Rabu, 20 April 2011

Galau Akademis

Jejejeng. Seperti musik gitar saja yang mengawali cerita yang bersifat retrospektif ini. Semester dua ini saya sendiri mempunyai target yang realistis yaitu mempertahankan Indeks Prestasi atau yang orang pada bilang ipe. Terserah dah orang pada menjuluki si sadis ini apa. Sadis? Kenapa bisa menstigma hal ini sebagai suatu yang sadis? Mungkin bukan sadis. Lebih tepatnya itu, sesuatu yang buper. Jangan sangka juga singkatan ini bujang perawan. G enak juga didenger. Gimana kalau butuh perhatian? Baik kan ya?


IP semester satu kayaknya memberikan sinyal negatif kepada saya agar lebih giat lagi in the next semester. G in the hoy. Itu mah bahasanye orang gaul pade. Kite mah orang pingitan. Walah walah. Back to the topic, sebenarnya saya ingin lebih mendalami bagaimana saya ingin bermimpi sebagai orang dengan predikat cum laude itu seperti apa. Kan banyak banget mahasiswa yang semester satu pada cumlod. Bagi saya sih cumlod dibaca seperti kemelod atau bahasa Indonesia yang baik dan benernye adalah....

A.i. eng. Yo man. Bahasa Indonesianya adalah kemelut. Lagi-lagi label sosial yang tidak baik saya berikan terhadap pencapaian saya sendiri. Mengapa saya menjadi orang yang pesimistis begini? Hoalah, kate Gusdur, gitu aja kok repot. Bener juga ya. Segala hal sebenarnya harus dipandang sebagai suatu hal yang positif. Kayak macam placebo effect-lah. Seharusnya jawaban dari masalah saya atau masalah seorang manusia itu ada pada diri mereka sendiri. Semacam refleksi lah. Atau cermin. Masalah yang didapat lebih banyak disebabakan perbuatan mereka sendiri. Jangalah menyalahkan orang lain. Introsepksi adalah hal yang sangat dianjurkan! *udah kayak dokter saja. Diri kita secara sadar ataupun tidak sadar dapat menuntun kita(menuntun atau mengendalikan semuanya ya tuhan lah ya) dalam mengambil setiap keputusan. Kita inginnya seperti apa, kita dapat menstimulasi otak kita untuk memotivasi agar mendapatkan jawaban dari masalah kita sendiri, mencari penyelesaian yang tepat. Hoalah. Ya sudahlah ini hanya sebagai intermezzo. Lah, intermezzo apaan lagi ntu? *kayak orang yang udah gaul di jakarta lama aje saya.

Nak macam pula kau ini g nyambung pula sama topik di atas. Lah macam mana pula tak jadi orang batak kau? *Logat medan yang saya pelajari dari orang Medan. Not si Poltak Raja Minyak dari Medan. Itu mah. Beuh. Udah jadi orang terkenal. Nak macam pula kita ingin seperti itu. Alah jangan banyak cakap lah jadi ngeliwur gini.

Lama-lama ceritanye kaga jadi-jadi. Yah, kita kan tidak mau seformal biasanya. Nyok kite main informal aje. Biar lebih ngeh sama orang pas dibaca. Saya sebenarnya harus mengejar target ipe dengan usaha yang sangat maksimal di tengah keterbatasan yang ada. Toh, orang yang segala sederhana-lah yang akan menjadi pemenang di akhir pertandingan karena biasanya mereka tidak memandang seberapa kuat tangga penyengga yang menopang mereka sampai ke tujuan yang ingin dicapai namun seberapa bisa ia menatap ke depan terus dan melangkah pasti tanpa menghiraukan tangga tersebut terbuat dari apa. Kalaupun jatuh, ia akan berdiri lagi dan seperti biasa juga harus mempunyai resiliansi yang tinggi. Bagaimana toh? Bicara saya sudah agak bener? Hehe. Trus usaha apa aja yang sudah saya lakukan? Jawabannya, hanya secuil yang baru saya lakukan. Prokrastinasi yang belum terlalu bisa diubah menjadi seorang pejuang tanggguh yang sangat menghargai waktu. Ngetik ini butuh waktu juga kan? Hoalah. Harusnya saya mengalihkan sikap malas dan suka menunda tersebut dengan hal-hal yang awalnya tidak disenangi menjadi hal yang disenangi. Jujur saya bukan tipe orang yang suka membaca. Mungkin saya lebih tertairk kepada hal yang bersifat matematis atau angka yang langsung bisa didapatkan pemecahannya. Nah, inilah yang ingin saya ubah menjadi sebuah kebiasaan. Di psikologi saya sendiri bisa mengubah tingkah laku baru menjadi sebuah kebiasaan dengan konsep yang disebut learning. Learning ini sebenarnya banyak sekali pembagiannya. Dalam konsep learning saja binatang juga bisa diambil sampel.

Lah, ini jadi ngeliwur lagi ke learning. Bagaimana cara terbaik mengubah suatu hal yang tidak menarik menjadi lebih menarik? Saya mungkin adalah tipe orang yang suka bosen. Apalagi pada hal yang itu iu saja. Hidup bagi saya butuh variasi dalam pemenuhannya dan penghiasannya. Tapi kalau soal mencari pasangan hidup kelaknya jangan ampe yang bervariasi-lah. Kasihan wanita. Tersakiti mulu.

Ipe semester kemarin sebenarnya di atas tiga. Namun, hal yang membuat saya miris adalah nilai IPK sekarang g representatif karena kebantu sama MPKT yang super sekali menurut saya. *mirip Mario Teguh. MPKT sangat membantu nilai saya yang lain. *dari tadi kenapa g ngebahas sang pemurah hati  MPKT. Kata temen saya dengan plesetannya. MPKT  Metal Punk Keroncong Terintegrasi. Parah banget kan. La la la. Lanjut gan! *kaskuser. Yah, MPKT yang sebesar itu SKSnya membantu mengcover nilai saya yang kurang bagus. Nilai disamarkan kayak di pelaku-pelaku TKP aje ye.

Sekarang target udah diperbaiki. Dengan segala perencanaan yang matang.* telor setengah mateng bang atu!( kayak lagi di warteg aje ye), setidaknya nilai semeter ini bisa ngeboost biar g terlalu menjadi sebuah stigma yang jelek di kalangan angkatan. Kita harus memperlihatkan dengan segala keterbatasan yang ada kita bisa mampu menjadi the rising star. Ini saya sudah menerapkan defense mechanism. Waduh bahasa mane lagi tuh depens mekanis? From zero to hero. Nah ini apalagi nih? Anak kampung yang bermimpi masuk UI. Bersekolah di sebuah sekolah yang bisa dibilang terletak di pelosok atau pinggiran dan juga sering terjadi banjir. Yang jelas bukan banjir bandang boy! Saya dulunya tidak pernah menyangka akan memasuki universitas ini. Namun, sekarang sudah diterima, malah tidak serius dalam menjalani perkuliahan. Apakah itu yang namanya penargetan yang realistis.