Rabu, 09 Mei 2012

Kesalahan Konsep Sejarah Progresif Unilinear



oleh Tirta Firdaus pada tanggal 15 Februari 2012
    Tulisan ini berawal dalam pikiran saat meembaca The Miracle of Qur’an karya Caner Taslaman bab Kesalahan Konsep Sejarah Progresif Unilinear. Ketika itu saya terpesona dengan pemikiran beliau dalam buku tersebut, namun saya tidak memiliki keinginan untuk menuliskannya. Namun ketika saya mendengar beberapa dosen berkata tentang suatu pemikiran yang berkaitan dengan paham sejarah unilinear progresif, keinginan tersebut mulai muncul dan jadilah karya yang akan anda baca ini. Banyak kekurangan dalam karya ini (entah mungkin bersifat insulting karena skill saya yang belum mumpuni atau yang lain), maka saya mengharapkan diskusi dan barter ilmu dari Anda demi sempurnanya ikhtiar pada jalan kebenaran.

Kesalahan Progresif Unilinear  
     “Bagaimana dengan manusia berbulu di zaman dahulu?”,”Sebelum monoteisme, manusia menyembah alam karena ketakutan dari gejala-gejala (alam) yang ada”. Seperti itulah kira-kira kalimat beberapa dosen yang mengajar pada beberapa mata kuliah. Walau masih ada (perkataan) yang lain, namun saya lupa detail perkataan lain tersebut. Lalu coba kita pahami pada kalimat kedua yang saya beri tanda kutip di atas, kalimat tersebut dilanjutkan oleh dosen saya dengan kalimat lain yang mirip maknanya sebagaimana berikut,”Manusia menciptakan Tuhan, karena bila manusia tidak ada maka Tuhan tidak ada”(manusia sebagai pusat dari segala sesuatu). Mungkin kalimat ini bermakna konotatif, yang dapat diartikan,”bila manusia tidak ada, maka tidak akan ada konsep ketuhanan sebagaimana yang dipahami manusia sekarang ini”. Namun, kalimat tersebut juga dapat ditafsirkan secara langsung sehingga berimplikasi pada penyangkalan tentang Tuhan. Hal ini, tentu saja berbahaya bagi kebenaran. Karena bila manusia tidak ada, Tuhan tetap ada dengan segala ke-Maha-anNya. Dan bila Dia berkehendak, eksistensi manusia dihapus dalam sejarah alam semesta dan diganti dengan makhluk lain. Hal itu mudah bagiNya. Terdengar teosentris, namun permasalahan bukan terletak pada teosentrisme-humanistik melainkan terletak pada kebenaran dan penyampaian yang berpotensi dibelokkan dari yang lurus.
     Kembali ke topik utama, berkaitan dengan paham progresif unilinear yang menyatakan bahwa sejarah dalam periode-periodenya berjalan satu arah (maju, berkembang, yang lalu < yang sekarang). Paham ini bermula saat Georg Wilhelm Friederich Hegel yang menafsirkan sejarah sebagai sistem lurus (linear) dan evolusioner. Sehingga berkesinambungan dan unilinear. Perkembangan unilinear memang terjadi pada periode tertentu (contoh : abad 16 sampai sekarang). Namun menggunakan paham ini untuk melihat hal yang terjadi dalam hitungan millennium-milenium atau abad-abad sebelum Masehi, atau untuk melihat gambar besar sejarah manusia adalah suatu kesalahan. Ketika menemukan thesis tentang paham progresif unilinear ini, sepertinya Hegel sedang terkesima dengan perkembangan sains saat itu.
Saat ini banyak buku-buku yang menggunakan paham progresif unilinear sebagai suatu ilmu panutan/basis. Sedangkan bukti ilmiah tentang paham ini, yang mengimplikasikan bahwa leluhur manusia adalah makhluk primitif sebagaimana yang digambarkan dalam buku antropologi, bisa dikatakan tidak ada. Friederich Engels, salah satu pendiri komunisme bersama Karl Marx yang mengambil paham ini pada posisi penting dalam ideologinya, mengakui hal tersebut dengan mula anggapannya yang menyatakan manusia terjadi secara kebetulan, periode-periode sejarah harus diterima. Penggambaran manusia sebagai makhluk primitif yang benar-benar primitif hanya akan menjadi laporan fiktif. Begitu juga dengan gagasan bahwa manusia pada awalnya mencari makanan dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan, gagasan ini dicetuskan karena menganggap benar bahwa sejarah bersifat progresif unilinear (ingat, mengumpulkan dan berburu adalah cara ‘pengambilan’ pangan paling sederhana). Begitu juga dengan periode yang diklasifikasi menjadi Stone Age, Bronze Age dan sebagainya, tak berbukti ilmiah (tentang ini direkomendasikan untuk membaca karya HarunYahya, A Historical Lie : the Stone Age. Istanbul : Global Publishing 2006Pandangan beliau terhadap permasalahan ini cukup menarik untuk dibaca dan dibahas).
     Berdasarkan konsep paham sejarah ini, masa lalu lebih primitif dan lebih terbelakang dengan masa sekarang. Lalu bagaimana dengan piramida Cheops di Giza yang memiliki volume berkisar 2.515.000 m3, tinggi 147 m dan garis alas 230 m? Hal ini membutuhkan penggalian dan pemotongan sekitar enam juta buah batu, ditransportasikan, dikumpulkan dan diletakkan dengan cara yang luar biasa. Begitu juga dengan akupuntur di Cina yang berawal sejak lebih dari 4500 tahun yang lalu. Akupuntur adalah hasil pengetahuan menyeluruh tentang  sistem saraf tubuh manusia dan peredaran listrik dalam tubuh. Dengan kata lain, orang Cina dahulu sangat hebat dalam anatomi melebihi generasi-generasi berikutnya. Dan juga, bagaimana dengan bendungan negeri Saba’? Atau penemuan Nicholas Clapp tentang reruntuhan dan pilar-pilar tempat tinggal kaum ‘Ad, kota Iram? Perbedaan besar antarkomunitas pada zaman tertentu, ketiadaaan komunikasi yang memadai dan alasan-alasan yang menghambat perkembangan politik dan budaya, tidak memungkinkan perkembangan secara serempak diseluruh dunia. Hal ini (kemajuan berbagai kaum pada waktu ‘purba’) tidak mengherankan bagi yang menyadari kesalahan paham progresif unilinear dan membaca Q.S. Ar-Rum : 9 yang menyebutkan bahwa manusia zaman dahulu telah membuat karya-karya berkualitas.

