Rabu, 13 April 2011

TEORI FILSAFAT MORAL DALAM CONTOH KASUS PERILAKU INDIVIDU

TEORI FILSAFAT MORAL DALAM CONTOH KASUS PERILAKU INDIVIDU



Berbagai sikap manusia tertera dalam nilai-nilai etika, baik yang berasal dari nilai religius ataupun nilai yang bersifat antropopisme( non religius). Manusia dalam bertindak juga memerlukan berbagai konsep-konsep yang menurut kita dan masyarakat diterima sebagai nilai yang baik. Nilai-nilai ini dapat juga bersumber dari aplikasi filsafat pada masa dahulu( filsafat kuno). Dalam filsafat modern nilai ini terbagi dalam divisi-divisi yang bersumber dari dua hal di atas- yang dianggap baik tersebut-yang kita dapat menerimanya sebagai suatu yang logis dan dapat dikritisi sebagai sebuah modal awal sebuah nilai dalam menetukan apakah nilai itu bermanfaat atau tidaknya terhadap subjeknya yaitu manusia. Alam turut menyumbangkan peranan penting bagi manusia dalam memperoleh nilai yang ada di bumi ini. Bermula dari alam manusia belajar untuk menentukan what, how, why, where, and who yang ingin diungkap. Ketidaktahuan pada awalnya menurut filsafat kuno diakomodir dengan memperhatikan dan mempelajari alam secara arif dan bijaksana. Dalam esai ini akan dibahas berbagai teori filsafat moral yang membahas bebrapa pemikiran tentang moral dan contoh aplikasi yang ada di masyarakat pada saat ini( prospektif) dan yang ada pada masa sebelum masa sekarang (retrospektif).


1. HEDONISME
Pertama, hedonism. Hedone dalam bahasa Yunani yang berarti kesenangan, mempunyai makna secara etimologi bahwa manusia dalam kehidupannya mempunyai tujuan akhir yaitu kesenangan dan menghindari kesedihan, kesakitan, dan hal yang membuatnya menjadi tidak bahagia. Istilah dan teori tentng hedonism dikemukakan oleh Aristippos dari Kyrene ( sekitar 433-355 SM). Namun, kesenangan ini menurut Aritppos sendiri hanya terbatas pada keadaan dan kebutuhan ragawi saja. Tidak merepresentasikan keadaan psikologis sesungguhnya.

Pengaplikasiaannya sangat banyak pada masa saat ini. Baik itu yang bersifat frontal ataupun makna yang baik dalam kehidupan manusia. Contoh kasus pertama yang mau penulis angkat adalah mengenai hedonism yang bersifat frontal yaitu salah satunya tentang “anggota DPR oh anggota DPR uenaknya hidup kalian.” Masalah pencarian kesenangan sendiri memang sudah ada sejak manusia pada masa kecil. Ketika seorang manusia telah mendapatkan sesuatu yang menurut ia menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan akan ia tinggalkan. Dalam kasus ini, mengapa penulis ingin mengangkat the way of life dari para anggota DPR yang cukup universal dan familiar bagi masyarakat Indonesia dengan segala luxury-baca sebagai tersier-red. Kehidupan yang diwarnai dengan berbagai fasilitas yang sangat mewah-bandingkan dengan angka pendapatan rata-rata rakyat Indonesia-tidak sebanding dengan kinerja yang mempunyai skor yang mengecewakan dan tingkat penilaian kekecawaan dari masyarakat. Hasil ini menunjukkan bahwa kesenangan yang bersifat ragawi itu dapat berdampak terhadap kesenangan orang lain. Tingkat kesenangan yang diperoleh para anggota DPR menganggu kesenangan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Mengapa penulis bisa berpendapat seperti ini dan men-jugdg¬e¬ mereka? Anggota DPR dalam hal ini merupakan representasi dari suara rakyat, digaji, dibiayai oleh rakyat, cuma mementingkan keegoisan mereka sendiri tanpa melihat sisi bawah dari masyarakat. Sebagai tambahan, menurut survei yang diliris oleh Indonesian Corruption Watch, lembaga DPR termasuk dalam lembaga yang berkinerja buruk dan termasuk dalam lembaga yang banyak menyelewengkan uang rakyat- bahwa para anggota DPR memegang posisi yang sangat vital sebagai lembaga yang di dalamnya masuk sebagai posisi teratas dalam hal korupsi. Menurut Aristippos, kesenangan itu sendiri memang harus ada sebuah pembatas dan nilai-nilai etika yang dimasukkan ke dalamnya agar tidak terjadi hal seperti pemaparan penulis di atas. Dalam hal ini perlu ditekankan secara radikal dan progresif terhadap pencapaian kesenangan yang lebih bermoral- baca lebih tidak menyakiti kesenangan orang lain( rakyat)- dan lebih bermartabat. Ini termasuk kesenangan yang sia-sia karena hanya mementingkan pencapaian kesenangan atas kekayaan yang diperoleh atas dasar melanggar hak-hak orang lain-rakyat- secara tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini ataraxia biasanya tidak terjadi. Ataraxia adalah sebuah bentuk respon tubuh ditinjau dari sisi psikologis sebagai sesuatu yang menenangkan jiwa-dalam artian yang bijaksana, baik, dan bermartabat- dan mendapatkan sebuah perasaan yang sangat bahagia dalam kehidupan tanpa merugikan kepentingan orang lain.

