Kamis, 12 April 2012

Makalah Analisis Film Legally Blonde

Keluarga
Keluarga merupakan kelompok yang terkecil dalam masyarakat. Sangat sulit mendefinisikan keluarga karena setiap individu memiliki persepsi sendiri mengenai siapa saja yang bisa disebutnya keluarga. Sosiologi membedakan keluarga dalam sistem konsanguinal dan sistem konjugal (Clayton dalam Sunarto, 2004). Keluarga yang bersifat konsanguinal menekankan ikatan darah dalam hubungan kekeluargaan, sementara keluarga yang bersifat konjugal menekankan pentingnya hubungan perkawinan antara suami istri dibandingkan ikatan dengan orang tua (hal. 61).
Ponzetti (dalam Pohan, 2010) menambahkan perbedaan mendasar antara keluarga dengan kelompok masyarakat yang lain adalah:
1.      Keanggotaannya tidak bersifat sukarela dan hubungannya lebih permanen.
Kita tidak bisa memilih siapa yang menjadi orang tua kita.
2.      Tindakan anggota-anggota keluarga mungkin saja tidak terlalu kentara bagi kelmpok lain. Keluarga merupakan lingkungan yang aman untuk keterbukaan dan kejujuran sekaligus memungkinkan terjadinya hal buruk seperti kekerasan, kecanduan, dan pengabaian.
3.      Anggota keluarga mungkin punya hubungan yang lebih kuat melalui ikatan emosional.
4.      Seringkali terdapat paradigma atau pandangan yang sama tentang berbagai hal antaranggota keluarga.
5.      Seringkali hubungan keluarga bersifat biologis, namun tidak jarang ada individu yang menganggap orang lain yang tidak memiliki ikatan darah maupun perkawinan sebagai keluarganya sendiri.
Hymovich & Chamberlin (1980) mengatakan perbedaan jumlah dalam keluarga dikenal sebagai struktur keluarga yang terdiri dari nuclear family, extended family, communal families, dual – career families, dan single parent families. Keluarga batih (nuclear family) merupakan satuan keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak (Sunarto, 2004, hal. 61). Dari pemahaman ini, kita dapat menggolongkan peran keluarga menjadi dua, yaitu peran orang tua dan saudara (sibling).




ORANG TUA

Struktur Keluarga
Struktur dalam keluarga dipengaruhi oleh kondisi orang tua. Ada keluarga yang didalamnya masih terdapat dua orang tua, dan ada pula keluarga yang hanya memiliki satu orang tua. Kondisi orang tua tentu saja berpengaruh banyak terhadap konsep diri dan motivasi berprestasi anak. Hasil penelitian yang dilakukan Uwaifo (2008) menunjukkan bahwa struktur keluarga dengan two parents dapat meningkatkan prestasi akademis dan sikap untuk belajar dengan baik pada anak.
Orang tua yang bekerja juga menjadi isu dalam pengasuhan anak dalam keluarga. Dual – career families adalah keadaan dimana ayah dan ibunya masing-masing bekerja (Hymovich & Chamberlin, 1980). Pendapatan orang tua juga bisa berpengaruh terhadap kondisi psikologis anggota keluarga yang lain. Menurut Hill & Duncen (1987, dalam Kaplan, Lancaster, & Anderson, 1998; Yeung, Duncan & Hill, 2000; Allen & Dalley, 2007 ) menjelaskan pendapatan sang ayah berguna dalam pencapaian pada anak. Pendapat yang kontras berhasil ditemukan oleh hasil sebuah studi terhadap keluarga Meksiko-Amerika yang memandang pendapatan yang diperoleh ayah dari kerjanya menimbulkan asosiasi yang negatif dengan gejala depresif pada sang ibu dan anak (Crouter, Davis, Updegraff, et all, dalam Allen & Dalley, 2007). Penelitian lain menambahkan bahwa ibu yang bekerja menunjukan anaknya akan meningkatkan kemampuan untuk menerima pengalaman baru tanpa ragu - ragu (Mcintosh & Bauer, 2006). Dari data-data yang terpapar diatas, dapat kita simpulkan bahwa kondisi pernikahan orang tua dan pekerjaannya berpengaruh penting dalam prestasi akademis dan kondisi psikologis anak.
Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang tua memainkan peran penting dalam mendukung dan menunjang keberhasilan akademis anak (Epstein dalam Santrock, 2011, hal. 78). Masing-masing orang tua memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam mendidik anaknya. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2011) parenting style atau gaya mengasuh dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
1.      Authoritarian parenting. Orang tua dengan tipe ini cenderung memaksa anak untuk patuh dan hormat terhadap setiap larangan dan kendali orang tua. Gaya mengasuh ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak kompeten secara sosial, takut dibandingkan, kurang inisiatif, dan kemampuan berkomunikasi yang buruk.
2.      Authoritative parenting. Orang tua mendorong anak untuk mandiri tetapi tetap mengambil kendali akan batasan-batasan terhadap anak. Dalam interaksi, bisa terjadi hubungan verbal yang mutual. Orang tua yang mengasuh dengan gaya ini bisa menghasilkan kepribadian anak yang kompeten secara sosial, percaya diri, dan menyesuaikan diri dengan baik dalam peers.
3.      Neglectful parenting adalah gaya mengasuh dimana orang tua sedikit terlibat dalam kehidupan anak. Ini dapat menyebabkan anak merasa bahwa aspek lain dalam hidup orang tua lebih penting dibandingkan anak itu sendiri. Hasilnya adalah anak akan sulit dalam mengendalikan diri, tidak kompeten secara sosial, dan kekurangan motivasi berprestasi.
4.      Indulgent parenting adalah gaya mengasuh dimana orang tua banyak terlibat dalam kehidupan anak, tetapi hanya menetapkan sedikit batasan atau kendali dalam perilaku anak. Orang tua cenderung membiarkan anak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Anak bisa menjadi kreatif dan percaya diri, namun kekurangannya adalah kurangnya pengendalian anak terhadap perilaku.

