Kamis, 12 April 2012



TUGAS MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
  DISUSUN OLEH :
M. FAJRI/ 1006689076


FAKTOR EKSTERNAL(KELUARGA) yang MEMPENGARUHI PENDIDIKAN ANAK


Orang tua adalah aktor dan aktris dibalik kehidupan anaknya. Orang tua diharapkan dapat mendidik anak secara benar agar dapat diterima di lingkungan secara baik. Orang tua mempersiapkan anak-anaknya dalam hal kebutuhan fisik, ekonomi, dan situasi psikososial yang akan membuat mereka survive dan dapat berkebutuhan yang cukup(Pew Charitable Trust, 1996). Anak-anak juga bergantung kepada orang tuanya dalam hal yang sangat esensial dalam hidup ini, seperti makanan, pakaian, kesehatan, pengasuhan yang baik, dan cinta.
Orang tua dapat membantu anaknya dalam membentuk tingkah laku baik, percaya terhadap dirinya sendiri, dan kemampuan/skill dalam hal menghadapi tantangan zaman. Dalam hal ini bisa dikatakan, orang tua dituntut lebih responsif terhadap anak-anaknya.
Banyak orang yang menganggap menjadi orang tua adalah hal yang menyenangkan namun di sisi lain apakah mereka siap dalam hal melakukan parenting yang efektif dan tepat sasaran? Parenting yang efektif membutuhkan tenaga dan waktu yang signifikan dan berkelanjutan dan di sisi lain parenting yang tidak efektif akan menyebabkan masalah pada perilaku anak pada masa awal kehidupannya (Swick dan Graves, 1993).
Studi tahun 1993 oleh Rosenberg mendemonstrasikan efek dari neighbourhood pada academic dan vocational achievement dengan membandingkan pencapaian anak dalam 2 grup keluarga yang meninggalkan sebuah kota yang di dalamnya terdapat banyak kekerasan, kemudian kondisi kehidupan mereka menjadi lebih baik karena jauh dari kekerasan tersebut. Ini menunjukkan peran keluarga dalam mengidentifikasi kebutuhan anak. Apabila anak terus hidup dan terstimulasi dalam kekerasan maka bukan tidak mungkin anak tersebut juga akan menunjukkan perilaku yang tidak baik pula.