Kedua, eudonism, yaitu sesuatu hal yang ingin dicapai di dunia ini adalah kebahagian-bukan kesenangan- yang menjadi tujuan akhir dari kehidupannya. Kebahagiaan dalam artian yang partikular bukan berarti hal yang membahagiakan dalam bentuk materi-kekayaan- semata, namun harus disertai dengan penyertaan akal dan rasio sebagai bentuk rasionalitas dalam mencapai tujuan akhir yaitu kebahagiaan tadi. Aristoteles menganggap apabila seorang individu ingin mencapai kebahagiaan yang hakiki tersebut mempunyai banyak aspek pertimbangan dalam pencapaiaan. Dalam hal ini ditekankan bagaimana bahagia sebagai manusia yang dapat menjalankan perannya sesuai dengan funsi dirinya baik secara harfiah atau biologis maupun secara sosiologis. Sosiologis di sini adalah bagaimana ia berperan serta aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan berinteraksi dengan wajar dan diterima di masyarakat sebagai seorang individu yang bermartabat. Kekayaan juga dapat memberikan suatu prestise tertentu dalam hal mendapatkan prestise tertentu dalam masyarakat. Terkadang ada individu yang ingin mendapatkan kekayaan agar ia diterima sebagai suatu yang fungsional dalam tatanan masyarakat. Contoh kasus eudonism, salah satunya adalah seorang guru yang mengabdi bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Bagi dia anak-anak tersebut walaupun mereka dalam keadaan berketerbatasan merka tetap membutuhkan sokongan bantuan dan pendidikan. Di sini guru ini tergerak hatinya untuk mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk mengajar anak-anak tersebut. Bukan materi yang ingin ia dapatkan namun ia lebih mengutamakan bagaimana ia bisa berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini mengacu terhadap teori eudonism di atas. Keteguhan diri sang guru tersebut mampu meruntuhkan keinginan mencapai kekayaan yang bersifat materi, ia sadar ada kebahagiaan yang lebih hakiki dibanding “kesenangan” bermateri kekayaan yaitu kebahagiaan dapat menjadi seorang yang esensial di antara anak-anak yang berkebutuhan khusus dalam memberikan pendidikan yang setara dengan anak- anak biasa.

3. DEONTOLOGI
Ketiga, deontology, yaitu keadaan di mana seorang individu bertindak berdasarkan maksud di pelaku dalam melakukan hal tersebut(tindakan). Deontologi menurut Immanuel Kant-penemu teori ini- yaitu, sesuatu perbuatan akan bermakna baik jika dilandasai dengan kehendak yang baik. Dalam teorinya ini, ia menuliskan bahwa yang kehendak baik dimaknai apabila seorang individu akan melaksanakan sebuah kewajiban. Kehendak yang baik atas kewajiban inilah yang dipandang sebagai sesuatu hal yang baik. Sebagaimana kasus pejabat DPR yang melakukan banyak penyelewengan dana negara-yang sudah kita ketahui bersama dan menjadi rahasia umum- melakukan perbuatan tersebut hanya didasarkan pandangan subyektifnya. Makna subyektif tersebut, “mereka” melakukanhal tersebut karena menurut mereka wataknya memang seperti itu atau bawaan dari “sana”(lahir). Ditinjau dari segi deontologi, mereka tidak melakukan sesuatu yang menjadi kewajibannya, malah melakukan di luar haknya sebagai anggota DPR. Contoh konkret yang lebih jelas, salah satunya yaitu, ketika seorang warga negara harus membayar pajak yang menjadi kewajiban tiap warga negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan konsep deontologi bahwa warga negara membayar sejumlah uang negara-pajak- karena memang sudah menjadi sebuah kewajiban. Mereka melakukan pembayaran tersebut disertai dengan kehendak yang baik-sesuai dengan kewajiban- tersebut. Apabila seorang warga negara tidak membayar pajak maka ia akan mendapatkan sanksi dari negara. Kant menyebutnya sebagai legalitas karena ada norma huku yang berperan di sini.

Contoh kasus lainnya yaitu seorang anak harus menjalankan posisi sebagai seorang anak yang harus patuh terhadap kedua orang tuanya. Patuh dengan cara melaksanakan semua arahan dan nasehat yang diberi oleh orang tuanya. Ia di sini telah melakukan kewajiban yang memang menjadi hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi sebagai seorang anak kepada oran tuanya. Ia berkehendak secara implisit dalam perbuatannya tersimpan nasehat serta arahan tersebut. Denga kata lain, ia melakukan kehendak sesuai kewajibannya yang menurut Kant sesuai dengan konsep deontologinya.





DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2007. Etika: seri filsafat Atma Jaya. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Pengutipan dari kompas.co.id