Baumrind (dalam Santrock, 2011) menegaskan pentingnya authoritative parenting yang dianggapnya sebagai gaya mengasuh yang paling efektif. Namun, ada faktor-faktor lain seperti sosiokultural, strata sosial ekonomi, dan struktur keluarga yang dapat menjadi faktor penentu bagaimana orang tua mengasuh anak-anaknya. Kegiatan coparenting dimana kedua orang tua saling mendukung satu sama lain dalam membesarkan anak juga sangat diperlukan dalam perkembangan anak (Santrock, 2011).
John Gray (1999) mengemukakan lima pesan positif yang dapat membantu orang tua dalam mengasuh, yaitu: (1) It’s okay to be different, (2) it’s okay to make mistakes, (3) it’s okay to express negative emotions, (4) it’s okay to want more, (5) it’s okay to say no, but remember mom and dad are the bosses. Dengan memberikan kebebasan anak untuk menjadi unik, melakukan kesalahan, mengekspresikan emosi negatif, menginginkan sesuatu yang lebih, dan menolak namun tetap memberikan batasan-batasan, Gray percaya orang tua dapat mengembangkan pola asuh yang lebih baik terhadap anak-anak.
Pengaruh Orang Tua terhadap Prestasi Akademis Anak
            Sikap dan pola asuh orang tua sangat menentukan keberhasilan anak di sekolah. Berbagai macam studi telah menemukan manfaat interaksi orang tua terhadap prestasi akademis anak. Hal inilah yang disebut dengan keterlibatan orang tua. Keterlibatan orang tua (parental involvement) diukur dari sejauh mana orang tua menaruh ketertarikan terhadap pendidikan dan mengambil bagian penting dalam kehidupan anak. Keterlibatan orang tua yang positif dan intens berpengaruh terhadap akademis anak seperti rasa self-efficacy, motivasi, dan pencapaian di sekolah (Duchesne, dkk, dalam Duchesne & Ratelle, 2010). Grolnick (1989) menambahkan bahwa keterlibatan orang tua memilki hubungan dengan locus of control  anak (cara anak mengartikan sebab dari suatu peristiwa), regulasi tingkah laku dan emosionalnya.
            Orang tua yang aktif terlibat dalam kehidupan akademis anak akan membina komunikasi yang baik dengan guru, komunikasi yang baik dengan anak mengenai isu-isu di sekolah, hadir dalam pertemuan orang tua dengan guru di sekolah, serta terlibat dalam pengerjaan tugas-tugas anak di rumah. Manfaat yang diperoleh anak yang merasakan keterlibatan orang tuanya dalam pendidikan adalah ia akan merasa lebih kompeten dalam berbagai kegiatan yang ia ikuti (Patterson, dalam Hong & Ho, 2005).