A.    ORANG TUA SEBAGAI ROLE MODEL BAGI ANAKNYA

Keluarga dalam hal ini orang tua akan lebih mudah menstimulasi anaknya dengan cara yang positif jika di lingkungannya juga menanamkan value yang juga positif. Anak-anak yang tinggal dalam keluarga yang orang tuanya memperlihatkan perilaku kekerasan dan cenderung negatif akan berdampak kepada kepribadian anak. Mereka akan cenderung menjadi pribadi yang negatif pula karena hal di atas. Secara personal, mereka akan dikorbankan oleh orang tuanya karena mereka tidak punya role model yang baik/positif untuk ditiru/modelling karena anak-anak akan lebih cenderung meniru tingkah laku orang di sekitarnya(Bandura, 2007). Hal ini dikarenakan orang tua sebagai sosialisasi primer atau awal seorang anak. Istilah ini biasa disebut agent of change. Apabila orang tua yang dijadikan role model dalam keseharian anak tersebut bersikap negatif maka anak tersebut juga akan dibentuk menjadi pribadi yang negatif karena mereka terstimulasi oleh orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tua dan seharusnya orang tua dapat menjadi role model yang baik bagi anaknya.
Construction self oleh seorang anak dibentuk dari kejadian sehari-hari yang diperlihatkan dan disokong atau di-trigger oleh anggota keluarganya. Dapat dikatakan bahwa anggota keluarga baik orang tua dan anggota keluarga yang lain dapat mempengaruhi bagaimana seorang anak mengkonstruksi dirinya sendiri (Miller, Potts, Fung, Hogstra & Mintz, 1990). Orang tua dan anggota keluarga yang membantu anak-anak dengan cara yang baik maka anak tersebut bisa mengkonstruk dirinya sebagai seorang yang baik pula.
Kegagalan orang tua dalam memahami seperti bagaimana agar menjadi role model yang baik bagi anak adalah salah satu pembentuk pribadi yang tidak baik bagi anak. Kebanyakan orang tua hanya memahami cara mendidik anak secara teoritik namun tidak mampu mengaplikasikan cara yang benar, tepat, dan komprehensif. Dalam hal ini orang tua dituntut mengajarkan dan memperlihatkan nilai-nilai yang baik terhadap anak-anaknya.
Orang tua juga harus memperhatikan “bagaimana cara menanggapi/merespon anak.” Hal ini memungkinkan anak untuk dapat perhatian yang cukup intensif dalam masa perkembangannya dalam hal pendidikan. Orang tua harus tepat sasaran dalam menggunakan cara yang baik agar anak tersebut mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan orang sekitarnya. Semuanya dijembatani dengan komunikasi.
Komunikasi yang baik akan meningkatkan hubungan yang baik antara anak dan orang tua. Pada zaman sekarang banyak komunikasi antara anak dan orang tua menjadi tidak baik. Hal ini terkait dengan budaya, pengaaran di masa kecil, dan lingkungan.
Orang tua dapat menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Hal ini termasuk penting dalam proses mendidik anak karena komunikasi yang terjalin secara baik antara anak dan orang tuanya dapat menambah rasa kedekatan antara mereka. Dalam buku, “Menjadi Orang Tua yang Efektif (MOE) dalam Praktek,” disebutkan ada beberapa macam cara mendengar yang dapat diterapkan oleh orang tua dalam hal menjadi “konselor” bagi anaknya. Pertama, mendengar pasif. Mendengar secara pasif ditandai dengan anggukan, deheman, dan semacam itu apabila anak mengutarakan masalahnya kepada orang tua. Dalam hal ini anak diberi wewenang secara terbuka untuk menceritakan masalahnya baik di dalam diri anak tersebut ataupun masalahnya dengan lingkungan seperti konflik dengan teman, konflik di sekolah ataupun konflik dengan teman sepermainan. Kedua, tanggapan mengiyakan(acknowledge response). Anak akan bingung kalau orang tuanya hanya mengangguk ataupun mendehem saja, anak butuh tanggapan verbal dari orang tuanya sebagai bentuk rasa kepedulian yang ia rasakan dari orang tuanya. Ketiga, pengajakan terhadap keterbukaan anak untuk mengutarakan masalah. Anak kadangkala tidak akan mau menceritakan permasalahan kalau orang tua tidak memberikan “umpan” atau bisa disebut pertanyaan. Apakah itu masalah akademisnya ataupun masalah lainnya, orang tua di sini juga harus memberikan hal tersebut agar anak mau lebih terbuka karena orang tua-lah fasilitator seorang anak ketika dalam keadaan bermasalah. Keempat, mendengar aktif. Metode mendengar aktif banyak diterapkan oleh orang tua pada zaman sekarang. Mendengar aktif dapat membuat suasana hati anak yang mungkin sedang mengalami masalah dapat menjadi lebih baik ketika orang tuanya tidak hanya mendengar, mengiyakan, dan bertanya, tapi juga memahami keadaan anak secara keseluruhan baik dari sudut padang anak maupun dari sudut pandang orang tua. Anak akan merasa lebih aman ketika orang tua dapat memahami apa yang benar-benar mereka rasakan ketika mengahdapi suatu masalah. Mereka tidak merasa menghadapi masalah itu sendirian tanpa ada bantuan dari siapapun. Dengan metode mendengar secara aktif, orang tua dapat mengakomodir apa kebutuhan anak ktika dia sedang dalam masalah.