     Lalu saya pribadi bertanya,”Bagaimana tentang bukti tulang-tulang manusia purba yang telah ditemukan, misalkan tulang gigi yang setelahnya diumumkan fungsinya? Bukankah itu menunjukkan hal yang mendukung paham progresif unilinear?”,”Dan bagaimana dengan bukti-bukti faal lainnya, seperti bagian usus buntu atau spesies kadal-ular berkaki?” Dalam karyanya, Caner Taslaman tidak membahas hal tersebut. Namun bisa jadi, ilmu yang dijadikan basis untuk mengungkapkan hal seperti itu (contohnya sebagaimana pernyataan : gigi orang ‘purba’ masih berbentuk seperti x, jadi orang zaman dahulu pemakan y dengan cara pengambilan pangan z // usus buntu tidak memiliki guna bagi manusia, jadi benda tersebut merupakan bukti evolusi manusia a.k.a peninggalan leluhur)  juga adalah paham progresif unilinear. Alhasil, jadilah pemahaman sebagaimana yang kita pahami sekarang ini. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut dapat memiliki esensi berbeda jika basis yang kita gunakan diganti. Dan mungkin itulah yang lebih benar. Manakah yang benar, paham ini atau sebagaimana unilinear? Atau ada konsep lain yang lebih benar? Wallahu a’lam. Yang jelas, Al Quran adalah yang benar (bukti kebenaran Al Quran tidak dijelaskan dalam karya ini – red.).