Perceraian Orang Tua dan Dampaknya Terhadap Prestasi Akademis Anak
Struktur rumah tangga sangat mempengaruhi perkembangan anak. Dinamika sosial yang terjadi di sekitar kita sedikit banyak berkontribusi terhadap bentuk keluarga. Berdasarkan data dari Departemen Agama, kasus perceraian di wilayah DKI Jakarta, telah mencapai 258 ribu kasus sampai pada tahun 2010. Penyebab perceraian antara lain kecemburuan terhadap pasangan, masalah ekonomi, atau ketidakcocokan dalam rumah tangga. Tentu saja, selain menyebabkan berubahnya struktur keluarga, perceraian orang tua juga berdampak bagi kondisi psikologis pihak yang bercerai maupun anak yang menjadi korban.
Secara perkembangan, anak yang orang tuanya bercerai memiliki kecenderungan tinggi terhadap stres, cemas, dan perilaku antisosial (Doskow, 2006; Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Bagaimana dengan kondisi akademis anak dengan orang tua yang bercerai? Hasil penelitian yang dilakukan oleh  Uwaifo (2008) kepada mahasiswa dari Universitas Nigerian menunjukan bahwa struktur keluarga, yaitu two parent (mempunyai ayah dan ibu) menunjukan bahwa two parents dapat meningkatkan academic achievement dan sikap untuk belajar dengan baik pada anak. Hymovich & Chamberlin (1980) menjelaskan single parent akan terus meningkat disebabkan oleh adanya perceraian atau perpisahan antara pasangan yang sudah menikah. Penelitian yang dilakukan oleh Pong, Dronkers, & Hampden-Thomsom (2003) menghasilkan kelemahan dari single parent pada achievement anak dalam nilai matematika dan science. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah orang tua yang bercerai memiliki pengaruh negatif terhadap prestasi akademis anak?
Penelitian yang dilakukan oleh Hetherington (1995 dalam Santrock, 2009) menunjukkan bahwa perceraian orang tua tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap prestasi akademis anak. Hal ini kontras dengan studi yang dilakukan oleh Collins, Harris, Susman (1995 dalam Elliott, Kratochwill, Cook, & Travers, 2000) dan Potter (2010) yang menjelaskan adanya penurunan prestasi akademis yang dipengaruhi oleh pernikahan orang tua yang tidak lagi utuh.
McCombs & Forehand (1989) menyatakan bahwa perceraian tidak akan menurunkan prestasi akademis, melainkan dapat meningkatkan prestasi akademis selama anak menjalin kedekatan yang baik dengan ibunya, dimana dalam kasus ini berperan sebagai single parent. Didukung dengan penemuan Barber & Eccles (1992) yang mengatakan bahwa ibu memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan anak di sekolah karena ibu mengajarkan tanggung jawab dan punya andil besar dalam pembentukan harga diri anak. Kesimpulan yang bisa kita serap dari studi literatur ini adalah perceraian orang tua bisa berdampak negatif terhadap performa akademis anak, namun hal itu bisa diatasi dengan mengoptimalkan peran ibu sebagai single parent dalam keluarga agar anak tetap bisa mendapatkan dukungan-dukungan yang seharusnya dapat diberikan oleh dua orang tua yang masih bersama. Ibu juga dapat memberikan penilaian secara positif dan secara intens memberi pemahaman yang jelas kepada anak mengenai perceraian yang telah terjadi, agar anak tetap bisa menjaga harga diri dan tetap termotivasi untuk berprestasi di sekolah.
Peran Parenting terhadap Harga Diri Anak
Pola asuh orang tua menurut Baumrind (dalam Santrock, 2011) dibagi menjadi empat. Baumrind juga berpendapat bahwa parenting style yang paling efektif terhadap harga diri anak adalah authoritative style, dimana anak mendapatkan batasan-batasan yang jelas terhadap perilakunya, namun orang tua tetap memberikan kelonggaran bagi anak untuk berkomunikasi mengenai aturan dalam keluarga, sehingga terjadi hubungan timbal balik dalam hubungan anak dengan orang tua.
Authoritative parenting memiliki manfaat-manfaat bagi psikologis anak, antara lain dapat menjadikan anak menjadi pribadi yang self-reliant, self-assertive, memiliki pengendalian diri yang baik, mampu menunda kepuasan, dapat berhubungan baik dengan sebayanya, serta harga diri yang tinggi (Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Santrock, 2011). Namun, hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa pola asuh yang lain tidak memiliki manfaat bagi perkembangan psikologis anak. Authoritarian style dapat meningkatkan kepatuhan dan rasa hormat anak. Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa untuk memperkecil kemungkinan perilaku antisosial anak adalah dengan mengembangkan sikap patuh terhadap otorisasi orang tua (Santrock, 2011).
Pengaruh Budaya dalam Pola Asuh Orang Tua
Pola parenting ini juga dipengaruhi oleh faktor sosiokultural yang menjelaskan bahwa tiap-tiap kebudayaan memiliki ciri khas dalam mengasuh anak. Sebuah studi yang dilakukan Huntsinger dan rekan-rekannya (dalam Singgih, 2004) menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai tes matematika dan penulisan numerik antara anak-anak Amerika keturunan Cina, anak-anak Amerika keturunan Eropa, dan anak-anak Cina-Taiwan. Dari tes matematika diperoleh hasil bahwa anak-anak Amerika keturunan Cina mempunyai nilai yang secara signifikan lebih tinggi daripada anak-anak keturunan Eropa, sedangkan anak-anak Cina-Taiwan mempunyai nilai di antara kedua kelompok ini. Selain itu, anak-anak Amerika keturunan Cina dan anak-anak Cina-Taiwan memperoleh nilai lebih tinggi dalam hal penulisan angka daripada anak keturunan Eropa. Kemudian dari wawancara yang dilakukan kepada orang tua masing-masing kelompok, diketahui bahwa orang tua dari anak-anak Amerika keturunan Cina ternyata menaruh perhatian lebih secara signifikan terhadap kemampuan matematika anak dibandingkan dengan orang tua anak-anak Amerika keturunan Eropa dan Cina-Taiwan. Orang tua Amerika keturunan Cina juga lebih disiplin dan tegas dalam membimbing anak-anaknya dibandingkan dengan orang tua dari kelompok lain.
Dari penelitian diatas, dapat kita pahami bahwa masing-masing budaya memiliki perbedaan sikap dalam mendidik anak. Orang tua di negara-negara Asia Timur kebanyakan menerapkan pola asuh authoritarian yang menekankan kepatuhan anak terhadap orang yang lebih tua dan kebebasan berpendapat yang terbatas. Hal ini kontras dengan budaya di Amerika Serikat dan negara-negara liberal yang membebaskan anak untuk berkreasi dan berpendapat dengan batasan-batasan yang tidak terlalu ketat (Santrock, 2011). Perbedaan budaya mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai cara mendidik anak. Dalam menerapkan pola asuh, kita harus menyesuaikan dengan budaya yang melatarbelakangi kehidupan sosial anak.
Pengaruh Kondisi Ekonomi Orang Tua terhadap Prestasi Akademis Anak
Keadaan ekonomi keluarga serta latar belakang pendidikan orangtua juga termasuk dalam situasi keluarga dan rumah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Davis-Kean menunjukkan hasil bahwa pendidikan orangtua secara tidak langsung dapat mempengaruhi pencapaian akademis anak karena adanya dukungan kepercayaan orangtua dan perilaku yang merangsang pendidikan di rumah. Pendidikan orangtua dapat berperan penting karena selama waktu-waktu tersebut, dimana anak menempuh pendidikan di sekolah, orangtua juga dapat berperan sebagai ‘guru’ di rumah. Orangtua dapat menjadi guru yang efektif Karena mereka banyak mengetahui tentang apa yang diperkirankan diajarkan oleh sekolah, serta apa yang perlu mereka lakukan sebagai lanjutannya, di rumah. Orangtua juga dapat membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah dan menyediakan dukungan sstimulasi kognitif di rumah (Alexander dkk. dalam Davis Keane, 2005).
Penelitian lebih lanjut juga menyebutkan bahwa orangtua dengan pemasukan ekonomi menengah ke atas dan dengan berlatar belakang pendidikan memiliki keyakinan dan harapan yang lebih realistis dengan performa anak-anak mereka di sekolah dibandingkan dengan keluarga yang memiliki pemasukan ekonomi rendah. Keluarga dengan pemasukan ekonomi rendah juga memiliki keyakinan dan harapan yang tinggi, tetapi tidak berkorelasi baik dengan performa anak-anak mereka di sekolah. Kemampuan orangtua dalam membentuk keyakinan dan harapan yang sesuai berdasarkan performa anak-anak mereka sangat penting untuk mendukung lingkungan rumah dan pendidikan yang kondusif, sehingga mereka dapat berusaha lebih baik diluar lingkungan sekolahnya. Hubungan tidak langsung ini memberikan pengaruh melalui ekspektasi pendidikan, perilaku membaca, bermain, serta afektif orangtua (Alexander dkk. dalam Davis-Kean, 2005). Jurnal lain menyebutkan, penelitian menunjukkan bahwa sampel dengan pemasukan keluarga yang rendah, keluarga-keluarga tersebut mengalami ketidkastabilan kondisi dan status seperti stress, perpindahan, perubahan status kerja, dan sekolah anak yang berpindah-pindah) mempengaruhi keterlibatan orangtua pada sekolah anak-anak mereka. (Englund dkk., 2004). Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa kondisi ekonomi orang tua sangat berpengaruh terhadap performa pendidikan anak.

