang berisi. Ia seperti seorang kisut, terlunta-lunta dan tak terawat. Setelah dipandang oleh sang pujangga untuk seberapa kecepatan waktu entah itu perdetik atau malah sepersekian detik yang tidak dipikirkan olehnya dan yang diciptakan oleh kawan sesama manusia yang membuat rules yang ia anggap sebagai penghalang, pemicu, pengkatarsis ketidak bebasannya. Rules yang sangat ia harus terima bahwa ia makhluk Tuhan adalah esensi setiap manusia sepertinya.

Bagaimana mungkin si buah menyapa sang pujangga dengan segala kekakuaan, ketidakberdayaan, kepalsuan status, ketidak harmonisan bentuk, entah apa yang dipersepsi dan diolah di bagian otak sang pujangga mengenai si buah kisut ini. Impuls saraf yang disampaikan mungkin tidak selambat sang masinis membawa kereta kaku, yang selalu menutupi tubuhnya dengan kerangka besi yang lesu, tidak berpigmen, tidak rupawan, dan selalu statis dengan penerimaan keadaan bahwa ia selalu mendapat sebuah perkataan yang lahir dari otot-otot organ mulut manusia yang mempunyai tingkat kedinamisan yang tinggi itu dan selalu diperagakan dan disemena-menakan dengan percobaan serangkaian alat-alat bertampang palsu, yang selalu berdiam, arogan, hanya patuh terhadap stimulus oleh genggaman jejari manusia yang dipenuhi dengan sel darah merah yang mungkin bisa menganak sungai bila di silet dengan ribuan silet. Sang pujangga telah berpendapat, ia melewatkan dan menginjak dengan segala kekosongan sel-sel pikiran yang bekerja namun tak menyampaikan impulnya ke pusat kesadaranya.