Apabila semua komunikasi antara anak dan orang tua lancar, maka anak tidak akan merasa orang tua bersikap tidak peduli, tidak baik, dan tidak mau mendengarkan keluhan si anak tersebut. Orang tua yang baik tahu bagaimana mengakomodir segala sesuatu yang dibutuhkan anak. Namun, semua ini bisa tercapai apabila orang tua mempunyai kapabilitas sebagai role model yang baik bagi anak-anaknya. Hubungan antara anak yang responsif dengan orang tua yang juga sangat mendukung anak baik dalam hal akademis maupun non akademis sangat erat( Smith, Perou, Lescene, 2006). Anak yang orang tuanya sangat mendukung dalam berbagai hal bagi proses pendidikan maupun non pendidikan si anak maka anak tersebut dapat berkembang menjadi anak yang responsif terhadap orang lain. Anak akan meniru sikap orang tuanya tersebut karena adanya proses modelling.
Hal diatas juga didukung oleh Dix(1991, in Grasec, Kuczynski) yang menyebutkan bahwa orang tua yang secara sosial kompeten, maka anaknya akan cenderung lebih responsif, lebih bisa mengekspresikan kehangatan dan rasa kasih sayang, memberi alasan dan berkomunikasi secara terbuka, membuat keputusan yang tepat dalam tingkah laku yang dewasa, lebih bisa membangun dan menjalankan peraturan yang ketat dan konsisten, menghindarkan kesewenang-wenangan, keketatan, dan kontrol hukuman. Di sini bisa lihat bahwa orang tua tersebut mempunyai peranan penting dalam pembetukan kepribadian anak karena sosialisasi awal anak adalah di lingkungan keluarga atau lingkungan intinya di aman ia tinggal dan berteduh, makan, mendapat pengasuhan dan pendidikan.
Peran vital orang tua sebagai role model yang baik harus dilaksanakan secara konsisten. Anak juga akan ikut-ikutan malas dan kasar jika orang tuanya juga memperlihatkan hal seperti itu. Apa yang diperlihatkan dalam keseharian orang tuanya itulah yang biasanya ditiru dan menjadi model oleh sang anak. Jadi, bagi para orang tua sangat diharapkan bahwa memberi contoh yang baik harus dilaksanakan secara kontinu agar penerus kita juga dapat pengajaran akan nilai-nilai yang positif.
Pengajaran akan nilai-nilai yang positif akan berguna nantinya ketika anak-anak terjun ke masyarakat. Apabila anak sudah mendapatkan pengajaran yang konsisten dan positif, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang disiplin dan dapat berkontribusi bagi orang banyak. Ia belajar bagaimana menghargai orang lain, berkomunikasi dengan baik, dan berelasi dengan orang lain. Apabila seorang anak tidak diterima di lingkungannya itu juga bisa menjadi permasalahan yang signifikan bagi orang tua. Apakah pengajaran yang diberikan selama ini cukup efektif dalam membentuk jiwa yang sosial terhadap orang lain, dan berbuat baik terhadap sesama manusia. Ketika seorang anak menjadi orang yang tidak diterima di lingkungan ini akan berdampak pada emosi, tingkah laku, dan pendidikan si anak. Banyak penelitian yang menunjukkan ketika orang tua tidak bisa menghadirkan anaknya di lingkungan masyarakat maka anak tersebut bisa negatif secara personal dan memungkinkan menimbulkan agresivitas karena ia terus melakukan segala sesuatu tanpa orang lain yang menyokongnya dari lingkungan luar. Anak akan belajar bahwa orang lain tidak berguna dan terkesan tidak mempedulikan si anak tersebut. Ini akan berdampak pada emosi sang anak. Dia bisa terganggu secara emosi karena kurangnya kehangatan dari lingkungan luar ketika ia ingin mendapatkan itu, ia justru tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, orang tua bertugas untuk membantu anak dalam bersosialisasi dengan lingkungan luar. Orang tua bisa menanamkan nilai bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain dan individulisme merupakan hal yang negatif dan berdampak buruk terhadap penilaian lingkungan luar(orang lain) kepada si anak.