SAUDARA (SIBLING)
Sama halnya dengan keluarga, hubungan persaudaraan tidaklah terbatas dengan kenyataan bahwa seseorang lahir dari orang tua yang sama dengan kita. Seperti yang dikemukakan Edwards, Hadfield, Lucey, & Mauthner (2006), bahwa meningkatnya keberagaman struktur keluarga menyebabkan meluasnya masalah mengenai siapa saja yang dapat disebut dengan saudara. Perceraian, perpisahan, repartnering, dan keluarga tiri memberi pemahaman bahwa seseorang bisa memiliki full siblings, yakni saudara yang lahir dari dua orang tua biologis yang sama; half siblings, yakni saudara yang lahir dari salah satu orang tua biologis; dan step siblings atau saudara yang lahir dari orang tua biologis yang berbeda dan tidak memiliki ikatan darah (2006, hal. 21)
Di dalam lingkungan keluarga, pasti terjalin hubungan sosial antara anak dengan orang tua dan orang lain yang tinggal dalam tempat tinggal yang sama, antara lain saudara. Seorang anak yang melakukan aktivitas, percakapan, bahkan konflik yang intens dengan saudaranya membentuk pola interaksi yang ikut membentuk identitas anak (Edwards, Hadfield, Lucey, & Mauthner, 2006).
Hubungan Persaudaraan Anak (Sibling Relationship)
Psikologi perkembangan manusia memberikan pemahaman mengenai keuntungan-keuntungan psikologis yang didapatkan oleh anak yang bersaudara. Anak yang memiliki saudara di dalam keluarga memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan adanya perselisihan di dalam hubungan sibling, dimana anak mulai belajar untuk mempertahankan prinsipnya dan menegosiasikan ketidaksetujuan (Ross dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Tidak hanya konflik, hubungan persaudaraan memberikan pola interaksi sosial yang lain seperti kasih sayang, perhatian, persahabatan, dan saling mempengaruhi (hal. 278). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa persaudaraan yang terdiri dari adik beusia satu setengah tahun dengan kakak berusia tiga sampai setengah tahun menunjukkan adanya kecenderungan muncul perilaku prososial dan perilaku play-oriented yang lebih tinggi daripada persaingan dan kompetisi (Abramovitch dkk. dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Saudara yang lebih tua lebih banyak berinisiatif, baik dalam perilaku yang ramah maupun yang tidak ramah, sedangkan saudara yang lebih muda cenderung banyak meniru kakaknya. Ketika usia adik sudah mencapai lima tahun, hubungan persaudaraan mulai melibatkan kontak verbal dibandingkan fisik dalam menunjukkan agresivitas, kepedulian, dan kasih sayang (hal. 278).
Kualitas hubungan persaudaraan dapat mempengaruhi seseorang dalam hubungannya dengan anak-anak lain diluar keluarga. Anak yang agresif dengan saudara juga diperkirakan agresif dengan kawan-kawannya. Penemuan yang lain adalah saudara yang lebih tua yang memiliki hubungan baik dengan kawan sebelum kelahiran adiknya dapat memperlakukan adiknya dengan lebih baik dan kemungkinan yang kecil terhadap perilaku antisosial pada usia remaja (Kramer & Kowal dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Bagaimana dengan anak tunggal? Banyak orang beranggapan bahwa anak tunggal tidak memiliki benefit seperti yang dimiliki anak-anak lain, yaitu interaksi sosial kakak atau adik yang dapat mengajarkan mereka untuk membina kasih sayang, kemampuan bekerja sama, dan sebagainya. Tak sedikit pula yang mengatakan bahwa anak tunggal egois, kesepian, dan kurang mampu menyesuaikan diri. Namun, penelitian yang dilakukan Falbo dan Polit berkata sebaliknya. Penelitian ini menghasilkan bahwa anak tunggal memiliki prestasi akademis dan kecerdasan verbal yang sedikit diatas anak-anak dengan saudara (Falbo & Polit dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Anak tunggal cenderung lebih termotivasi untuk mencapai tujuan didukung dengan harga diri yang sedikit lebih tinggi; dan dalam aspek penyesuaian emosi, sosiabilitas, atau popularitas, anak tunggal tidak berbeda dengan anak yang memiliki saudara. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh orang tua yang hanya fokus memberikan perhatian kepada satu anak, sehingga ekspektasi orang tua terhadap anak lebih besar daripada orang tua yang memiliki banyak anak (hal. 278).
Studi literatur lain tentang gambaran kepribadian anak tunggal di Cina menunjukkan bahwa anak-anak dengan saudara memiliki tingkatan rasa takut, kecemasan, dan depresi yang lebih tinggi daripada anak tunggal, tanpa melibatkan aspek jenis kelamin dan usia (Yang dkk dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Penelitian Falbo berikutnya menghasilkan bahwa anak tunggal memiliki prestasi akademis dan pertumbuhan fisik yang kurang lebih sama, atau lebih baik daripada anak dengan saudara (Falbo & Poston dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Berbagai penelitian ini nampaknya tidak mendukung paradigma yang telah dibentuk masyarakat mengenai anak tunggal. Dari data-data diatas dapat kita pahami bahwa tidak ada perbedaan pola kepribadian yang signifikan antara anak tunggal dengan anak yang memiliki saudara.
Peran Orang Tua dalam Konflik Saudara
Menurut Edwards, Hadfield, Lucey, & Mauthner (2006), hubungan interaksi anak dengan saudara, termasuk adanya konflik dan agresivitas berperan penting dalam membangun kepribadian seseorang dari masa kanak-kanak dan berdampak pada kehidupannya setelah dewasa. Proses pembentukan karakter anak teradap perilaku dan argumen-argumen yang mengganggu dengan saudara mereka memberi pemahaman mengenai status usia dan hierarki kekuasaan, serta melibatkan perbedaan kelas sosial (hal. 81). Tentu saja, campur tangan orang tua perlu ada agar dapat mengarahkan anak dalam menghadapi konflik.
Faber & Mazlish (dalam Edwards, Hadfield, Lucey, & Mauthner 2006, hal. 88-89) melakukan penelitian dan menemukan tahapan konflik anak  orang tua perlu melakukan intervensi untuk mencegah kekerasan yang serius, serta menghindari penurunan harga diri pada anak.
Tahap I: Pertengkaran normal
1.      Biarkan saja. Pikirkan tentang liburan berikutnya.
2.      Katakan pada diri anda bahwa anak-anak sedang mengalami pengalaman penting untuk menghadapi konflik lainnya kelak.
Tahap II: Situasi mulai memanas. Intervensi orang dewasa mungkin diperlukan
1.      Nyatakan kemarahan mereka.
“Adik, Kakak, kalian berdua berteriak satu sama lain.”
2.      Refleksikan kedua sudut pandang anak.
“Jadi, Adik mau memeluk Piko (nama kucing) terus karena Piko tidur di pangkuan Adik. Tapi Kakak juga mau dapat giliran memeluk Piko.”
3.      Gambarkan permasalahan dengan rasa hormat.
“Sulit juga ya, kalau harus membagi Piko jadi dua untuk Kakak dan Adik.”
4.      Nyatakan kepercayaan diri pada kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah ini.
“Ibu percaya Kakak dan Adik bisa menyelesaikan masalah ini dan bisa rukun. Kasihan juga kan si Piko.”
5.      Tinggalkan mereka.
Tahap III: Situasi mungkin membahayakan
1.      Tanyakanlah.
“Kalian ini pura-pura bertengkar atau bertengkar sungguhan??” (pura-pura bertengkar (play fight) diperbolehkan, sedangkan bertengkar sungguhan tidak)
2.      Beritahukan pada anak-anak.
“Tolong pura-pura bertengkar jika kalian berdua sama-sama senang.” (jika salah satu tidak senang maka tidak boleh)
Tahap IV: Situasi membahayakan! Intervensi orang dewasa sangat dibutuhkan.
1.      Gambarkan apa yang anda saksikan.
“Ibu melihat ada dua anak kecil ingin saling menyakiti satu sama lain.”
2.      Pisahkan mereka.
“Kalau kalian begini terus pasti tidak aman. Adik, Kakak, sekarang masuk kamar masing-masing.”