Positivisme dan Agama
     Agama menjadi korban dari paham progresif unilinear. Auguste Comte yang membagi sejarah menjadi fase-fase terpisah, yakin bahwa umat manusia akan berakhir pada sistem filofofis positivism. Comte berpendapat bahwa tahap awal dari fase teologis adalah fetisisme, kemudian diikuti politeisme dan setelahnya monoteisme. Dalam fase akhir yang disebut sebagai “positif”, dia menyatakan bahwa sains mengambil alih agama. Argumen ini dia gunakan untuk menangkis segala agama dan sistem filosofis yang muncul sebelum sistem filosofisnya sendiri. Sementara sistem lain adalah “serangkaian fase sejarah yang primitif”, sistemnya sendiri adalah “fase akhir yang paling sempurna”. Upaya Comte yang menunjukkan bahwa agama monoteistik hanyalah fase persinggahan dalam rangkaian periode historis sama sekali tidak didasari bukti  dan temuan ilmiah.  Bukti menyatakan sebaliknya, prasasti Elba yang dibuat 3000 BCE dan ditemukan pada tahun 1975 berisi jejak monoteistik. Didalamnya ditemukan nama Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Ismail, Mikail, Daud yang disebutkan sebagaimana Al Quran, Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama menyebutkannya….membuktikan bahwa agama monoteistik selalu ada. Dan setiap umat (mempunyai) rasul ~ Q.S. Yunus : 47~.
     Mereka yang gagal membuat klasifikasi sejarah agama-agama, berhadapan dengan temuan arkeologis, telah mengajukan pemikiran seperti ini,”Mari kita temukan komunitas paling primitif, karena agama tertua pastilah agama mereka, dan karena komunitas ini pasti mempertahankan tradisinya”. Sebagian pendukung pemikiran seperti ini mengambil suku yang menyembah fenomena alam sebagai komunitas paling primitif di bumi dan agamanya sebagai yang paling kuno. Dengan mengambil suku pigmi berkeyakinan monoteistik, mereka berpendapat bahwa agama primitif adalah agama monoteistik…dan pemikiran semacam ini akan mengarah pada berbagai macam kesimpulan.
     Menurut Andrew Lang dan P.W. Schmidt, kebanyakan agama dunia hanyalah versi menyimpang dari monoteistik. Penuhanan kekuatan alam tidaklah relevan, karena agar kekuatan alam itu dapat dijadikan tuham, masyarakat tersebut harus sudah mengenal “Tuhan”.  Menurut pendapat ini, munculnya agama politeisme (dalam kasus ini disebut sebagai ‘hasil penyimpangan agama monoteistik’) adalah berawal dari pengubahan metafora menjadi identifikasi. Seperti,”Tuhan adalah sumber segala sesuatu, seperti bumi”,”Tuhan adalah Pencipta, Dia seperti Ibuku”. Metafora ini sejalan dengan waktu menggantikan konsep aslinya, lalu sejalan dengan waktu gagasan metafora-identifikasi ini dikonkretkan dan jadilah paham politeisme. Schmidt berkata, salah satu bukti dari teori ini adalah bertahannya gagasan Tuhan Yang Maha Kuat sejak zaman dahulu/purba.

~Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di bumi, lalu mereka memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu lebih banyak dan lebih hebat kekuatannya serta (lebih banyak) peninggalan-peninggalan peradabannya di bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. Q.S. Al Mu'min : 82~


Note : banyak perkataan, pendapat dan data dalam karya tulis ini diambil dari buku The Miracle of Quran. Dan karena sangat banyaknya yang saya cuplik/ambil (hingga saya merasa seperti ‘menjiplak’), saya tidak menulis sebagaimana aturan yang berlaku. Juga mengingat bahwa karya tulis ini selain seperti essay, juga merupakan review salah satu bab dalam buku The Miracle of Quran.