B. MENGUBAH  TINGKAH LAKU ANAK DENGAN KONSEP     BEHAVIORISME

Bagaimana jika anak tidak mau menuruti perkataan orang tua? Hal ini sering menjadi kendala para orang tua ketika anak mereka tidak menuruti apa yang mereka perintahkan dan apa yang orang tua harapkan dari anak tersebut. Beberapa cara untuk mengubah dan mendidik anak dengan cara behaviorisme. Aliran ini berhubungan dengan bagaimana manusia dapat mengubah tingkah lakunya.
Berdasarkan penelitian Pavlov tentang clasical conditioning, orang tua dapat menanamkan nilai yang yang diinginkan dengan memasangkan stimulus yang diinginkan oleh si anak. Sebagai contoh bila orang tua ingin anaknya menuruti kata-kata orang tua, anak  tersebut diberi suatu stimulus yang diinginkannya seperti makanan, permen, ataupun mainan. Jadi, akibat adanya pengasosiasian tersebut, anak belajar untuk memasangkan stimulus yang datang(makanan, permen, atau mainan dari orang tua) dengan perilaku yang diharapkan.
Lain lagi apa yang diterapkan dengan Borchuss Friedrich Skinner. Skinner dengan Instrumental atau Operant Conditioning-nya menerapkan sistem reinforcement dan punishment kepada anak untuk memperkuat perilaku yang ingin diubah oleh si orang tua. Sebagai contoh, ketika anak malas dalam mengerjakan pekerjaan rumah(yang diberikan oleh guru di sekolah), orang tua dapat menerapkan baik reinforcement ataupun punishment.
Dari segi reinforcement, orang tua dapat memberikan reward kepada si anak untuk memperkuat perilaku yang diinginkan dan ingin diubah oleh orang tua tersebut, yatu dari malas menjadi mau mengerjakan PR, dan dengan adanya reward tersebut diharapkan anak dapat menjadi lebih termotivasi mengerjakan PR tersebut. Di sini anak belajar, ketika mereka rajin mereka akan dapat ganjaran berupa reward dan hal yang mereka senangi ditambah. Sebagai contoh, Susi pada awalnya malas mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh gurunya. Namun, ketika ayahnya menjanjikan pergi tamasya ke taman bermain apabila ia mau mengerjakan PR-nya secara kontinu dan mendapat nilai yang bagus, Susi menjadi termotivasi dengan hal tersebut. Kemudian, ia membayangkan ia akan pergi tamasya ke taman ria apabila ia mampu memenuhi target yang diberikan oleh orang tuanya. Susi kemudian bisa menjadi anak yang rajin, dengan prinsip reward tersebut.
Dari segi punishment, orang tua dapat mengubah malas mengerjakan pekerjaan rumah tersebut dengan mencabut stimulus yang menyenangkan dari si anak. Dengan dicabutnya stimulus yang diinginkan si anak, anak dapat belajar bahwa malas tersebut merupakan hal yang tidak boleh dilakukan dan akan membuat orang tua mereka marah. Dan orang tua juga dapat menambah stimulus yang tidak menyenangkan kepada anak jika malas. Sebagai contoh, ketika Andi malas mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh gurunya, ia akan kena marah oleh orang tuanya dan mendapat kata-kata yang tidak mengenakkan dari orang tuanya. Di sini, stimulus yang tidak diinginkan dan ditambah adalah kena marah dan kata-kata yang tidak mengenakkan dari orang tuanya. Jadi, Andi belajar untuk tidak malas agar ia tidak kena marah dan tidak mendapat perkataan yang mungkin kasar dari orang tuanya.