Hubungan sosial yang terjalin antarsaudara pasti terjadi dalam keluarga. Bagaimanapun juga, konflik tidak akan pernah terhindarkan. Sehingga, orang tua bertanggung jawab dalam mengarahkan anak dan melakukan intervensi agar konflik saudara tidak berlanjut sampai tahap kekerasan baik fisik maupun verbal.

SEKOLAH
Bronfenbrenner membagi faktor lingkungan sosial tersebut menjadi tiga faktor secara umum yaitu keluarga, sekolah dan peer-group. Di antara ketiga faktor tesebut sekolah merupakan salah satu “agen sosialisasi” penting dalam perkembangan seorang anak selain keluarga yang merupakan agen sosialisasi primer. Faktor sekolah menjadi penting karena adanya fakta bahwa orang tua tidak mungkin dapat mengawasi penuh seluruh tahap perkembangan anak, khususnya ketika anak mulai memasuki masa remaja dan dewasa awal. Keberadaan sekolah sebagai agen sosial yang mendukung perkembangan anak inilah yang akan dibahas lebih lanjut.
Sekolah merupakan salah satu wadah yang penting bagi perkembangan anak oleh sebab itu layaknya sebuah wadah perkembangan yang baik, sekolah seharusnya mampu mengerti akan motivasi dan needs dari anak. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi dan needs anak.
1.      Pemuasan kebutuhan dan reinforcement dari suatu tingkah laku
Seorang anak akan cenderung mengulangi tindakan mereka yang memberikan suatu kepuasan dari kebutuhan mereka saat kebutuhan itu muncul lagi. Sebagai contohnya seorang anak yang memiliki kebutuhan akan pujian dari gurunya yang ia dapat saat mencoba untuk menjawab pertanyaan dari gurunya akan cenderung untuk terus menjawab pertanyaan dari gurunya agar ia mendapat pujian yang ia inginkan itu sehingga memperkuat motivasinya untuk secara aktif menjawab pertanyaan dari gurunya tersebut.
2.      Pengaruh lingkungan sosial terhadap pemerolehan needs
Lingkungan sosial yang diciptakan di sekolah juga berpengaruh terhadap motivasi anak terutama aturan- aturan di sekolah dan tekanan sosial yang diberikan oleh peer di sekolah. Sebagai contohnya apabila seorang anak menjahili teman- temannya yang kemudian mulai menjauhi dia akan membuatnya merasa dikucilkan sehingga mengurangi motivasi dari anak tersebut untuk menjahili temannya akan tetapi apabila ada sekelompok anak yang justru mendukung perbuatannya itu akan membuat anak tersebut lebih termotivasi untuk menjahili temannya karena ia merasa mendapatkan ‘tempat’ di komunitas anak- anak yang mendukungnya tersebut.
3.      Kelas sosial mempengaruhi dalam pemerolehan needs
Seorang anak yang berasal dari kelas sosial menengah akan menerima reward and punishment yang berbeda pula di keluarganya. Sebagai seorang tenaga didik, seorang guru seharusnya bisa mengerti apa yang sebenarnya mendorong seorang anak untuk berbuat sesuatu sehingga seorang guru menumbuhkan motivasi dari anak tersebut untuk berbuat lebih baik
4.      Rumah
Kondisi rumah seorang anak bisa mempengaruhi motivasinya untuk melanjutkan studi maupun untuk berprestasi di kelas. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kahl terhadap 24 orang anak menunjukan bahwa anak yang tidak memiliki keinginan untuk berkuliah berasal dari keluarga yang tidak menekankan pada keharusan untuk berkuliah sedangkan anak yang memiliki keinginan untuk berkuliah berasal dari keluarga yang menekankan pada pentingnya berkuliah. Studi dari Kahl menunjukkan hubungan dari status sosial yang diukur dengan pekerjaan dari ayah dan keinginan untuk berpendidikan dan bekerja dari anak pada keluarga tersebut. Pada studi itu, sebagian besar persentase dari anak yang ingin melanjutkan ke tingkat kuliah berasal dari keluarga yang ayahnya berada di tingkat tertinggi pada tabel dan memiliki tingkat inteligensi yang berada pada tingkat tertinggi pula dan persentase keinginan anak ingin melanjutkan kuliah tersebut turun seiring dengan turunnya tingkat dari pekerjaan dari ayah dan tingkat inteligensinya pula. Hal ini disebabkan oleh pola pikir bahwa mereka tidak mampu untuk membiayai pendidikan ke tingkat yang lebih lanjut atau menganggap mereka tidak cukup pintar untuk melanjutkan pendidikan tersebut.

