Rabu, 09 Mei 2012

SEBUAH CATATAN : SMILEY



oleh Tirta Firdaus Nuryananda pad 18 April 2012

 







Syam’un dan Yohana, dua orang murid nabi Isa a.s. Dua orang tersebut memiliki keunikan tersendiri : apabila Yohana duduk dalam suatu majelis, niscaya ia tertawa dan membuat orang-orang disekitarnya tertawa. Apabila Syam’un duduk dalam suatu majelis, niscaya ia menangis dan membuat orang-orang disekitarnya menangis. Lalu Syam’un berkata kepada Yohana,”Engkau banyak sekali tertawa sehingga seakan-akan engkau telah selesai beramal”. Kemudian Yohana membalas,”Engkau banyak sekali menangis, seakan-akan sudah putus asa terhadap Tuhanmu”. Maka Allah mewahyukan kepada nabi Isa a.s. bahwa perilaku Yohana-lah yang lebih disenangi oleh Allah. (Dikutip dari kutipan dalam bukuTersenyumlah karya Dr. Aidh Al Qarni).

Setelah membaca cerita ringkas tersebut, saya bertanya “mengapa perilaku Yohana lebih disukai oleh Allah?” atau “mengapa dalam hal ini tertawa lebih disenangi oleh Allah?”
Tertawa dan tersenyum adalah aktivitas satu rumpun dengan tingkatan yang berbeda. Kedua hal ini cukup penting pengaruhnya terhadap hidup kita, bagaimana tidak, hanya dengan tersenyum kita dapat memperoleh beberapa manfaat sekaligus. Disinilah saya berhenti sejenak dan berpikir,”mungkin karena kebermanfaatan tersenyum inilah Allah lebih menyukainya daripada menangis”.  Mungkin jawaban pembaca yang terhormat berbeda, namun tidak ada salahnya apabila saya memaparkan argumen mengenai hal ini sembari mengajak pembaca yang terhormat untuk menginternalisasi ‘senyuman’ pada daily life kita.

Senyuman memberikan efek relaksasi pada aspek psikis. Diri kita masing-masing paham bagaimana kesibukan kita setiap harinya, entah secara produktif atau nonproduktif. Kesibukan tersebut dapat menumpuk kepenatan yang pada akhirnya dapat menyebabkan distress, mudah marah, tegang, bosan dan berbagai mood negatif. Belum lagi ketika kita ditimpa ujian akan suatu hal, masalah perekonomian misalnya. Tersenyum dan tertawa adalah obatnya. Dengan tersenyum pikiran kita kembali rileks dan lega, dengan tertawa pikiran kita kembali enerjik dan bersemangat tinggi. Memang, mungkin tersenyum tidak menyelesaikan masalah secara langsung. Namun dengan tersenyum dan tertawa, beban dalam jiwa kita dapat terobati. Apakah pembaca bersedia mengaplikasikan teori James-Lange versi senyuman ini?
Selain efek relaksasi, senyum juga memiliki efek sosial. Dalam artikelnya Pass a Smile!, William A. Stidger (1947) menceritakan kejadian yang unik terkait senyuman. Dia hendak mencari sejauh mana senyuman dapat menular, maka dia mengadakan suatu field eksperiment sederhana. Dia melemparkan senyum kepada penjual koran. Kemudian penjual koran tersebut tersenyum kepada pembeli yang lain. Pembeli yang menjadi sumringah tersebut berjalan dan menemui 10 orang, setiapnya dia lemparkan senyuman. Dan seterusnya. Memang eksperiment tersebut sangat kurang dalam kontrol dan kita tidak bisa memastikan apakah benar senyuman bocah tersebut disebabkan karena senyuman eksperimenter. Namun tidak ada salahnya apabila kita berkata “senyuman itu menular”. Apabila kita melemparkan senyuman, maka ‘sang korban’ akan membalas senyum kepada kita. Sejauh apa senyuman itu menular, bukan urusan kita karena cukuplah kita menularkan senyuman pada satu orang.  Dan apabila memang senyuman bisa menular sedemikian rupa, alangkah baiknya apabila kita menjadi agent of smile yang bertugas menjadi sumber primer senyuman. Dan bukankah hanya dengan sedekah ringan seperti itu sudah berdampak positif pada aspek sosial kita?

Dua manfaat di atas hanyalah setetes diantara selaut manfaat yang ada. Yang lain? Silahkan selami dan alami sendiri, mungkin akan lebih masuk dalam qalbu.

“Sesungguhnya senyummu di depan saudaramu adalah sedekah” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi.)

Bukankah para penghuni surga adalah orang-orang yang tersenyum? Dan bila Islam dilakukan dengan ittiba’ (mencontoh)  dan bukan ibtida’ (membuat), bukankah sepatutnya kita berittiba’ pada rasulullah saw yang suka tersenyum? Dan, terutama bagi kita yang mempelajari ilmu jiwa, bukankah kewajiban kita untuk memberikan contoh dan refleksi jiwa yang bersih dan cerah dengan tersenyum? Apabila kita masih susah tersenyum, mungkin puisi bait terakhir dari Nyanyian Cinta Satu Ketika karya Ebiet G. Ade ini dapat membuat kita “tersenyum” walau sesaat.

nampaknya mendung segera lewat, matahari bersinar.semuanya telah dirancang untuk menyambut kita.tersenyumlah, mari tersenyum.hari ini milik kita.

   ~Smiley~