  1. PARENTING SEBAGAI EMOTIONAL DAN COGNITIVE PROCESS
“Parenting is an emotional experience, at turn joyous and frustating; and how parents regulate and express their affect is critical for their capacity to care for their children”(Dix, 1991 in Grasec, Kuczynski, 1997). Menjadi orang tua bisa dikatakan susah gampang. Ada kalanya para orang tua mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan dalam mendidik dan mengasuh anak. Namun,semua bisa jadi buruk bila pendidikannya salah kaprah dan tidak memenuhi kriteria pendidikan yang baik. Adanya peran emosi di sini bertujuan agar pendidikan yang ditujukan ke anak dapat tersampaikan secara baik kepada anaknya. Bagaimanapun, secara emosional, kedekatan antara anak dan orang tua adalah kedekatan lahir dan batin karena mereka sejatinya tidak dapat dipisahkan. Kedekatan antara anak dan orang tua dapat membuat proses pembelajaran dan pendidikan si anak, dapat mendukung si anak nantinya.
“Cognition plays a central role in parenting; to be responsive to their children, parents must accurately perceive their needs and know how to respon to them, and reasonable dicipline requires parent to understand children’s capacities, have appropriate development expectations, and make appropriate contributions to their behavior”(Croutter and Head, in Vol 3 of Grasec, Kuczynski, 1997). Pernyataan di atas menekankan pentingnya proses kognisi dalam menerjemahkan dan menginterpretasikan apa kebutuhan anak sebenarnya. Apa-apa saja yang perlu diakomodir oleh orang tua membutuhkan interpretasi yang tepat. Pendisiplinan yang masuk akal dan dapat diterima oleh anak dengan baik membutuhkan pemahaman orang tua akan kemampuan anaknya serta menggunakan konsep perkembangan agar tidak terkesan adanya pemaksaan dalam melakukan pendekatan dalam mendidik anak. Misalnya, orang tua memarahi anak 3 tahun dengan menghardiknya karena sering menangis dan buang air kecil di celana. Cara ini tergolong negatif, karena anak dengan rentang umur itu, belum bisa memahami bagaimana cara yang benar. Pendekatan cara isyarat dengan tangan seperti menunjuk dan eskpresi wajah yang agak datar yang menandakan tidak boleh buang air dan menangis mungkin lebih tepat digunakan bila dihubungkan dengan konsep perkembangan anak. Perlunya kognisi orang tua dalam memahami pendidikan yang tepat menjadi kunci penting perkembangan pendidikan ataupun perkembangan sosialnya.
Bisa dikatakan, kognisi dan emosi yang benar dari orang tua dalam memahami anak-anaknya dapat membantu anak dalam perkembangannya agar tidak menjadi anak yang terkesan negatif. Orang tua dapat secara benar mendidik tepat guna anaknya agar dapat menjadi anak yang bermanfat tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi lingkungannya.


KESIMPULAN

Orang tua yang baik adalah orang tua yang tidak hanya berperan di dalam diri sang anak tapi juga di luar diri sang anak. Tugas yang esensial dari para orang tua adalah dapat menjadi role model yang baik serta positif bagi anak-anaknya karena anak-anak akan cenderung lebih meniru apa yang diperlihatkan dan diekspresikan oleh orang tuannya. Peran orang tua juga sangat berpengaruh kepada pembentukan kepribadian sang anak. Orang tua yang baik memungkinkan anaknya juga akan menjadi orang yang baik apabila dilakukan pengajaran nilai-nilai yang konsisten, terarah, dan positif.


REFERENSI
Grasec, J. F., Kuczynski, L. (1997). Parenting and Children’s Internalization of Values: A Handbook of Contemporary Theory. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Sands, J. G. (1996). MOE Menjadi Orang Tua Efektif dalam Praktek (P.E.T. Parent Effectiveness Training). ed by: Alex Tri Kantjro Widodo. Jakarta : Gramedia Pustaka.
Dodson, F. (2006). Mendisiplinkan Anak dengan Kasih Sayang. ed by: Nanny Ekosari. Jakarta: Gunung Mulia.
Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology: Fifth Edition. New York: Mc Graw Hill.
Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human Development: Eleventh Edition. New York: Mc Graw Hill.
King, L. A. (2011). The Science of Psychology: An Appreciative View. New York: Mc Graw Hill.
Bornstein, M. H. (2006). Handbook of Parenting:Second Edition Volume 4 Social Conditions and Applied Parenting. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.