5.      Bagaimana cara anak itu dibesarkan
Menurut studi yang dilakukan oleh Winterbottom, seorang anak dengan ibu yang memiliki n terhadap achievement yang tinggi akan menuntut lebih banyak terhadap anaknya sehingga anaknya berusaha memenuhi ekspektasi dari ibunya tersebut dan ketika mereka berhasil, mereka akan diberi reward oleh sang ibu sehingga akan memperkuat motivasi dari anak tersebut. Sebagai contohnya, anak yang ibunya memiliki n achievement yang tinggi akan dituntut oleh ibunya untuk berprestasi di sekolah seperti mendapatkan rangking 1. Ketika anak tersebut mendapatkan rangking 1, ia akan mendapatkan reward dari ibunya sehingga akan memacu motivasi ia untuk berprestasi di sekolah dan akan terus mempertahankan motivasinya untuk di tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi.
6.      Ketertarikan akan lawan jenis
Faktor ini merupakan faktor yang sering dilewatkan oleh guru di sekolah. Para guru tidak menyadari akan betapa pentingnya faktor satu ini bahwa murid laki- laki dapat memiliki motivasi untuk berusaha lebih baik ketika digabungkan bersama murid perempuan. Sebagai contoh tim sepak bola laki- laki akan lebih termotivasi untuk memenangkan pertandingan ketika disoraki oleh murid perempuan.
7.      Keinginan untuk melakukan sesuatu secara aktif
Seorang guru juga sering melewatkan faktor yang satu ini bahwa murid- murid cenderung untuk lebih termotivasi menguasai bahan pelajaran saat bahan tersebut tidak hanya diberikan secara teoritis melainkan juga dilakukan prakteknya. Murid- murid tampak jauh lebih menikmati proses pembelajaran dengan praktek karena mereka memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu secara aktif. Hal ini disebabkan oleh secara instingtif manusia memiliki dorongan untuk melakukan gerakan tubuh, eksplorasi, melakukan permainan, memecahkan masalah, dll.
Peran sekolah dalam masa perkembangan anak sangatlah penting, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan sekolah tidak dapat lepas dari keberadaan faktor lain yaitu keluarga dan peer-group. Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2011) menekankan pentingnya ketiga faktor ini yitu keluarga, sekolah dan peer-group dalam menunjang perkembangan anak.
Namun di lain pihak, keberadaan sekolah juga dapat menjadi bumerang ketika pendidikan dan sosialisasi yang diberikan dalam sekolah itu sendiri tidak sesuai atau bahkan salah tujuan. Dengan demikian diperlukan perhatian, perencanaan serta pelaksanaan yang tepat agar keberadaan sekolah dapat menghasilkan dampak positif bagi perkembangan anak. beberapa aspek penting yang mungkin harus diberikan porsi perhatian besar seperti:
·         Ketepatan antara konten ajar dengan kesiapan tujuan pengajaran.
Development Appropriate Practice yaitu pemberian konten pendidikan berdasarkan pada tahap perkembangan anak, menurut Hart, dkk serta Stipek, dkk (1995, dalam santrock, 2011) akan membawa dampak-dampak positif seperti meingkatkan kreatifitas, rasa percaya diri, hingga kemampuan bersosialisasi yang lebih baik.
·         Faktor lingkungan fisik sekolah
Faktor lingkungan fisik juga perlu diperhatikan dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan sekolah itu sendiri. Faktor-faktor seperti bentuk ruang, jumlah peserta ajar, keberadaan pekerja (guru dan management sekolah), hingga kegiatan diluar jam pelajaran perlu dirancang agar sesuai dengan tujuan pendidikan. Sebagai contoh, bangunan fisik sekolah sebaiknya dirancang terbuka dan meminimalisir ruang yang tertutup sehingga tindakan-tindakan negative seperti bullying atau pelanggaran secara seksual dapat dicegah.
·         Whole-School Approach
Raihani (2011) dalam jurnalnya menuliskan pentingnya kesatuan pelaksanaan dari semua aspek sekolah. Kesatuan dalam pelaksanaan tujuan sekolah ini dipandang penting karena akan berdampak pada setiap peserta ajar, dimana orang dewasa seperti guru, kepala sekolah serta aparatr lain dapat dipandang sebagai role model bagi peserta ajar. Selain aparatur sekolah, pembuatan visi dan misi, pemilihan kurikulum, dll. juga perlu diperhitungkan agar tujuan sekolah dapat didukung dan tidak menimbulkan kebingungan karena terdapat dualism tujuan dalam pendidikan di sekolah.
·         Pengaturan sistem yang efektif
Keberadaan sistem pendidikan yang efektif juga perlu diperhatikan, mengingat keberhasilan pembelajaran dalam sekolah juga ditunjang oleh keberadaan sistem ajar itu sendiri. semakin baik sistem pendidikan, semakin tebuka pula kemungkinan sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan dalam sekolah, walaupun keberhasilan tersebut tidak hanya ditentukan oleh sistem yang digunakan. Penentuan sistem yang terbaik membutuhkan proses yang ketat seperti penentuan tujuan, pembuatan sistem (langkah-langkah pratis sari sistem), evaluasi dan juga perbaikan terus menerus dalam sistem pendidikan.
·         Penciptaan lingkungan pendidikan yang setara
Sekolah harus mampu menciptakan lingkungan sosial yang bebas dari bias cultural. Kebebasan dari bias cultural ini penting guna meminimalisir perasaan berkuasa atau superior dari satu pihak kepada pihak lain dalam lingkungan sekolah. Penciptaan lingkungan yang setara juga penting mengingat penting peranan peer-group terhadap individu anak dalam tahap perkembangannya. Pengaruh peer-group sendiri menjadi penting karena penerimaan diri dalam sebuah kelompok sangatlah menentukan harga diri dari seorang individu khususnya pada anak (Stryker, 1980, dalam Cast & Burke, 2002). Selain menyangkut harga diri, peran peer-group terhdap individu juga menjadi peting karena seringkali kesepakatan atau aturan peer dijadikan landasan tingkahlaku dari individu yang bahkan juga turut mempengaruhi prestasi akademik. Melihat pentingnya pengaruh peer, penciptaan lingkungan sosial yang setara menjadi hal penting yang perlu dicermati oleh sekolah.
·         Membangun iklim akademis yang sehat
Iklim akademik sangat penting khususnya menyangkut masalah motivasi belajar. Lingkungan sekolah dimana iklim akademik yang dimiliki sehat, cenderung akan lebih memotivasi peserta untuk belajar. Iklim akademik ini sendiri juga tidak lepas dari pengaruh peer-group dan juga faktor guru. Faktor guru dapat dikatakan sebagai pendorong eksternal yang vital mengingat fungsi guru yang adalah fasilitator dalam proses belajar. Keberadaan guru yang dapat memotivasi peserta ajar untuk mau belajar secara intrinsic akan menciptakan iklim yang lebih baik dibandingkan keinginan belajar yang dikarenakan faktor reward atau eksternal saja.

Di luar daripada faktor-faktor tersebut, hal tidak kalah penting dalam mencapai keberhasilan dari tujuan pendidikan dalam sekolah adalah diciptakannya konsistensi dan stabilitas dalam sekolah itu sendiri. konsistensi dan stabilitas ini akan mencakup seluruh aspek dari pendidikan dalam sekolah itu sendiri baik lingkungan fisik, sosial, hingga sistem pendidikan yang digunakan. Tanpa adanya konsistensi dan stabilitas (yang sebaiknya juga turut dijaga dalam setiap jenjang pendidikan yaitu TK, SD, SMP, dan SMA) sistem dan tujuan sebaik apapun tidak akan membuahkan hasil maksimal.

MASYARAKAT
Vygotsky melalui Teori Perkembangan Kognitifnya menekankan pentingnya masyarakat dan budaya untuk pertumbuhan kognitif seseorang (perspektif sosial-budaya). Menurut Vygotsky, melalui masyarakat seseorang dapat mempelajari mengenai berbagai hal, seperti percakapan informal, pendidikan formal, pemikiran dan bahasa, dan proses mental yang kompleks sebagai kegiatan internalisasi sosial.

·           Budaya
Dalam jurnal karya Junko Kobayashi dan Linda Viswat disebutkan, bahwa perbedaan sikap mengajar dan persepsi siswa dalam belajar terlihat dari budaya setempat. Jurnal tersebut membandingkan antara cara masyarakat Jepang dengan AS dalam diskusi dan kompetisi kelas, cara menolak pernyataan guru, serta, efisiensi. Keduanya memiliki perbedaan yang significant sebab dalam budaya belajar terkandung kebiasaan belajar dan cara-cara belajar yang dianut oleh siswa. Pada umumnya, setiap orang (siswa) bertindak berdasarkan force of habit (menurut kebiasaannya) sekalipun ia tahu bahwa ada cara lain yang mungkin lebih menguntungkan. Meskipun berbeda-beda, seorang psikolog, Donald Campabell dan rekannya ((Brewer dan Campabell, 1976; Campabell dan LeVine, 1968), dalam Santrock,2008) menemukan bahwa orang-orang di semua kultur cenderung :
·         percaya bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah sesuatu yang ”alami” dan ”benar” dan apa yang terjadi di dalam kultur lain adalah ”tidak alami” dan ”tidak benar”;
·         menganggap bahwa kebiasaan kultural mereka adalah valid secara universal;
·         berperilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan kelompok kulturnya; dan
·         bermusuhan terhadap kelompok kultur lain.

·           Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi merujuk pada sekelompok masyarakat dengan pekerjaan, pendidikan, dan karakter ekonomi yang serupa. Anggota masyarakat umumnya memiliki pekerjaan yang beragam jenis dan tingkatnya, tingkat pencapaian pendidikan yang ber beda (dan beberapa memiliki akses yang lebih banyak menuju pendidikan yang lebih baik), sumber ekonomi yang berbeda, dan tingkat kekuatan untuk mempengaruhi kelompok yang berbeda. Perbedaan-perbedaan ini punya kemampuan untuk mempengaruhi sumber daya yang ada dan untuk bergabung di dalam masyarakat. Perbedaan sosial ekonomi adalah cara digunakan makhluk hidup untuk ada baik di dalam dan di luar keluarga (Huston & Ripke, 2006, dalam Santrock, 2011).
·           Media Massa
Media massa yang terdiri dari media cetak dan media elektronik turut memberikan kontribusi dalam pendidikan. Melalui media massa informasi-informasi mengenai pengetahuan dapat tersampaikan. Namun, dampak negatif juga dimungkinkan terjadi memalui media massa ini. Contoh memalui televisi, tayangan dalam televisi belum tentu dapat dijadikan pelajaran seperti acara infotaiment dan sinetron. Albert Bandura mengembangkan teori belajar sosial menjelaskan bahwa melalui pembelajaran sosial seseorang dapat belajar melalui pengamatan (observation learning) terhadap suatu model.
·           Pemerintah
Menurut Soerjono Soekanto Masyarakat berhubungan dalam waktu yang cukup lama. Sebagai akibat hidup bersama timbul sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia. Di Indonesia sendiri, pemerintah mengatur sistem kurikulum pendidikan yang berbeda-beda setiap kali masa pemerintahan berganti. dengan kurikulum yang berubah-ubah sehingga membuat siswa harus selalu menyesuaikan metode belajar dengan kurikulumnya.
·         Bahasa
Menurut Santrock (2011), definisi bahasa adalah sebagai berikut,

Language is a form of communication, whether spoken, written, or signed, that is based on a system of symbols.

Jadi, definisi bahasa adalah sebuah bentuk komunikasi apakah itu lisan, tulisan, maupun tanda-tanda yang berdasarkan sistem simbol. Penggunaan bahasa menjadi berperan penting dalam konteks masyarakat karena masyarakat jika dilihat sebagai suatu sistem, dia memiliki aturan mengenai penggunaan bahasa dalam kesehariannya. Setiap individu anggota masyarakat dipengaruhi dengan bahasa dalam fungsi pragmatisnya. Bryant (2009, dalam Santrock, 2011) mengemukakan bahwa peran pragmatis dari bahasa dapat menjadi kompleks dan berbeda dari satu budaya dengan budaya lainnya. Bahasa dalam hal ini mempengaruhi kognisi seseorang (King, 2011). Ini sesuai dengan pandangan Vygotsky (dalam Santrock 2011) bahwa teorinya berfokus pada kemampuan kognitif perlu diinterpretasikan secara perkembangannya, dimediasi dengan bahasa dan lingkungan hubungan sosial dan budaya tempat tinggalnya. Berdasarkan fokus ini, dia mengemukakan Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Jadi, pentingnya fungsi pragmatis bahasa yang melibatkan peran masyarakat secara aktif dalam interaksi sosial untuk memfasilitasi anak membangun pengetahuan mengenai dunia.

·         Gender
Istilah gender merujuk pada karakteristik individu sebagai laki-laki atau perempuan (Santrock, 2011). Terkait dengan peran masyarakat, gender menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi performa individu khususnya dalam kegiatan akademik. Alasannya, masyarakat punya peran dalam stereotype gender typing kepada anggota masyarakat lainnya. Dasar dari stereotype gender typing ini adalah gender schema theory yang berisi tentang skema seperti apa yang sesuai dengan masing-masing gender oleh masyarakatnya (Santrock, 2011). Implikasinya pada kehidupan pendidikan siswa adalah adanya prasangka perbedaan kekuatan dan kelemahan masing-masing gender dalam hal kemampuan otak, performa fisik, intelegensi, kemampuan matematika dan ilmu pengetahuan alam, kemampuan verbal, kemampuan membangun hubungan, pencapaian pendidikan, perilaku prososial, agresi, serta emosi dan regulasinya (Santrock, 2011). Ketika perbedaan ini diatribusi secara positif khususnya di aspek-aspek yang menjadi kelemahan suatu gender, maka akan memotivasi mereka dalam mengoptimalkan pencapaian akademisnya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Jadi, masyarakat punya peran penting dalam  stereotype gender typing yang kaitannya dengan pencapaian akademik para siswa.
·         Etnis
Menurut Santrock (2011),
Ethnicity refers to a shared pattern of characteristics such as cultural heritage, nationality, race, religion, and language.
Jadi, etnisitas merujuk pada pola yang terbagi dari beberapa karakteristik seperti warisan budaya, agama, bahasa, ras, dan nationalitas. Etnisitas seringkali diasosiasikan dengan prasangka dan diskriminasi. Menurut Millon & Lerner (2003), prasangka adalah sikap yang biasanya cenderung negatif terhadap suatu kelompok sosial dan anggotanya. Sementara diskriminasi adalah perilaku yang ditunjukkan terhadap suatu kelompok sosial atau anggotanya sebagai bentuk tindakan dari adanya prasangka.
Etnisitas mempengaruhi pendidikan dalam berbagai hal seperti pemilihan program pembelajaran siswa di sekolah, pengelompokan kelas, atau standarisasi nilai ujian.
Daftar Pustaka
Allen, S., & Dally, K. (2007). The Effects of father involvement: An updated research summary of the evidence. Diakses dari Centre for Families, Work & Well-Being University of Guelph: http://www.fira.ca/cms/documents/29/Effects_of_Father_Involvement.pdf
Barber, B. L., & Eccles, J. S. (1992). Long-term of divorce and single parenting on adolescent family and work-related values, behaviors, and aspirations. Psychological Bulletin, 1, 108-126.
Davis-Kean, P.E. (2005) The Influence of parent education and family income on child achievement: The indirect role of parental expectations and the home environment, Journal of Family Psychology,19(2), 294-304.
Doskow, E. (2006). Nolo’s essential guide to divorce (1st ed.). USA: Nolo.
Duchesne, S., dan Ratelle, C. (2010). Parental behaviors and adolescents’ achievement goals at the beginning of middle school: Emotional problems as potential mediators. Journal of Educational Psychology, 102, 497-507.
Edwards, R., Hadfield, L., Lucey, H., & Mauthner. M. (2006). Sibling identity and relationships: Sisters and brothers. New York: Taylor & Francis Group.
Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Cook, J. L., & Travers, J. F. (2000). Educational psychology: effective teaching, effective learning (3rd ed.). USA: McGraw-Hill.
Englund M. M., dkk. (2004). Children’s achievement in early elementary school: Longitudinal effects of parental involvement, expectations, and quality of assistance, Journal of Educational Psychology, 9(4), 723-730.
Grolnick, W. S., dan Ryan, R. M. (1989). Parent styles associated with children's self-regulation and competence in school. Journal of Educational Psychology, 81, 143-154.
Gray, J. (1999). Children are from heaven: Positive parenting skills for raising cooperative, confident, and compassionate children. New York: HarperCollins Publisher.
Singgih, G. D. (2004). Dari anak sampai usia lanjut: Bunga rampai psikologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Hong, S., dan Ho, H. (2005). Direct and indirect longitudinal effects of parental involvement on student achievement: Second-order latent growth modeling across ethnic groups. Journal of Educational Psychology, 97, 32-42.
Hymovich, D. P., & Chamberlin, R. W. (1980). Child and family development: Imlications for primary health care. United States of America: McGraw-Hill. Diakses dari http://www.abebooks.com/9780070316508/Child-Family-Development-Implications-Primary-0070316503/plp
McCombs, A., & Forehand, R. (1989). Adolescent school performance following parental divorce: are there family factors that can enhance success. Adolescence, 24, 872-880.
McIntosh, K. L., & Bauer, W. (2006). Working mothers vs stay at home mothers: The impact on children (thesis). Marietta College. Diakses dari http://etd.ohiolink.edu/send-pdf.cgi/McIntosh%20Kelly%20L.pdf?marietta1144855683
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed.). USA: McGraw-Hill.
Pohan, L. D. Diri dan keluarga. Diambil dari materi kuliah Pemahaman Diri pada 23 September 2010 di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.
Pong, S-L., Dronker s, J., & Hampden-Thomson, G. (2003). Family policies and children's school achievemen in single-versus two-parent families. Journal of Marriage and Family, 65 (3), 681-699. Diakses dari http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/search/detailmini.jsp?_nfpb=true&_&ERICExtSearch_SearchValue_0=EJ672723&ERICExtSearch_SearchType_0=no&accno=EJ672723
Potter, D. (2010). Psychosocial well-being and the relationship between divorce and children’s academic achievement. Journal of Marriage and Family, 72, 933-946.
Santrock, J. W. (2011). Educational psychology (5th  ed.). New York: McGraw-Hill.
Sarwono, S. W. & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Sunarto, K. (2004). Pengantar sosiologi (3th ed.). Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
Uwaifo, V. O. (2008). The effects of family structure and parenthood on the academic performance of Nigerian University Students. Department of Vocational and Technical Education, 2(2): 121-124. Diakses dari http://www.krepublishers.com/02-Journals/S-HCS/HCS-02-0-000-08-Web/HCS-02-2-087-08-Abst-Text/HCS-02-2-121-08-056-Uwaifo-V-O/HCS-02-2-121-08-056-Uwaifo-V-O-Tt.pdf
Sherkat, D.E.(Feb 06, 2007). Religion and Higher Education: The Good, the Bad, and the Ugly. http://religion.ssrc.org/reforum/Sherkat.pdf
Santrock, J.W.(2011).Educational Psychology (5th Ed.).China: McGraw-Hill
Millon, Theodore, & Lerner, Melvin J. (2003). Handbook of Psychology :Personality and Social Psychology. New Jersey: John Wiley&Sons, Inc.
Cast, A.D., & Burke, P.J. (2002). A Theory of Self-Esteem. Social Forces, 80, 3, 1041-1068.
Owens, T.J.,  Mortimer, J.T., &  Finch, M.D. (1996). Self-Determination as a Source of Self-Esteem in Adolescence. Social Forces, 74, 4, 1377-1404.
Raihani. (2011). A whole-school approach: A proposal for education for tolerance in Indonesia. Theory and Research in Education, 9: 23. doi: 10.1177/1477878510394806
Santrock, J.W. (2011). Educational Psychology. New York: USA.